Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah pernah bekerja sama melakukan telaah fiqih soal korupsi. Para pakar, pemikir, dan tokoh ulama dari kedua organisasi Islam terbesar di Indonesia tersebut menjabarkan pemikirannya untuk memperkaya pemahaman mengenai korupsi, sekaligus sebagai dukungan terhadap pemberantasan korupsi dan perang melawan koruptor.Â
Meski NU dan Muhammadiyah memiliki pendekatan yang agak berbeda soal pemberantasan korupsi, tapi satu kata bahwa korupsi adalah tindakan keji, tercela, dan bertentangan dengan agama. Menurut sudut pandang Islam "koruptor tidak mungkin korupsi dalam keadaan beriman". Dengan kata lain orang yang beriman tidak mungkin melakukan korupsi. Ketika orang korupsi maka hatinya telah melupakan Allah. Korupsi merupakan dosa besar yang digolongkan sebagai perbuatan syirik dan tidak termaafkan.
Hasil penelaahan para pemikir NU dan Muhammadiyah tersebut dirangkum dalam buku "Fikih Antikorupsi". Buku tersebut kemudian diterbitkan ulang Penerbit Mizan dengan judul baru yang lebih menegaskan dan menajamkan kesimpulan, yakni: "Koruptor Itu Kafir".
***
Artikel ini belum akan membahas tentang buku "Koruptor Itu Kafir". Bukan pula merinci tentang kekafiran koruptor. Namun, membincangkan orang-orang yang telah memberi teladan dan harapan di tengah kondisi suram negeri ini akibat korupsi.
Dalam buku berjudul "Empat Pengawal Uang Rakyat" (Kepustakaan Populer Gramedia) yang disusun oleh Ahmad Arif dan Farida Indriastuti, diceritakan sepak terjang para penerima Bung Hatta Anti-Corruption Award, yaitu Basuki Tjahaja Purnama (BTP), Tri Rismaharini, Yoyok Riyo Sudibyo, dan Nur Pamudji.Â
Dalam menjalankan amanah kedudukan dan jabatannya, baik BTP, Risma, Yoyok maupun Nur Pamudji, tidak sekadar melayani rakyat. Mereka juga membenahi sistem dan birokrasi yang bobrok karena kedua hal itulah yang selama ini terus menerus memproduksi koruptor. Mereka menerapkan sistem baru yang lebih transparan, akuntabel, efisien, dan tepat sasaran.
***
Sepak terjang BTP melawan praktik korupsi di DKI Jakarta cukup fenomenal mengingat korupsi di ibukota negara sudah menggurita selama bertahun-tahun dan menyebabkan hilangnya uang rakyat dalam jumlah yang sangat besar. Salah satu aksinya yang sangat penting adalah saat membongkar anggaran siluman dalam APBD versi DPRD DKI Jakarta.Â
BTP marah tatkala menemukan alokasi dana sebesar Rp12,1 triliun yang ditujukan untuk pengadaan UPS, buku-buku, dan lain sebagainya. Proyek-proyek tersebut adalah modus perampokan uang rakyat. Ia lalu membongkarnya secara terbuka.
Seperti yang khalayak ketahui bersama, BTP mendapatkan perlawanan yang keras dan nyata dari para mafia dan koruptor yang mulai terusik. Di sebuah rapat, sejumlah anggota DPRD bahkan dengan lantang menghardik BTP dengan kata-kata "goblok", "anjing", dan "bangsat". Namun, BTP tidak gentar. Tekadnya kuat untuk menjaga dan menyelamatkan uang rakyat.
Walau pada saat yang sama perlawanan dan serangan balik dari orang-orang yang kenyamanannya terganggu semakin deras. Di kemudian hari terbukti satu persatu mafia dan koruptor yang dilawan oleh BTP itu terbongkar kedoknya.
BTP mempersempit celah korupsi dengan mengawasi penggunaan anggaran DKI secara ketat. Sistem e-budgeting dan e-katalog diterapkannya untuk memperkecil potensi penyusupan proyek serta penggelembungan anggaran yang biasa dilakukan untuk merampok uang rakyat. Selain itu BTP menerapkan lelang jabatan dan sistem evaluasi kerja bagi jajaran PNS DKI.
Di sektor pelayanan publik, BTP gencar menghadirkan inovasi. Transparansi yang dihadirkan BTP berhasil meyakinkan perusahaan-perusahaan swasta untuk mengucurkan dana CSR guna membangun fasilitas publik yang bermanfaat bagi masyarakat DKI. Banyak pembangunan dilakukan dengan penggunaan dana yang efisien. Hasil penghematan anggaran kemudian digunakan untuk menyokong pelayanan publik lainnya sehingga masyarakat DKI merasakan pelayanan yang semakin prima.
Risma adalah sosok di balik keberhasilan Surabaya menjadi daerah pertama yang menerapkan penyusunan dan pengawasan anggaran secara elektronik. Inilah yang kemudian ditiru oleh BTP di Jakarta melalui e-budgeting. Risma pula yang mengembangkan sistem e-procurement untuk mencegah korupsi dan suap dalam pengadaan barang dan jasa. Untuk meningkatkan efisiensi anggaran Risma memangkas anggaran belanja pegawai dan mengurangi jumlah kelurahan.
Sikap Risma dalam mempromosikan transparansi anggaran sebenarnya sudah ia tunjukkan sebelum menjadi walikota. Tidak sedikit pihak yang merasa terganggu dengan sepak terjangnya itu. Risma dan keluarganya pun pernah mendapatkan ancaman pembunuhan.Â
Sebagai Walikota, Risma tak segan bersikap keras dan marah-marah demi menegakkan pemerintahan yang bersih dari korupsi. Salah satu potret keteguhan hatinya untuk berpijak pada kebenaran adalah saat menghadapi DPRD Kota Surabaya terkait peraturan walikota soal reklame. Risma mempertahankan prinsipnya dan menolak tunduk pada DPRD. Ia tak peduli meski ada ancaman pemakzulan dan upaya kriminalisasi terhadap dirinya.
Langkah Yoyok menjadi pemimpin daerah cukup menarik. Setelah memutuskan pensiun dini dari TNI, ia memilih jalan hidup sebagai pengusaha. Sukses menjadi pengusaha, ia terpanggil untuk mengabdi pada rakyat Batang.Â
Sentuhan Yoyok berhasil mengubah Batang yang sebelumnya dikenal sebagai salah satu kabupaten "terkotor" di Jawa Tengah menjadi daerah percontohan nasional soal transparansi anggaran. Ini mengejutkan banyak pihak. Apalagi, Yoyok melakukannya hanya dalam satu periode jabatan bupati.
Salah satu gebrakan penting Yoyok adalah meluncurkan "Festival Anggaran". Melalui kegiatan tersebut masyarakat Batang diajak mengawasi dan mengkritisi alokasi anggaran daerah dan penggunaanya. Hal itu otomatis mendorong para pejabat daerah Batang untuk bersikap profesional dan terbuka dalam mempertanggungjawabkan penggunaan uang rakyat.
Kondisi itu sempat membuat Yoyok putus asa dan berniat mundur dari kursi bupati. Namun, akhirnya ia tetap melanjutkan kepemimpinannya hingga usai. Di akhir masa jabatannya Yoyok pergi dengan kepala tegak. Ia menolak untuk maju kembali sebagai bupati kedua kalinya. Bukti bahwa sebagai pemimpin Yoyok tidak haus kekuasaan.
Program tersebut bukan sebatas slogan karena Nur Pamudji termasuk berhasil mereformasi PLN. Salah satunya memangkas rantai korupsi pada pengadaan tender proyek di PLN. Nur Pamudji menemukan bahwa pengadaan barang di PLN yang melibatkan makelar membuat BUMN ini harus mengeluarkan biaya yang jauh lebih besar dibanding seharusnya.Â
Sebagai tindak lanjut, Nur Pamudji menggandeng Transparancy International Indonesia untuk mempercepat reformasi dan pembersihan di dalam tubuh PLN. Nur mendatangi langsung produsen barang-barang keperluan PLN dan pada saat bersamaan mengurangi ketergantungan PLN pada makelar.Â
Pada para bawahannya Nur berupaya keras untuk menegakkan prinsip antikorupsi. Meski hal itu tidak mudah karena dalam tubuh PLN pada saat itu gurita korupsi telah membelit dengan kuat. Sebagai pemimpin, Nur berani turun membela para bawahannya yang bersih. Pada akhirnya Nur sendiri turut menjadi sasaran serangan balik para koruptor.
***
Melalui BTP, Risma, Yoyok, dan Nur Pamudji, kita melihat betapa korupsi di Indonesia telah menghujam begitu dalam ke semua sektor kehidupan. Kenyataan pahit ini barangkali membuat kita hampir putus asa karena seolah tak berdaya memerangi korupsi yang begitu masif dan sistemik.
Tak terhitung kerugian dan kesengsaraan akibat korupsi. Begitu besar penderitaan rakyat karena anggaran yang semestinya digunakan untuk menyejahterakan mereka justru dirampok oleh koruptor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H