Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Makam dengan Salib dan Makam Muslim Rebah Berdampingan di Dusun Ini

20 Desember 2018   18:40 Diperbarui: 20 Desember 2018   21:58 801
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gereja di tengah-tengah rumah warga di Dusun Jetak, Wedi, Klaten, Jawa Tengah (dok. pri).

Pemotongan nisan salib dan larangan berdoa yang dialami oleh sebuah keluarga pemeluk Katolik saat hendak memakamkan anggota keluarganya di Kotagede, Yogyakarta, pada Senin, 17 Desember 2018, memicu keprihatinan. 

Peristiwa tersebut segera menjadi sorotan luas karena melukai semangat toleransi dan bertentangan dengan prinsip kehidupan di negara yang berlandaskan Pancasila. Kejadian yang sangat disayangkan itu pun kembali mencuatkan isu intoleransi di Yogyakarta.

Peristiwa itu lalu mengantarkan saya untuk mengingat lagi sebuah tempat bernama Jetak, sebuah dusun kecil di Kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Itu pun masih ke selatan lagi melewati persawahan yang sedemikian luas mengelilingi kampung-kampung tempat tinggal.

Kehidupan sehari-hari di Jetak sangat tenang. Begitu tenangnya hingga saat malam tiba suara jangkrik dan binatang malam lainnya sering terdengar lebih nyaring dibanding suara televisi. 

Tenangnya kehidupan di Jetak tidak lepas dari para warganya yang senantiasa damai dalam berkehidupan. Jetak terlindung dari polusi suara dan udara, sekaligus terjaga dari polusi-polusi pemikiran yang di tempat lain seringkali membuat orang kehilangan kewarasan dan keluwesan.

Dusun Jetak saya kenal sejak kecil. Di sini orang tua saya dilahirkan sehingga saat lebaran selalu saja perjalanan ke Jetak menjadi ritual yang mesti dijalani. 

Seiring waktu saya semakin sering mengunjungi Jetak. Biasanya saya menginap barang satu malam di rumah kakek atau rumah saudara lainnya yang juga tinggal di Jetak.

Sekitar enam bulan lalu saya datang lagi ke Jetak. Bersama orang tua dan handai taulan kami mengantarkan kakek ke tempat peristirahatannya yang terakhir.

Pemakaman tempat kakek dikuburkan tidak terlalu jauh dari rumah kakek. Berjalan kaki hanya butuh waktu sekitar 15 menit. 

Pemakaman itu juga sudah sering saya kunjungi karena nenek dan beberapa saudara dimakamkan di sana sehingga setiap kali ke Jetak kami yang masih hidup menyempatkan berziarah dan mengirimkan doa bagi keluarga yang telah pergi.

Pemakaman umum di dusun Jetak. Di sini lazim dijumpai makam dengan salib berdampingan di antara makam-makam muslim (dok. pri).
Pemakaman umum di dusun Jetak. Di sini lazim dijumpai makam dengan salib berdampingan di antara makam-makam muslim (dok. pri).
Di pemakaman yang cukup luas tersebut makam-makam muslim rebah berdampingan dengan makam-makam nonmuslim. Tidak ada area khusus makam muslim dan nonmuslim sehingga makam bertanda salib bisa berada di antara sekelompok makam dengan nisan bergaya Islam.  

Pada beberapa makam tanda salib dibuat tegak. Sementara di makam lainnya tanda salib dijumpai melalui susunan keramik yang melapisi makam. Tidak jauh dari makam kakek juga ada makam warga nonmuslim lengkap dengan tanda salibnya.

Warga Jetak bisa memakamkam anggota keluarganya di pemakaman tersebut tanpa dibedakan agamanya. Semua makam diperlakukan sama dan sama-sama dirawat. 

Jika ada kegiatan bersih makam, warga bergotong royong membersihkan lingkungan sekitar makam tanpa membedakan makam muslim dan makam nonmuslim. 

Kegiatan doa juga bisa dijalankan oleh setiap orang di pemakaman tersebut. Bahkan, pada satu kesempatan ketika menghadiri pemakaman anggota keluarga yang lain, saya menyaksikan  seorang ibu sedang berdoa sambil membakar dan mengangkat hio/dupa. 

Rombongan pengantar jenazah lewat di depan dan di belakang ibu itu. Tidak satu pun warga yang melarang atau meminta sang ibu untuk menghentikan doanya. 

Keluarga kami juga tidak mempersoalkan hal itu sehingga saat pemakaman berlangsung, ibu itu bisa menyelesaikan ritual doa di makam anggota keluarganya.

Seorang ibu sedang berdoa dengan membakar hio. Pada saat yang sama sedang berlangsung pemakaman anggota keluarga saya yang muslim. Toleransi yang indah (dok. pri).
Seorang ibu sedang berdoa dengan membakar hio. Pada saat yang sama sedang berlangsung pemakaman anggota keluarga saya yang muslim. Toleransi yang indah (dok. pri).
Toleransi di Jetak mewujud bukan hanya pada urusan makam, tapi juga tempat ibadah. Gereja tempat umat Kristen beribadah berada di antara tempat tinggal warga. 

Tembok gereja yang menyatu dengan rumah tempat tinggal seolah cerminan kehidupan warganya yang saling menyokong. Kebetulan pula gereja itu hanya berjarak dua rumah dari rumah kakek.

Sebelum gereja itu dibangun menjadi besar seperti sekarang, warga Kristen beribadah dengan memanfaatkan sebuah rumah warga yang letaknya tepat di depan rumah paman.

Oleh karenanya dulu saya bisa menyaksikan halaman depan rumah paman dijadikan tempat parkir sepeda dan sepeda motor milik jemaat yang hendak beribadah. Namun, akibat gempa beberapa tahun lalu, rumah tempat ibadah itu ambruk sehingga tidak bisa lagi digunakan. 

Begitu indah toleransi di Jetak sehingga perbedaan agama tidak menimbulkan perasaan terganggu satu sama lain. Tidak pernah terdengar protes dari kelompok warga lain perihal rumah yang dijadikan tempat ibadah maupun gereja yang berada di tengah perkampungan dusun Jetak. 

Tidak pernah pula meletup persoalan larangan menguburkan warga di pemakaman dusun tersebut karena perbedaan keyakinan. Baik dulu maupun sekarang kehidupan di Jetak tidak terusik oleh persoalan agama.

Memang, Jetak bukan daerah yang istimewa. Namun, di sini ada penghayatan Pancasila yang jujur. Penghayatan yang tidak mengenal "kesepakatan" semu antara mayoritas dan minoritas. 

Penghayatan yang tidak dipaksakan oleh ketidakberdayaan di satu pihak dan kesewenangan di pihak lain. Di dusun ini toleransi mengalir apa adanya dan dipraktikkan secara menyenangkan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun