"Bisa dipakai di Tokopedia, mas. Cashback-nya banyak. Saya juga sering buat beli pulsa", terangnya sementara kami terus melaju.
Saya pun menanggapinya dengan senyuman. Dalam hati saya "gaul" juga bapak ini, pakai OVO dan belanjanya di Tokopedia. Bahkan, saya dibuat "kagum" lagi manakala ia menyebut pengalaman membeli smartphone lewat flash sale di toko sebuah e-commerce.Â
Hipotesis saya abang Gojek ini selain paham keuangan digital, juga seorang "pengabdi cashback" dan "pemuja diskon". Hipotesis itu paling tidak mendekati kebenaran ketika ia dengan jujur dan terang mengatakan sering memanfaatkan layanan Grab untuk memesan makanan.Â
"Promonya lumayan kalau Grabfood dan bisa berkali-kali. Kalau mas-nya nggak pakai hari ini, masih bisa buat besok", tambahnya.Â
Pernyataan itu masih berlanjut.
"Saya sih sama kaya orang-orang. Konsumen kan maunya yang murah ya. Makanya kalau pesan 'food' pakainya Grab saja, mas".
Saya sudah tiba di stasiun dan sedang menunggu kereta berangkat. Di dalam gerbong kereta nomor 6, saya masih terkesan dengan omong-omong bersama abang Gojek itu.Â
Abang Gojek itu mungkin diam-diam cinta dengan Grab. Meski terkesan oportunis, tapi tidak sepenuhnya salah. Bukankah sehari-hari kita juga sering menampakkan wajah ambilaven? Cukup sering kita mendua tanpa disadari dan kita enggan mengakuinya.
Kalau dalam politik yang sedang panas sekarang, realitas abang Gojek yang justru memilih dan menganjurkan Grab untuk memesan makanan mungkin serupa dengan orang-orang yang sehari-hari tampil sebagai pendukung capres 01, tapi di bilik suara nanti mencoblos capres 02.Â
Serupa pula dengan emak-emak yang antusias di kampanye cawapres 02, tapi di bilik suara ia sudah yakin akan mencoblos cawapres 01. Meski demikian abang Gojek ini tampaknya lebih jujur dan ksatria. Ia tak bersandiwara dan tak pura-pura netral.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H