Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Legenda Dawet Mbah Hari, Segar Sejak 1965

23 Desember 2019   08:03 Diperbarui: 24 Desember 2019   01:00 531
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dawet Mbah Hari di Pasar Beringharjo, Yogyakarta (dok. pri).

Berjalan dari Stasiun Besar Yogyakarta alias Stasiun Tugu ke Pasar Beringharjo pada Sabtu (21/12/2019) ternyata sedikit melelahkan dari biasanya. Padahal sudah sering kaki melangkah menyusur jarak yang lebih jauh lagi. 

Malioboro juga sedang tidak terlalu sesak. Akan tetapi rupanya kala itu sedikit berbeda kondisinya. Selain perut belum terisi makanan berat, juga karena hawa cukup gerah. Langit yang teduh ternyata bukan berarti tak mengundang peluh. 

Menginjak Pasar Beringharjo sekitar pukul 10.00 pilihan pertama ialah menyasar lantai bawah yang menjadi gudang batik aneka rupa. Maksud hati ingin melihat-lihat kemeja batik untuk menggantikan sebuah kemeja lama yang sudah  menciut. Selain itu hendak membeli geplak dan dodol sebagai oleh-oleh.

Baru lima belas menit berburu batik, saya memutuskan menepi. Sejenak keluar memisahkan diri dari kerumunan pengunjung pasar yang sama-sama tergila-gila pada batik. Sebabnya peluh dan keringat di kening terus menetes meski sudah berulang kali disapu.

Mbah Hari sudah lebih dari 50 tahun berjualan es dawet (dok. pri).
Mbah Hari sudah lebih dari 50 tahun berjualan es dawet (dok. pri).
Misi mencari batik dan oleh-oleh ditunda sebentar. Langkah kaki berganti melipir ke bagian paling tepi menuju pintu utara pasar. Bersyukur keinginan hati terbalas. Mbah Hari sudah ada di tempatnya.

Mbah Hari merupakan salah satu legenda hidup kuliner Pasar Beringharjo. Ia seorang peracik es dawet paling nikmat dan segar di pasar tradisional terbesar di Yogyakarta tersebut. 

Untuk kedua kalinya saya mencecap segarnya es dawet buatan Mbah Hari. Kebetulan saat itu Mbah Hari baru selesai menyiapkan segala keperluan untuk berjualan.

Ia masih terlihat menuangkan santan dan pecahan es batu ke dalam sebuah gentong tanah liat. Baskom besar di depannya yang berisi dawet warna-warni dan cincau hijau juga masih penuh. 

Es Dawet racikan Mbah Hari dengan potongan nangka yang segar dan menggiurkan (dok. pri).
Es Dawet racikan Mbah Hari dengan potongan nangka yang segar dan menggiurkan (dok. pri).
"Baru buka mbah?", tanya saya sambil menarik sebuah kursi plastik berkaki rendah. "Iya agak kesiangan", jawab nenek itu dengan ramah. Meski suaranya rendah, tapi  kata-katanya masih jelas.

Mbah Hari memang biasa berjualan menjelang pukul 10.00. Bisa pula lebih awal. Siang itu seperti pengakuannya ia sedikit terlambat. Beruntung karena saat saya tiba dan memesan belum terlalu banyak pembeli sehingga bisa mengambil duduk lebih leluasa tepat di hadapannya.

Kalau sudah ramai pembeli dawet Mbah Hari perlu rela berdiri. Oleh karena tempatnya berada di samping pintu beberapa pembeli harus rela pula berdesakan dengan pengunjung lain yang keluar masuk pasar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun