Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Gus Sholah, Kiai Arsitek Sang Pendorong Pesantren Progresif

3 Februari 2020   09:27 Diperbarui: 3 Februari 2020   12:39 2554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kembali Indonesia kehilangan seorang tokoh besar. Minggu (2/2/2020) malam pukul 20.55 WIB, KH. Salahuddin Wahid atau Gus Sholah wafat pada usia 77 tahun di Jakarta.

Gus Sholah merupakan pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur, salah satu pesantren tertua di Indonesia yang masih aktif hingga sekarang. Pesantren tersebut didirikan oleh sang kakek, KHM. Hasyim Asy'ari, yang juga salah satu pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU), pada 1899.

Ayah Gus Sholah, KH. Wahid Hasyim, merupakan tokoh bangsa yang menjadi Menteri Agama pertama Republik Indonesia. Gus Sholah yang lahir pada 11 September 1942 tak lain ialah adik dari Presiden ke-4 Republik Indonesia, KH. Abdurahman Wahid atau Gus Dur. Beliau juga kakak ipar dari mantan Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin.

Sebagai seorang ulama, wawasan dan pemikiran Gus Sholah tentang Islam dan kehidupan beragama tak perlu diragukan lagi. Laku serta pemikirannya yang konsisten memadukan jalan Keindonesiaan dan Keislaman menjadikannya ulama panutan.

Salah satu pemikiran utama Gus Sholah tentang Keindonesiaan dan Keislaman menyoroti tumbuhnya gerakan yang menghendaki berdirinya negara Islam dan klaim kegagalan Pancasila. Gus Sholah menolak hal itu.

Di mata Gus Sholah tak ada jaminan bahwa mendirikan daulah Islamiyah akan mampu menghadirkan kehidupan negara yang lebih baik.

Baginya persoalan-persoalan di tengah masyarakat dan belum mampunya negara menghadirkan kesejahteraan bagi rakyatnya bukan berarti Pancasila gagal sebagai dasar negara. Persoalan dan kegagalan terjadi justru karena Pancasila belum diamalkan secara nyata dan utuh.

Dari Arsitek Sampai Politik
Sebagai seorang kiai dan pengasuh pondok pesantren, citra Gus Sholah mungkin lebih dikenal lekat sebagai ulama dan tokoh agama. Belum banyak yang tahu bahwa beliau merupakan sosok yang multitalenta.

Menuntaskan pendidikan pada jurusan arsitektur Institut Teknologi Bandung, Gus Sholah muda memilih jalan karir seperti layaknya seorang arsitek. Mula-mula ia mendirikan perusahaan kontraktor pada 1970. Karir sebagai kontraktor telah mulai dirintis sejak ia masih aktif di bangku kuliah.

Sejak saat itulah selama puluhan tahun sampai 1997 Gus Sholah lebih banyak berkecimpung di bidang arsitektur. Selain pernah menjadi direktur sebuah konsultan teknik, ia pun menjadi pengurus di organisasi profesi.

Selepas meninggalkan dunia arsitektur, Gus Sholah menceburkan diri ke dalam aktivitas menulis yang lebih intens. Sebelum itu Gus Sholah pernah menjadi pemimpin redaksi Majalah Konsultan. 

Salah satu tulisan Gus Solah dalam buku
Salah satu tulisan Gus Solah dalam buku
Pengetahuannya yang mendalam pada berbagai hal dan wawasannya yang luas terhadap berbagai persoalan, menjadikannya seorang pemikir dengan banyak karya tulis. Tulisan-tulisan Gus Sholah dimuat di Republika, Kompas, dan lain sebagainya. 

Karya-karyanya juga dibukukan ke dalam berbagai judul. Antara lain "Negeri di Balik Kabut Sejarah", "Mendengar Suara Rakyat", "Basmi Korupsi, Jihad Akbar Bangsa Indonesia" dan "Memadukan Keindonesiaan dan Keislaman". Tulisan-tulisan Gus Sholah tersebut menyoroti persoalan umat Islam, masyarakat serta bangsa Indonesia.

Peran dan aktivitas Gus Sholah di bidang Hak Asasi Manusia barangkali juga tidak banyak diketahui publik. Gus Sholah merupakan anggota Komnas HAM periode 2002-2007. Dalam penyelidikan kasus kerusuhan Mei 1998, Gus Sholah berperan sebagai ketua tim penyelidik.

Memasuki awal 2000-an, Gus Sholah semakin dekat dengan dunia politik. Kiprah politiknya mencuat ketika bergabung dengan Partai Kebangkitan Umat dan dianggap berseberangan pandangan dengan Gus Dur. Pada Pilpres 2004 Gus Sholah dipinang sebagai calon wakil presiden mendampingi Wiranto. Pengalamannya mengikuti kontes pilpres ini juga sempat dituliskannya dalam sebuah buku.

Pesantren Progresif
Selain sebagai arsitek, penulis, dan aktivis HAM, Gus Sholah juga berkarya dalam bidang pendidikan. Pada 2006 ketika kembali ke Tebuireng sebagai pengasuh pondok pesantren, Gus Sholah segera mencurahkan pemikiran serta daya tenaganya untuk membenahi pesantren tersebut.

Gus Sholah mewarisi prinsip pengajaran Hadratussyaikh Hasyim Asyari dan KH. Wahid Wahid Hasyim yang menekankan perlunya seorang santri mengaktualisasikan ilmu dan pengetahuan ke dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Oleh Gus Sholah, prinsip tersebut kemudian diakselerasikan secara lebih progresif.

Tebuireng dibenahinya tidak hanya secara fisik dengan merenovasi bangunan, tapi juga mendorong para pengurus, guru, dan karyawannya untuk bekerja lebih profesional. 

Kapasitas para santri dan guru di Tebuireng ditingkatkan dengan membekali mereka berbagai pengetahuan, termasuk ilmu-ilmu nonagama. Di Tebuireng pengajaran sesuai kurikulum nasional dan kurikulum lokal diselenggarakan secara selaras dengan pengajaran ilmu-ilmu agama.

Gus Sholah juga memiliki cara senyap untuk mengevaluasi para pengurus Tebuireng, yakni dengan menurunkan mata-mata yang bertugas menanyai langsung para santri tentang kinerja pengurus pondok pesantren.

Upaya Gus Sholah membenahi Tebuireng menjadi pesantren yang lebih maju pada dasarnya merupakan dorongan kepada pesantren-pesantren di Indonesia  agar memperbaiki diri dengan menempuh jalan yang progresif.

Bukan tanpa alasan Gus Sholah mendorong pesantren untuk berbenah. Baginya pesantren merupakan salah satu pilar penting yang menopang masa depan bangsa Indonesia. Menurut sejarahnya pesantren bahkan telah ikut membangun bangsa dengan membentuk manusia-manusia berkarakter.

Akan tetapi semakin hari pesantren terus terpinggirkan dan sulit bersaing. Salah satu sebabnya ialah kurangnya perhatian dan dukungan pemerintah. Meski demikian, pesantren di mata Gus Sholah harusnya tidak hanya menunggu kebaikan negara atau pemerintah. Langkah perbaikan perlu dimulai oleh pesantren itu sendiri.

Pesantren harus siap menghadapi tantangan zaman. Salah satunya ialah dengan menghadirkan pengajaran ilmu-ilmu nonagama beserta perkembangannya sebagai pelengkap ilmu keagamaan.

Sketsa wajah Gus Solah pada sebuah buku yang diterbitkan oleh Pustaka Tebuireng (dok. pri).
Sketsa wajah Gus Solah pada sebuah buku yang diterbitkan oleh Pustaka Tebuireng (dok. pri).
Gus Sholah tidak sepenuhnya setuju dengan dikotomi antara pendidikan agama dan pendidikan nasional hanya karena ada dua kementerian yang mengurusi pendidikan, yaitu Kementerian Agama serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Menurutnya dualisme justru perlu direspon secara positif untuk membangun semangat kompetisi sehat antara madrasah dan sekolah umum.

Dikotomi antara ilmu agama dan nonagama juga tidak perlu dipertentangkan secara kuat. Sebaliknya, Gus Sholah menekankan perlunya penyadaran kepada masyarakat bahwa semua ilmu penting dikuasai agar umat Islam tidak semakin tertinggal jauh. 

Anggapan bahwa ilmu agama adalah ilmu akhirat dan ilmu nonagama hanyalah ilmu duniawi perlu dikonstruksi ulang. Amal dunia dan amal akhirat ditentukan oleh niat kita belajar ilmu, bukan pada jenis ilmunya.

Dengan cara demikian pesantren diharapkan mampu menghasilkan santri-santri yang berakhlak mulia sekaligus berkarakter unggul dengan tingkat keilmuan yang memadai sebagai insan yang siap membangun masyarakat bangsanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun