Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

"Pacar" yang Baik Bisa Menyelamatkan Kita dari Kebodohan

9 Maret 2019   08:29 Diperbarui: 10 Maret 2019   12:32 920
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku dari penerbit indie ternyata banyak diminati di Patjar Merah (dok. pri).

Begitu masuk kesenangan segera didapati. Suasananya, walau tak mewah, tapi menggairahkan bagi para pemuja buku. Di dalam ruangan tumpukan-tumpukan buku tertata rapi di atas rak-rak. Umbul-umbul bergambar wajah Soekarno, Hatta, dan Tan Malaka tergantung di langit-langit atap yang tinggi. 

Seorang panitia berwajah manis yang saya jumpai di meja layanan pelanggan mengatakan tak kurang dari 9000 pengunjung sudah datang ke Patjar Merah. Jumlah yang menurut saya cukup banyak, meski Patjar Merah mengambil tempat di luar radius pusat pergaulan warga Yogyakarta. Lokasinya di Jalan Gedong Kuning No. 118 jauh dari kampus-kampus besar. 

Rimba buku di Patjar Merah 2019 berlangsung dari 2 Maret hingga 10 Maret 2019 (dok. pri).
Rimba buku di Patjar Merah 2019 berlangsung dari 2 Maret hingga 10 Maret 2019 (dok. pri).
Sejam setelah saya datang, pengunjung mulai ramai dan semakin ramai. Saya lumayan terkejut mendapati bahwa rak yang paling banyak diserbu oleh pengunjung adalah rak penerbit indie dan penerbit lain yang tidak terlalu populer. Saat bergabung dalam kerumunan itu saya coba memperkirakan bahwa minat pada buku-buku indie barangkali karena rasa ingin tahu terhadap bacaan-bacaan alternatif. Benar tidaknya saya tidak tahu persis.

Banyak di antara pengunjung hari itu juga adalah anak-anak. Tumpukan buku bersampul aneka warna di rak buku anak menjadi wahana bermain dan membaca mereka siang itu. Sementara di ujung gedung berlangsung obrolan yang  disesaki ibu-ibu dan calon ibu.

Azzam, seorang mahasiswa semester 6 dari IAIN Surakarta saya jumpai di tengah kerumunan pengunjung. Ia mengaku sengaja datang dari Solo menuju Patjar Merah bersama seorang temannya. Menyukai kajian sosial, budaya, dan politik, ia berharap bisa mendapatkan beberapa bacaan menarik sesuai minatnya. Maka ia pun segera tenggelam di rimba buku Patjar Merah.

Melayani

Adalah Windy Ariestanty dan Irwan Bajang yang menggagas sekaligus mengkomandani Patjar Merah. Acara literasi dan pasar buku ini barangkali tak lepas dari usaha membuktikan tinggi  rendahnya minat baca masyarakat Indonesia. Menurut hasil sejumlah survey global minat baca orang Indonesia tergolong rendah. Namun, bagi saya daripada sibuk "menguji" kebenaran survey tersebut, acara-acara literasi semacam Patjar Merah justru lebih bermakna karena ada semangat "melayani".

Melayani sambil melambungkan misi mengembangkan budaya literasi. Semangatnya adalah mengajak masyarakat agar terus membaca sekaligus melawan gelombang penurunan minat membeli buku karena alasan, salah satunya, harga buku yang mahal. Meski mahal atau tidaknya harga buku rasanya tidak mudah diukur standarnya.

Peminat novel (dok.pri).
Peminat novel (dok.pri).
Maka dari itu potongan harga 30% hingga 80% yang ditawarkan Patjar Merah untuk sebanyak satu juta buku yang dibawa selama acara baru merupakan satu upaya. Butuh cara-cara lain yang tak membatasi masalah minat baca pada urusan harga buku.

Untungnya Patjar Merah sadar akan hal itu. Tidak heran karena penggagasnya adalah orang-orang yang paham dan matang dalam urusan literasi. Jadilah Patjar Merah mengambil ruang di tempat yang tidak biasa, yakni sebuah gudang yang jauh dari kota. Mengutip pernyataan Wiendy, kegiatan literasi perlu dilakukan di mana saja.

Patjar Merah juga menjadi tempat bersenang-senang bagi anak-anak (dok.pri).
Patjar Merah juga menjadi tempat bersenang-senang bagi anak-anak (dok.pri).
Soal nama "Patjar Merah" juga menarik. Nama itu dipinjam dari novel klasik berjudul "Pacar Merah Indonesia" karya Matu Mona. Diterbitkan pertama kali pada 1938 dan terakhir kali pada 2010, roman Pacar Merah Indonesia menggambarkan petualangan Tan Malaka, sosok yang dijuluki sebagai Bapak Republik Indonesia meski kemudian julukan itu lebih lekat dengan "kesepian" dan "keterasingan" yang harus menjadi milik Tan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun