Kami terus melaju di lalu lintas yang ramai. Untungnya Purwokerto belumlah kota yang padat lalu jalanannya. Naik ojek atau kendaraan pribadi pun tak jauh beda dari segi efisiensi waktu karena kemacetan di Purwokerto belum mewujud secara masif. Kepadatan lebih terkonsentrasi di titik-titik tertentu yang ruwet seperti persimpangan.Â
Kota Purwokerto punya banyak persimpangan. Pada satu ruas jalan lurus di pusat kotanya saja bisa dijumpai tiga persimpangan beruntun yang jaraknya berdekatan.
Oleh karena itu perlu waspada jika berkendara di Purwokerto dan kebetulan melintasi persimpangan-persimpangan yang berdekatan.Â
Selain menghindari kecelakaan, juga agar tidak terkena tilang karena Purwokerto sudah menerapkan tilang elektronik dan banyak persimpangannya sudah dilengkapi CCTV.
Dari soal penyewaan akun, obrolan berlanjut ke topik yang lain.
"Kalau grab itu 'remuk' ya 'remuk', mas", katanya. Saya yang penasaran dengan arti "remuk" tersebut mendapatkan ilustrasi dari abang Gojek.
Ia mencontohkan siklus performa yang menjadi salah satu penilaian. "Kalau gojek performanya harian. Kalau hari ini saya cuma 70% besok sudah kembali ke 'nol', jadi enak".
Baginya penilaian berbasis performa harian itu lebih baik dibanding Grab yang siklusnya per minggu. Jika satu hari mitra Grab mendapat performa rendah, perlu waktu sampai seminggu ke depan untuk "memperbaiki".
"Kok bapak tahu? Dulu sempat di Grab?" tanya saya.
"Iya, (mitra) Gojek di sini kan rata-rata banyak yang dari Grab", jawabnya.
Obrolan saya dan abang Gojek terus berlanjut. Hal yang membuat saya terkesan adalah abang Gojek ini rupanya cukup "melek" digital. Ia dengan fasih menjelaskan banyak hal soal perbedaan Gojek dan Grab. Penjelasannya itu menurut saya cukup akurat. Soal OVO misalnya, ia malah menganjurkan saya memakai OVO.Â