Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Hari Sate Kambing Nasional

13 Agustus 2019   08:38 Diperbarui: 13 Agustus 2019   09:00 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Daging dengan bumbu semaunya (dok. pri).

Kemarin, Minggu (11 Agustus 2019) adalah "Hari Sate Kambing Nasional". Memang kita tidak akan menemukannya tercetak di kalender nasional. Namun, bukan berarti itu tidak ada. 

"Hari Sate Kambing Nasional" merupakan kesepakatan alam bawah sadar kita saat Hari Raya Idul Adha tiba. Hari ketika sate kambing melintas di pikiran banyak orang ketika menjumpai daging kambing hewan kurban.

Saya hampir yakin bahwa pada Idul Adha kebanyakan orang Indonesia memikirkan dan lalu memutuskan untuk mengolah daging kambing menjadi sate dibanding jenis olahan lainnya. 

Siapa pun boleh memikirkan gulai dengan kuah yang gurih. Sah juga membayangkan tongseng berkuah manis pedas. Atau berencana mengamalkan resep lain. Namun, pada akhirnya yang kita jumpai di depan mata adalah sate kambing.

Menyiapkan tempat penyembelihan hewan kurban (dok. pri)
Menyiapkan tempat penyembelihan hewan kurban (dok. pri)
Memori otak kita merekam dengan baik selama bertahun-tahun kata "sate" atau "satai" dalam ejaan bakunya. Sensasi dan kenikmatan yang kita dapatkan setiap kali menyantap sate telah memperkuat algoritma khusus di dalam tubuh yang menentukan nasfu dan selera makan kita. 

Hanya butuh sedikit rangsangan untuk mengaktifkan jalinan neuron pembangkit memori "sate" tersebut. Itu sebabnya "sate" mudah sekali muncul di pikiran kita saat menjumpai daging kambing.

Sebagai orang Indonesia saya mewarisi pola semacam itu. Ketika pada hari Minggu kemarin terlibat dalam penyembelihan hewan kurban, keinginan menyantap sate segera timbul. 

Pagi  itu usai salat Idul Adha, kesibukan dimulai dengan menyiapkan tempat untuk menggantung hewan kurban yang telah disembelih. Saya dan beberapa orang lainnya menyusun potongan-potongan bambu sebagai tiang gantungan.

Bukan lomba Agustusan (dok. pri).
Bukan lomba Agustusan (dok. pri).
Saat tempat untuk menggantung sudah siap, ternyata harus dibongkar karena jumlah hewan kurban bertambah. Semula hanya empat ekor kambing dan satu ekor sapi yang akan disembelih. Akan tetapi belakangan ada tambahan dua ekor kambing dari warga yang hendak berkurban.

Bambu yang sudah terpasang pun diganti dengan besi yang lebih panjang dan kuat sehingga bisa digunakan untuk menggantung enam ekor kambing sekaligus. Penyangganya juga diperkuat dengan besi dan bambu yang diikat dengan kawat. Sementara untuk sapi karena ukurannya besar, disediakan tempat terpisah dan ditangani oleh orang-orang yang lebih berpengalaman.

Menyiapkan daging kurban (dok. pri).
Menyiapkan daging kurban (dok. pri).
Satu demi satu kambing disembelih. Prosesnya berjalan lancar. Tidak ada ada satu pun yang berontak. Sementara kalau melihat pemberitaan di televisi ternyata banyak kejadian hewan kurban yang berontak ketika hendak disembelih. Bersyukur kami tak mengalami hal itu.

Hanya saja memang dua ekor kambing sempat "berulah sebelum disembelih. Kejadiannya  diketahui saat kami baru pulang menjalankan salat Idul Adha. Ternyata dua ekor kambing sedang berkelahi. 

Keduanya saling menyeruduk dengan kondisi tali pengikat sudah terlepas dari tempatnya terpancang. Beruntung dua ekor kambing tersebut tidak kabur jauh meninggalkan tempat sehingga bisa segera ditangani dan ditenangkan kembali.

Setelah disembelih dan dipastikan sudah tak bernafas lagi, kambing-kambing kurban lalu digantung. Tugas selanjutnya diambil alih oleh tangan-tangan terampil yang menguliti dan memotong bagian-bagian hewan kurban tersebut. 

Orang-orang itu tidak perlu belajar tentang anatomi organ, anatomi otot, dan sebagainya secara formal, tapi mampu melakukan pekerjaan itu dengan baik. 

"Starter kit" membuat sate kambing (Dokpri).
"Starter kit" membuat sate kambing (Dokpri).
Berkat gotong royong antar warga, pekerjaan bisa selesai dengan cepat. Pukul 13.00 daging kurban mulai dibagikan. Masyarakat yang membutuhkan serta warga sekitar mendapatkan daging kambing dan sapi.

Usai pembagian daging kurban, panitia Idul Adha sebenarnya menyiapkan acara makan bersama dengan sajian gulai. Sudah lama saya tidak mencecap gulai kambing dengan kuahnya yang bercita rasa kuat. 

Namun, seperti yang saya sebutkan di awal. Bukan gulai yang saya inginkan, melainkan sate. Maka di halaman belakang rumah mulailah saya menyiapkan sate kambing sesuai keinginan dan selera sendiri. 

Tempat pembakaran sudah tersedia. Arang pun ada. Demikian pula dengan tusukan sate yang telah dibeli sebelumnya dari swalayan. 

Di rumah tumbuh satu pohon pepaya yang sedang rajin berbuah. Satu daunnya saya petik untuk membungkus sementara daging kambing sebelum diolah menjadi sate.

Bumbu seadanya dan semaunya yang penting yakin (dok. pri).
Bumbu seadanya dan semaunya yang penting yakin (dok. pri).
Daging dengan bumbu semaunya (dok. pri).
Daging dengan bumbu semaunya (dok. pri).
Berikutnya adalah membuat bumbu untuk melumuri pertama kali daging saat dibakar. Tak peduli racikan bumbu seperti apa yang ideal, saya hanya mengambil merica dan bubuk merica, garam, serta bawang putih. 

Jangan tanya jumlah atau takarannya karena semua dilakukan atas pertimbangan semaunya saja. Bumbu yang telah ditumbuk kemudian dicampur dengan kecap manis.

Saatnya membakar arang. Bagi saya ini termasuk bagian paling merepotkan dalam membuat sate. Jika melihat orang lain membakar arang dengan bantuan kertas atau sabut kelapa memang terasa mudah. 

Namun, entah mengapa saya sering gagal mengikuti cara itu. Nyatanya yang terjadi adalah sudah habis berlembar-lembar kertas koran, tapi arang belum juga terbakar.

Oleh karena itu setelah kurang berhasil pada percobaan pertama, saya mencoba cara lain dengan menumpangkan arang di atas kompor gas. Jilatan api dari kompor membakar arang melalui lubang-lubang di bawah tempat pembakaran. 

Setelah sedikit bara dihasilkan, barulah proses berikutnya dilakukan secara "tradisional", yakni mengipasinya sampai arang membara secara merata.

Masih setengah matang (dok. pri).
Masih setengah matang (dok. pri).
Sudah matang (dok. pri).
Sudah matang (dok. pri).
Daging sate mulai dibakar. Tusukan-tusukan daging yang masing-masing berisi empat potongan daging kambing diletakkan di atas bara arang. 

Sambil tangan kanan terus mengipasi, tangan kiri membolak-balikkan sate agar panas yang diterima merata dan tusukan sate tidak terbakar. Pekerjaan ini ternyata tidak semudah dibayangkan. Ada dua tusuk sate yang terbakar, patah dan jatuh ke dalam pembakaran.

Setelah dirasa daging mulai matang, bumbu pun ditambahkan. Daging yang telah berlumur bumbu kemudian dibakar kembali. Mulai dari sini kelezatan sate kambing terasa semakin menggoda. 

Daging yang berubah warna dan mengeluarkan aroma sedap membuat ingin cepat-cepat mengunyahnya. Namun, proses belum selesai.

 Sedikit kecap manis perlu dituangkan lagi ke atas potongan daging. Selanjutnya pembakaran dilanjutkan sebentar untuk memastikan daging benar-benar matang.

Mau? (dok. pri).
Mau? (dok. pri).
Waktu yang paling dinanti akhirnya tiba. Sate kambing telah matang dan siap disantap. 

Menikmati sate kambing harus ada tambahannya. Bagi saya kondimen terbaik untuk sate kambing adalah sambal kecap yang berisi potongan bawang merah, cabe rawit, dan bubuk merica. 

Daging kambing yang empuk menjadi kaya rasa dengan sambal kecap tersebut. Cita rasanya juga semakin segar dengan tambahan potongan tomat, mentimun dan kobis. 

Selamat makan! (dok.pri).
Selamat makan! (dok.pri).
Memang siang itu saya terlalu banyak menambahkan merica ke dalam sambal kecap sehingga lidah sedikit "terbakar". Namun, mengingat ini adalah sate buatan sendiri maka saya menyatakan rasanya enak sekali. Buktinya saya makan dengan lahap.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun