Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Demi Jati Diri Bangsa, TVRI Perlu Dangdut Semalam Suntuk, Liga Tarkam, dan Acara Gosip Pagi

25 Januari 2020   07:34 Diperbarui: 26 Januari 2020   22:52 6546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ruang dan frekuensi penyiaran Indonesia sekarang dipenuhi oleh belasan TV. Makin sesak kalau turut diperhitungkan pula media-media lain, termasuk TV-TV lokal, yang juga berbagi frekuensi tersebut.

Dalam riuh dan penuhnya ruang penyiaran, masyarakat sesungguhnya punya peluang dan harapan untuk mendapatkan banyak manfaat dari pilihan-pilihan siaran serta program yang ditayangkan oleh setiap TV. Sayangnya harapan tak sesuai kenyataan.

Homogenisasi terpancar dari wajah siaran-siaran TV swasta Indonesia saat ini. Semakin homogen karena ketika satu acara dinyatakan unggul secara rating sehingga menguntungkan secara komersil, maka segera TV-TV lainnya ikut menyuguhkan padanannya.

Kalau homogenisasi itu berwujud konten, program, dan siaran yang mendorong pemberdayaan akal, pikiran, serta budaya, tentu patut disyukuri. Kalau homogenisasi itu menyumbang secara maksimal peningkatan persatuan, kepekaan sosial, dan penguatan karakter masyarakat, tentu boleh dirayakan.

Akan tetapi bukan seperti demikian yang tersaji. Sebaliknya, homogenisasi siaran TV kita saat ini menghasilkan kelimpahan tayangan yang kurang mendidik.

Kita bisa merinci atau memberi definisi "kurang mendidik" itu dengan atribut: tidak bernilai informatif, tidak obyektif, tendensius, beragenda politik, bermisi propaganda, menebar kebencian, memupuk hedonisme, mengajarkan kekerasan, menjual drama serta sensasi, dan seterusnya.

Banyak sekali memang permasalahan dalam siaran TV swasta kita yang pada dasarnya bersumber dari pencemaran oleh kapitalisme, persaingan bisnis, dan agenda politik. 

Tak heran jika pernah muncul inisiatif kampanye bernada ejekan dan ajakan untuk "Matikan TV-mu!". Hal itu karena setiap kali kita menghidupkan TV dan menonton tayangannya, peluang kita untuk mendapat pengayaan informasi, edukasi, dan inspirasi justru semakin kecil dari hari ke hari.

***

Di tengah kondisi seperti demikian, kita tinggal berharap pada Lembaga Penyiaran Publik (LPP). Dalam hal ini kehadiran TVRI sebagai televisi publik yang berkembang baik menjadi kian berharga.

Sayangnya, selama ini pun TVRI cenderung terasing di tengah-tengah publiknya sendiri. Meski dikenal oleh masyarakat, tapi TVRI belum cukup dicintai. Bahkan untuk menonton TVRI pun, kita seolah menjadikannya sebagai pilihan terakhir.

Sungguh dilema memang. Sebagai TV publik, TVRI harus melayani negeri dalam banyak aspek. Tugas dan fungsi yang diemban TVRI sangat penting sekaligus berat. Sementara gerak dan langkahnya tak cukup lincah karena dihadapkan pada keterbatasan, terutama anggaran dan dukungan politik.

Dalam pelayanannya TVRI juga harus mencapai standar: melayani keberagaman, independen, berorientasi pada kualitas, serta memberdayakan kesadaran publik agar tumbuh rasa memiliki dan ikut mengawasi lembaga.

Kabar baiknya, misi kepublikan TVRI mulai bisa diwujudkan secara lebih menonjol dalam beberapa tahun terakhir. Paling tidak terlihat dari komposisi dan macam program siarannya.

Kalau diperhatikan layar TVRI sekarang terdiri dari 40-50% tayangan informasi/berita, 25-30% siaran pendidikan dan agama, serta 25-30% siaran budaya, hiburan, dan olahraga.

Apakah komposisi seperti itu cukup ideal dan merepresentasikan misi kepublikan TVRI? Jawabannya antara belum dan sudah mengingat kriteria kepublikan ada kecenderungan dinamis sesuai dengan realitas zaman dan kondisi masyarakat dari waktu ke waktu. 

Sepanjang tayangan informasi, pendidikan, agama, budaya, dan hiburan TVRI mampu melayani keberagaman dan kebutuhan masyarakat, memperkuat kapasitas masyarakat, dan meningkatkan persatuan serta kesadaran masyarakat dalam berdemokrasi, maka boleh dikatakan misi kepublikan TVRI telah mulai terealisasikan.

Jadi bukan persoalan apakah komposisi beritanya harus selalu di atas 50% atau cukup hanya 50%. Tidak terlalu masalah jika hari ini tayangan olahraga dan pendidikannya berbagi porsi yang sama.

***

Sebuah misi memerlukan cara untuk merealisasikannya. Rebranding TVRI, pembaruan logo, penyegaran format berita, dan pergeseran sejumlah tayangan adalah bagian dari cara atau siasat kreatif TVRI dalam menjalankan misi kepublikan yang diembannya.

Bersamaan dengan itu tayangan dan program baru hadir sebagai inovasinya. Sebutlah Liga Inggris dan turnamen bulutangkis dunia.

Terlepas sejauh mana Liga Inggris dan bulutangkis berpengaruh dalam peningkatan rating TVRI, tayangan olahraga-olahraga yang berkualitas tersebut mestinya lebih penting untuk dipandang sebagai pendekatan TVRI guna memenuhi salah satu misi kepublikannya.

Nyatanya masyarakat Indonesia saat ini memang butuh tayangan yang sehat dan sportif. Kenyataannya pula dalam keberagaman masyakarat Indonesia saat ini, generasi milenial dan gen Z begitu besar jumlahnya di mana mereka gandrung pada sepakbola dan sedang demam bulutangkis. Mereka juga perlu dilayani dan TVRI menangkap kebutuhan tersebut.

Demikian pula program tayangan wisata, budaya, serta dokumenter dan pendidikan seperti Discovery Channel. Semua perlu dipandang sebagai cara TVRI menjawab kehendak publik. Mana ada stasiun TV swasta yang memberikan tayangan dokumenter ilmiah dengan porsi dan kualitas yang baik saat ini? Di sinilah hadir TVRI.

Oleh karena itu, kita mestinya bersyukur dan memberi apresiasi karena misi kepublikan TVRI ternyata bisa diupayakan secara lebih baik meski dihadapkan pada keterbatasan-keterbatasan.

Sayangnya kemajuan TVRI dalam melayani kehendak publik serta memenuhi misi kepublikannya dikerdilkan oleh kekuatan dari dalam sistem mereka sendiri. Oleh Dewan Pengawas, misi kepublikan TVRI mengalami pendangkalan melalui dikotomi "produk asing-non asing", "butuh rating vs tidak butuh rating", dan yang paling absurd ialah "jati diri bangsa".

Dewan Pengawas TVRI seakan memiliki kekuasaan dan kemampuan dari langit sehingga secara luar biasa mampu menentukan kualitas ke-jati diri-an  hanya melalui sebuah tayangan. Itupun tayangan olahraga yang notabene sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat dunia.

***

Apa benar Liga Inggris yang giat mempromosikan kesetaraan ras, menolak kekerasan, dan rasisme bertentangan dengan "jati diri" bangsa Indonesia? Kita pantas bertanya-tanya, bagaimana "jati diri" yang sesuai "selera" Dewan Pengawas itu?

Argumen "jati diri" bahkan cenderung memperlihatkan bahwa Dewan Pengawas sebenarnya tak paham dan tak punya alasan apapun. Ini seperti kita jika berdebat buru-buru menyodorkan argumentasi "takdir Tuhan".

Jika dibiarkan, pengkerdilan misi kepublikan sangat merugikan TVRI dan akan menjadikan TV publik ini mati suri. Pada saat bersamaan hak dan kepentingan publik untuk mendapatkan tayangan bermutu ikut dilanggar.

Jangan-jangan liga sepakbola sesuai kriteria "jati diri" yang dimaksud adalah Liga Tarkam yang penuh "kebersamaan" serupa "gotong royong". Liga Tarkam yang kemenangan sebuah tim seringkali ditentukan secara "bersama-sama" bukan hanya oleh para pemain dan pelatih, tapi juga para pejabat klub, dan tangan-tangan tak terlihat yang penuh kuasa.

Liga Tarkam yang menganut "solidaritas buta" di mana ketika klub kalah maka para suporternya siap menyerbu lapangan dan menghadang di jalanan sampai kemudian nyawa-nyawa hilang tanpa ada pertanggungjawaban.

Agar semakin sesuai "jati diri" bangsa TVRI perlu lebih memberi tempat bagi musik asli negeri sendiri. Tayangan dangdut semalam suntuk bisa mempertebal jati diri ke-Indonesia-an TVRI. Dewan Pengawas mungkin akan senang bukan kepalang jika kebetulan mereka adalah penggemar Rhoma Irama dan Elvy Sukaesih.

Kemudian pagi hari perlu diawali oleh TVRI dengan sebuah acara gosip. Barangkali ini juga termasuk "jati diri" bangsa karena menampilkan potret sosialisasi antar warga masyarakat.

Kebiasaan ibu-ibu pada pagi hari berbelanja sayur sambil bertukar informasi. Mereka yang modern memulai harinya dengan mengupdate grup whatsapp agar tak ketinggalan "berita". 

Arisan atau pengajian mingguan dibumbui gosip. Semakin banyak dan seru gosipnya, semakin bergairah kita untuk bersosialisasi. Oleh karena itu, bukalah pagi dengan acara gosip yang bisa menyatukan masyarakat.

Sebagai pengganti tayangan Discovery Channel yang dianggap Dewan Pengawas sebagai produk asing dan buayanya adalah produk Afrika, mungkin bisa dipertimbangkan menggandeng Atta Halilintar. Nantinya TVRI menayangkan aktivitas Atta ngevlog di berbagai kebun binatang dan taman safari di Indonesia. 

Namun, hewannya perlu diseleksi lebih dulu untuk memastikan mana hewan pribumi dan mana hewan nonpribumi.

Buaya Afrika jelas bukan pribumi. Panda terlarang untuk ditayangkan karena pasti menganut paham komunis. Kanguru jangan dipilih karena membawa gen kapitalisme. Pokoknya hanya hewan pribumi yang boleh diketahui dan dipelajari oleh anak-anak Indonesia.

Akhirnya, mari ucapkan selamat datang TVRI yang sesuai "jati diri" bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun