Kemarin, Minggu (11 Agustus 2019) adalah "Hari Sate Kambing Nasional". Memang kita tidak akan menemukannya tercetak di kalender nasional. Namun, bukan berarti itu tidak ada.Â
"Hari Sate Kambing Nasional" merupakan kesepakatan alam bawah sadar kita saat Hari Raya Idul Adha tiba. Hari ketika sate kambing melintas di pikiran banyak orang ketika menjumpai daging kambing hewan kurban.
Saya hampir yakin bahwa pada Idul Adha kebanyakan orang Indonesia memikirkan dan lalu memutuskan untuk mengolah daging kambing menjadi sate dibanding jenis olahan lainnya.Â
Siapa pun boleh memikirkan gulai dengan kuah yang gurih. Sah juga membayangkan tongseng berkuah manis pedas. Atau berencana mengamalkan resep lain. Namun, pada akhirnya yang kita jumpai di depan mata adalah sate kambing.
Hanya butuh sedikit rangsangan untuk mengaktifkan jalinan neuron pembangkit memori "sate" tersebut. Itu sebabnya "sate" mudah sekali muncul di pikiran kita saat menjumpai daging kambing.
Sebagai orang Indonesia saya mewarisi pola semacam itu. Ketika pada hari Minggu kemarin terlibat dalam penyembelihan hewan kurban, keinginan menyantap sate segera timbul.Â
Pagi  itu usai salat Idul Adha, kesibukan dimulai dengan menyiapkan tempat untuk menggantung hewan kurban yang telah disembelih. Saya dan beberapa orang lainnya menyusun potongan-potongan bambu sebagai tiang gantungan.
Bambu yang sudah terpasang pun diganti dengan besi yang lebih panjang dan kuat sehingga bisa digunakan untuk menggantung enam ekor kambing sekaligus. Penyangganya juga diperkuat dengan besi dan bambu yang diikat dengan kawat. Sementara untuk sapi karena ukurannya besar, disediakan tempat terpisah dan ditangani oleh orang-orang yang lebih berpengalaman.
Hanya saja memang dua ekor kambing sempat "berulah sebelum disembelih. Kejadiannya  diketahui saat kami baru pulang menjalankan salat Idul Adha. Ternyata dua ekor kambing sedang berkelahi.Â
Keduanya saling menyeruduk dengan kondisi tali pengikat sudah terlepas dari tempatnya terpancang. Beruntung dua ekor kambing tersebut tidak kabur jauh meninggalkan tempat sehingga bisa segera ditangani dan ditenangkan kembali.
Setelah disembelih dan dipastikan sudah tak bernafas lagi, kambing-kambing kurban lalu digantung. Tugas selanjutnya diambil alih oleh tangan-tangan terampil yang menguliti dan memotong bagian-bagian hewan kurban tersebut.Â
Orang-orang itu tidak perlu belajar tentang anatomi organ, anatomi otot, dan sebagainya secara formal, tapi mampu melakukan pekerjaan itu dengan baik.Â
Usai pembagian daging kurban, panitia Idul Adha sebenarnya menyiapkan acara makan bersama dengan sajian gulai. Sudah lama saya tidak mencecap gulai kambing dengan kuahnya yang bercita rasa kuat.Â
Namun, seperti yang saya sebutkan di awal. Bukan gulai yang saya inginkan, melainkan sate. Maka di halaman belakang rumah mulailah saya menyiapkan sate kambing sesuai keinginan dan selera sendiri.Â
Tempat pembakaran sudah tersedia. Arang pun ada. Demikian pula dengan tusukan sate yang telah dibeli sebelumnya dari swalayan.Â
Di rumah tumbuh satu pohon pepaya yang sedang rajin berbuah. Satu daunnya saya petik untuk membungkus sementara daging kambing sebelum diolah menjadi sate.
Jangan tanya jumlah atau takarannya karena semua dilakukan atas pertimbangan semaunya saja. Bumbu yang telah ditumbuk kemudian dicampur dengan kecap manis.
Saatnya membakar arang. Bagi saya ini termasuk bagian paling merepotkan dalam membuat sate. Jika melihat orang lain membakar arang dengan bantuan kertas atau sabut kelapa memang terasa mudah.Â
Namun, entah mengapa saya sering gagal mengikuti cara itu. Nyatanya yang terjadi adalah sudah habis berlembar-lembar kertas koran, tapi arang belum juga terbakar.
Oleh karena itu setelah kurang berhasil pada percobaan pertama, saya mencoba cara lain dengan menumpangkan arang di atas kompor gas. Jilatan api dari kompor membakar arang melalui lubang-lubang di bawah tempat pembakaran.Â
Setelah sedikit bara dihasilkan, barulah proses berikutnya dilakukan secara "tradisional", yakni mengipasinya sampai arang membara secara merata.
Sambil tangan kanan terus mengipasi, tangan kiri membolak-balikkan sate agar panas yang diterima merata dan tusukan sate tidak terbakar. Pekerjaan ini ternyata tidak semudah dibayangkan. Ada dua tusuk sate yang terbakar, patah dan jatuh ke dalam pembakaran.
Setelah dirasa daging mulai matang, bumbu pun ditambahkan. Daging yang telah berlumur bumbu kemudian dibakar kembali. Mulai dari sini kelezatan sate kambing terasa semakin menggoda.Â
Daging yang berubah warna dan mengeluarkan aroma sedap membuat ingin cepat-cepat mengunyahnya. Namun, proses belum selesai.
 Sedikit kecap manis perlu dituangkan lagi ke atas potongan daging. Selanjutnya pembakaran dilanjutkan sebentar untuk memastikan daging benar-benar matang.
Menikmati sate kambing harus ada tambahannya. Bagi saya kondimen terbaik untuk sate kambing adalah sambal kecap yang berisi potongan bawang merah, cabe rawit, dan bubuk merica.Â
Daging kambing yang empuk menjadi kaya rasa dengan sambal kecap tersebut. Cita rasanya juga semakin segar dengan tambahan potongan tomat, mentimun dan kobis.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H