Pada beberapa makam tanda salib dibuat tegak. Sementara di makam lainnya tanda salib dijumpai melalui susunan keramik yang melapisi makam. Tidak jauh dari makam kakek juga ada makam warga nonmuslim lengkap dengan tanda salibnya.
Warga Jetak bisa memakamkam anggota keluarganya di pemakaman tersebut tanpa dibedakan agamanya. Semua makam diperlakukan sama dan sama-sama dirawat.Â
Jika ada kegiatan bersih makam, warga bergotong royong membersihkan lingkungan sekitar makam tanpa membedakan makam muslim dan makam nonmuslim.Â
Kegiatan doa juga bisa dijalankan oleh setiap orang di pemakaman tersebut. Bahkan, pada satu kesempatan ketika menghadiri pemakaman anggota keluarga yang lain, saya menyaksikan  seorang ibu sedang berdoa sambil membakar dan mengangkat hio/dupa.Â
Rombongan pengantar jenazah lewat di depan dan di belakang ibu itu. Tidak satu pun warga yang melarang atau meminta sang ibu untuk menghentikan doanya.Â
Keluarga kami juga tidak mempersoalkan hal itu sehingga saat pemakaman berlangsung, ibu itu bisa menyelesaikan ritual doa di makam anggota keluarganya.
Tembok gereja yang menyatu dengan rumah tempat tinggal seolah cerminan kehidupan warganya yang saling menyokong. Kebetulan pula gereja itu hanya berjarak dua rumah dari rumah kakek.
Sebelum gereja itu dibangun menjadi besar seperti sekarang, warga Kristen beribadah dengan memanfaatkan sebuah rumah warga yang letaknya tepat di depan rumah paman.
Oleh karenanya dulu saya bisa menyaksikan halaman depan rumah paman dijadikan tempat parkir sepeda dan sepeda motor milik jemaat yang hendak beribadah. Namun, akibat gempa beberapa tahun lalu, rumah tempat ibadah itu ambruk sehingga tidak bisa lagi digunakan.Â
Begitu indah toleransi di Jetak sehingga perbedaan agama tidak menimbulkan perasaan terganggu satu sama lain. Tidak pernah terdengar protes dari kelompok warga lain perihal rumah yang dijadikan tempat ibadah maupun gereja yang berada di tengah perkampungan dusun Jetak.Â