Mendapat gempuran hebat, Pangeran Diponegoro bersama para pengikutnya berusaha naik ke atas bukit untuk meloloskan diri. Pada lukisan terlihat detail Masjid Selarong dibakar oleh Belanda.
Sementara pada lukisan "Tembang Cinta" karya Astuti Kusumo yang mengacu pada pupuh ke-37 terlihat visual yang dramatis. Sapuan-sapuan cat akrilik yang didominasi warna biru membentuk sosok Pangeran Diponegoro yang sedang bersimpuh sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan.Â
Rupanya ia sedang menangis mengetahui sang paman Ngabehi Joyokusumo telah gugur di perbukitan Menoreh Selatan. Tampak pula seekor kuda dan samar-samar sosok para prajurit berada di sekeliling sang pangeran.
Selain lukisan yang menggambarkan kisah secara realistik dan naratif, pada pameran ini tampil pula beberapa lukisan dengan bentuk visual nonrealistik yang unik. Meskipun demikan latar kisahnya tetap mengacu pada Babad Diponegoro.Â
Misalnya lukisan "Balada Diponegosdor" karya Stefan Buana yang dibuat berdasarkan pupuh ke-20. Lukisan ini semestinya menggambarkan Pangeran Diponegoro yang dituntun menuju ke Gunung Rasamuni oleh sosok Ratu Adil yang menggunakan surban hijau dan jubah putih.Â
Sosok itu memancarkan cahaya yang mengenai Pangeran Diponegoro, tapi yang tampak pada lukisan justru aneka bentuk menyerupai alat musik seperti gitar dan juga fragmen-fragmen yang berisi wajah Gus Dur.
Contoh bentuk visual nonrealistik lainnya adalah lukisan "Blirik" karya Hadi Soesanto. Lukisan ini seharusnya berkisah tentang kebersamaan antara Pangeran Diponegoro, Sri Sultan Hamengku Buwono IV serta beberapa pangeran bangsawan lainnya yang sedang memilah-milah ikan di tambak. Namun, Hadi dengan menggunakan cat akrilik dan papan akrilik justru membuat 12 panel lukisan yang menggambarkan cangkir blirik di mana salah satunya berisi ikan.
Pengunjung menyimak sebuah lukisan dari Babad Diponegoro (dok. pri).
Sungguh suatu pengalaman dan kesempatan yang berharga bisa "berjumpa" dengan Pangeran Diponegoro melalui jendela karya seni rupa. Pemilihan lukisan sebagai media  penyampaian ulang Babad Diponegoro rasanya tepat karena media visual tidak mengenal batas bahasa serta mudah memantik rasa ingin tahu.Â
Namun, melihat situasi pameran yang sepi dan dari buku daftar pengunjung yang tidak terlalu penuh, sangat disayangkan jika warisan Indonesia yang sudah diakui dunia ini justru kurang diapresiasi oleh bangsa sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Humaniora Selengkapnya