Matahari mulai menyengat Minggu pagi itu. Waktu sudah mendekati pukul 09.00. Langkah saya pun sudah berjarak sekitar 2 kilometer jauhnya dari titik awal.
Mengasyikkan dan tak terasa melelahkan memang berjalan-jalan di Car Free Day Jalan Slamet Riyadi Kota Solo. Menurut saya ini tempat yang baik untuk berekreasi, berolahraga santai, maupun untuk memuaskan selera lidah kita pada beragam kuliner.
CFD Solo juga bisa mempertemukan kita dengan orang-orang baik. Orang-orang yang yang menjalani hidupnya dengan semangat positif meski mungkin tidak mudah. Orang-orang yang selalu memulai hari dengan niat baik dan menjalaninya demi mengupayakan hari berikutnya yang lebih baik. Salah satunya adalah Mbah Setiono.
Bukanlah sosoknya yang pertama kali menarik perhatian saya. Melainkan gerobak biru yang tampak rapuh dalam riuhnya CFD Solo.
Ketika beberapa langkah melewatinya saya memutuskan untuk berbalik karena mengetahui itu adalah gerobak bakso. Sudah agak lama saya tidak menikmati bakso dan sepiring pecel yang beberapa jam sebelumnya saya santap sudah tercerna sempurna. Saya sudah lapar lagi dan bakso di gerobak biru itu mengundang saya untuk mendekat.
Semangkuk bakso saya pesan kepadanya. Oleh karena tikar yang dihamparkannya sudah penuh diduduki oleh para remaja pembeli sebelumnya, Mbah Setiono memberi saya kursi plastik. Ia menaruhnya tepat di samping gerobak dan saya tidak menggesernya lagi.
Saat baru duduk, kaki ini hampir menginjak kantung plastik berisi arang. Itu membuat saya bertanya kepada Mbah Setiono. Rupanya ia menggunakan arang untuk memanaskan bakso dan kuahnya.
Mbah Setiono mengambil sebuah mangkuk. Mengelapnya sebentar dengan sehelai kain, kemudian ia masukkan mie bihun, tauge, potongan sawi, dan tahu. Berikutnya ia berikan beberapa butir bakso dari dalam wadah kuah yang disiramkan bersamaan ke dalam mangkuk.
Itu bakso untuk saya. Mbah Setiono menawarkan sambal, saus, dan kecap, tapi saya hanya mengiyakan yang terakhir.
Tak terlalu besar porsi semangkuk bakso dari Mbah Setiono. Namun, lebih dari cukup sebagai pelengkap rasa di CFD. Apalagi dalam semangkuk bakso itu ikut terbawa semangat Mbah Setiono menjalani hari tuanya.
Kini, hari demi hari dijalani Mbah Setiono dengan berkeliling bersama gerobak bakso. Itu dijalaninya demi terus menghidupi keluarganya, termasuk dua cucu yang tinggal bersamanya.Â
Gerobak yang dipakainya berjualan sekarang ia sewa dari seseorang dengan ongkos sewa per hari Rp 5000. Mbah Setiono membayarnya sekaligus seminggu sekali.
Biasanya Mbah Setiono berjualan mulai pukul 09.00. Berangkat dari rumahnya di Cinderejo, Kecamatan Banjarsari, Kota Solo, ia menuju kawasan sekitar Stasiun Solobalapan, Paragon Mall, Pura Mangkunegaran dan seterusnya berkeliling lebih jauh. Seringkali baksonya baru habis pada malam hari sehingga ia baru kembali ke rumah saat langit sudah gelap.
Minggu pagi yang sebenarnya bisa digunakan untuk beristirahat, Mbah Setiono tetap meninggalkan rumahnya. Ia berjualan di Car Free Day Jalan Slamet Riyadi.
Untuk itu ia harus bangun lebih awal. Pukul 03.00 ia menyiapkan keperluan dan semua bahan. Setelah salat Subuh barulah ia beranjak menuju CFD. Selanjutnya di depan Solo Bistro gerobak biru itu menunggu pembeli.
Demi mempersilakan keduanya mudah mendapat tempat duduk, saya menyudahi pertemuan dengan Mbah Setiono. Semangkok bakso pun sudah habis saya santap sejak beberapa menit sebelumnya.Â
Saya menanyakan harga hendak membayar. Mbah Setiono menjawab: "Gangsal ewu".Â
Sambil membuka dompet, benak saya berkata, pastilah uang dari pembeli pertamanya setiap hari tidak menjadi milik Mbah Setiono. Hasil dari semangkuk bakso pertamanya yang terjual disimpannya baik-baik agar ia tetap bisa mendorong gerobak biru itu esok hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H