Begitu masuk kesenangan segera didapati. Suasananya, walau tak mewah, tapi menggairahkan bagi para pemuja buku. Di dalam ruangan tumpukan-tumpukan buku tertata rapi di atas rak-rak. Umbul-umbul bergambar wajah Soekarno, Hatta, dan Tan Malaka tergantung di langit-langit atap yang tinggi.Â
Seorang panitia berwajah manis yang saya jumpai di meja layanan pelanggan mengatakan tak kurang dari 9000 pengunjung sudah datang ke Patjar Merah. Jumlah yang menurut saya cukup banyak, meski Patjar Merah mengambil tempat di luar radius pusat pergaulan warga Yogyakarta. Lokasinya di Jalan Gedong Kuning No. 118 jauh dari kampus-kampus besar.Â
Banyak di antara pengunjung hari itu juga adalah anak-anak. Tumpukan buku bersampul aneka warna di rak buku anak menjadi wahana bermain dan membaca mereka siang itu. Sementara di ujung gedung berlangsung obrolan yang  disesaki ibu-ibu dan calon ibu.
Azzam, seorang mahasiswa semester 6 dari IAIN Surakarta saya jumpai di tengah kerumunan pengunjung. Ia mengaku sengaja datang dari Solo menuju Patjar Merah bersama seorang temannya. Menyukai kajian sosial, budaya, dan politik, ia berharap bisa mendapatkan beberapa bacaan menarik sesuai minatnya. Maka ia pun segera tenggelam di rimba buku Patjar Merah.
Melayani
Adalah Windy Ariestanty dan Irwan Bajang yang menggagas sekaligus mengkomandani Patjar Merah. Acara literasi dan pasar buku ini barangkali tak lepas dari usaha membuktikan tinggi  rendahnya minat baca masyarakat Indonesia. Menurut hasil sejumlah survey global minat baca orang Indonesia tergolong rendah. Namun, bagi saya daripada sibuk "menguji" kebenaran survey tersebut, acara-acara literasi semacam Patjar Merah justru lebih bermakna karena ada semangat "melayani".
Melayani sambil melambungkan misi mengembangkan budaya literasi. Semangatnya adalah mengajak masyarakat agar terus membaca sekaligus melawan gelombang penurunan minat membeli buku karena alasan, salah satunya, harga buku yang mahal. Meski mahal atau tidaknya harga buku rasanya tidak mudah diukur standarnya.
Untungnya Patjar Merah sadar akan hal itu. Tidak heran karena penggagasnya adalah orang-orang yang paham dan matang dalam urusan literasi. Jadilah Patjar Merah mengambil ruang di tempat yang tidak biasa, yakni sebuah gudang yang jauh dari kota. Mengutip pernyataan Wiendy, kegiatan literasi perlu dilakukan di mana saja.