Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mendiamkan Penumpang Berisik di Kereta Api

5 November 2019   11:18 Diperbarui: 5 November 2019   17:32 9074
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
SMS laporan saya berisi permintaan bantuan kepada kondektur kereta api untuk mendiamkan penumpang yang berisik (dok. pri).

Kejadiannya bermula dari Stasiun Besar Purwokerto pada penghujung Oktober 2019 yang lalu. Siang itu stasiun sangat ramai. Selain karena akhir pekan juga karena saya datang sekitar pukul 09.30 untuk menumpang kereta yang dijadwalkan berangkat sejam kemudian.

Antara pukul 10.00-14.00 puncak kepadatan Stasiun Purwokerto. Banyak kereta yang datang, singgah, dan berangkat pada jam-jam itu. Baik yang menuju arah barat maupun timur. Kereta ekonomi, bisnis, eksekutif, maupun kereta barang, semuanya melintas dan berhenti di stasiun ini.

Setelah menunggu sebentar di ruang kedatangan yang semakin lama semakin ramai, saya memutuskan untuk boarding dan masuk ke ruang tunggu. Di dalam saya mencoba menyamankan diri dengan membuka buku. Sudah 2 minggu Biografi Alex Ferguson belum selesai saya baca. 

Semuanya tampak biasa dan normal tanpa ada hal yang mengganggu. Meski ruang tunggu dipadati calon penumpang, tapi cukup tertib. 

Kemudian masuk serombongan berjumlah delapan orang yang karena penampilan dan kesan pertamanya mau tidak mau perhatian saya tertuju sejenak kepada mereka. Saya lihat calon penumpang lain di sekitar saya juga melirik sebentar ke rombongan ibu-ibu ini.

Mungkin rombongan ini tergolong sosialita yang sibuk. Setidaknya apa yang terlihat dari luar. Koper-koper, perhiasan, kacamata besar, parfum wangi, dan tentu saja keasyikan mereka bersama smartphone. Sampai di sini bagi saya masih tergolong wajar. Setiap orang punya penampilan dan pembawaan masing-masing.

Tapi keasyikan mereka mengambil foto dan selfie akhirnya membuat saya kurang nyaman. Pada satu kesempatan dua di antara mereka maju, berdiri, lalu berselfie persis di depan saya. Badan mereka membelakangi saya dengan jarak yang sangat dekat hingga kerudung dan pakaiannya sempat menyentuh muka saya dan menutupi halaman buku yang sedang saya baca. Tak ada sepatah kata atau ucapan permisi. Kejadiannya berlangsung begitu saja dan agak mengejutkan saya.

Saya tidak bereaksi dengan suara. Bagaimana pun saya masih segan untuk menegur ibu-ibu di depan banyak orang. Tapi saya bereaksi dengan sedikit menggeser duduk saya sambil melirik ke atas mencoba mencari respon ibu-ibu yang sedang selfie. Beberapa calon penumpang lain ikut memperhatikan ke arah saya, mungkin membaca ketidaknyamanan yang saya rasakan.

Untung ibu-ibu ini tidak terlalu lama selfie di depan saya. Mereka kembali ke tempat duduknya sampai kereja Joglosemarkerto yang akan saya tumpangi tiba.

Menariknya, rombongan ini ternyata menumpang kereta yang sama dengan saya. Bahkan bagai kebetulan yang luar biasa, mereka juga berada di gerbong kereta nomor 6. Tidak sampai di situ, tempat duduk mereka pun persis berurutan dengan kursi yang saya duduki. 

Dengan demikian mau tidak mau sepanjang perjalanan perhatian saya berulang kali tertuju pada rombongan ini. Terutama pendengaran saya tak bisa mengelak dari suara-suara perbincangan mereka.

Kesan pertama saya mendengar mereka berbincang adalah suaranya yang keras dan sering disertai tawa yang kencang. Ibu-ibu ini tak segan terbahak-bahak dan itu berlangsung cukup lama sampai pada akhirnya saya merasa terganggu. 

Bukan saja karena suara dan tawa mereka yang kencang dan berulang. Namun, lebih pada isi pembicaraan mereka yang menyinggu soal kehidupan rumah tangga dan "pelakor". Ya, ada momen ketika mereka tertawa keras seolah sedang bercanda tentang pelakor. Pada saat itu saya melihat penumpang di kursi depan dan seberang saya ikut terkejut.

SMS laporan saya berisi permintaan bantuan kepada kondektur kereta api untuk mendiamkan penumpang yang berisik (dok. pri).
SMS laporan saya berisi permintaan bantuan kepada kondektur kereta api untuk mendiamkan penumpang yang berisik (dok. pri).
Kebetulan juga di gerbong kereta 6 ada banyak anak dan balita. Setidaknya di kursi 17, 18, 19, saya menghitung ada lima anak dan balita. Seorang anak tepat di depan saya sedang tidur. Sedangkan balita di kursi seberang sedang digendong oleh ibunya.

Saya merasa rombongan penumpang itu sudah cukup menganggu. Bukan hanya saya yang terganggu, tapi pastilah penumpang lain di sekitarnya juga merasa kurang nyaman. Pada situasi itu saya memutuskan mencoba mendiamkan para penumpang tersebut. Mendiamkan yang saya maksud bukan mengabaikan atau membiarkan tanpa peduli. Namun, mendiamkan dalam arti membuat jadi diam.

Maka menengoklah saya ke belakang. Pandangan saya mencari sebuah papan yang biasa terpasang di dekat pintu. Beruntung saya menemukan informasi  nama dan nomor kondektur yang bertugas.

Segera saya mengirim sms ke sang kondektur. Isinya seperti berikut:

"Selamat siang. Mohon untuk ditegur sekelompok penumpang ibu-ibu di Joglosemarkerto gerbong 6 kursi 15 ABCD dan 16 ABCD. Selalu tertawa keras-keras dan mengganggu. Penumpang di sekitarnya banyak anak dan balita. Terima kasih."

Harapannya sms itu diterima dan ditanggapi sehingga papan yang terpasang terbukti bukan hanya hiasan. Ternyata sms saya direspon oleh sang kondektur dengan membalasnya:

"Tks informasinya segera kami tangani. selamat siang"

Sekitar lima menit kemudian, seorang laki-laki berseragam petugas kereta api memasuki gerbong 6. Ia berdiri tepat di antara baris kursi nomor 15 dan 16. Posisi berdirinya tepat menghadap saya.

Segera ia menyapa ibu-ibu yang masih asyik mengobrol. Saya merasa perlu menyebutkan apa yang diucapkan oleh sang kondektur karena isi dan caranya menegur sangat unik. Begini kurang lebih yang ia ucapkan:

"Selamat siang, boleh minta selfie?"

Ibu-ibu itu menjawab kompak: "Boleeeeh".

Sang kondektur lalu meneruskan dengan rangkaian kalimat berikutnya.

"Iya jadi nggak papa foto-foto. Asalkan suaranya jangan keras-keras. Ada yang komplain, ya cantik. Terima kasih, ya cantik".

Ketika mendengar ucapan kondektur yang halus itu saya amat terkesan. Pilihan kata-katanya, diksi "cantik" dan basa-basi "minta foto", membuat saya agak terkejut. Tapi yang lebih penting adalah teguran halus tersebut langsung bisa membuat penumpang yang ditegur menjadi diam. Sang kondektur pun tak menunggu respon lebih lanjut. Ia langsung pamit.

Kondektur yang bertugas siang itu (dok. pri).
Kondektur yang bertugas siang itu (dok. pri).
Dalam hati saya mengucap terima kasih pada sang kondektur sekaligus merasa lega. Paling tidak ia merahasiakan siapa yang mengajukan komplain dan bagaimana caranya komplain itu bisa sampai kepadanya. Tentu saja saya mengirim sms tanpa sepengetahuan penumpang lain, termasuk rombongan penumpang ibu-ibu itu.

Akan tetapi yang terpenting adalah perhatian Kereta Api Indonesia pada kenyamanan penumpang yang dibuktikan dengan kepedulian petugas perjalanan untuk menangani masalah-masalah yang terjadi di dalam kereta. 

Kejadian seperti yang saya alami tentu sudah sering terjadi dan dirasakan oleh para penumpang kereta. Bahwa seringkali ada penumpang yang kurang bisa bertenggang rasa dan menjaga sikap sehingga tanpa disadari mengganggu penumpang lainnya. 

Tapi pilihannya seringkali menghadapi dilema. Menegur secara langsung belum tentu berhasil. Belum lagi ada rasa segan atau bingung memilih kata-kata agar tidak menyinggung. Maka dari itu, papan informasi kondektur yang bertugas selama perjalanan menjadi saluran yang bisa diminta bantuannya, termasuk membantu mendiamkan penumpang-penumpang yang terlalu berisik.

Usai ditegur oleh sang kondektur, saya memperhatikan rombongan di kursi 15 dan 16 mulai mengurangi letupan-letupan suara dan tertawanya. Sesekali mereka masih melakukannya, tapi bagi saya biarlah teguran tadi meresap perlahan dan menjadi kesadaran masing-masing.

Nyenyak di pangkuan ayah (dok. pri).
Nyenyak di pangkuan ayah (dok. pri).
Kereta terus melaju. Penumpang anak di depan saya masih tidur. Kepalanya bertumpu pada paha sang ayah. Saya tahu itu adalah salah satu tidur paling nikmat bagi seorang anak karena paha ayah dan ibu adalah bantal terbaik.

Kereta tiba di Stasiun Tugu Yogyakarta. Saya bangkit dari duduk dan melangkah keluar. Rombongan itu juga turun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun