Lembut, sedikit kenyal, dan warnanya menarik. Semakin menggiurkan dalam guyuran santan, gula jawa, dan es batu. Satu gelas sudah bisa mengalirkan kesegaran di kerongkongan. Apalagi, kalau dua gelas.
Masyarakat kita menamainya es cincau. Nama itu merujuk pada jenis tumbuhan yang daunnya digunakan sebagai bahan utama pembuatannya. Meskipun sebutan "cincau" cenderung bias karena sebenarnya ada banyak jenis tumbuhan yang bisa dijadikan sumber penghasil cincau.
Cincau yang dimaksud dalam es cincau adalah gel hasil ekstraksi dari daun tumbuhan Cyclea barbata (cincau hijau) dan Mesona palustris (cincau hitam). Selain keduanya masih ada beberapa jenis tumbuhan cincau lainnya. Tapi umumnya cincau yang banyak dijumpai adalah cincau hijau dan cincau hitam.
Tapi setelah beranjak besar dan sudah bisa pergi membeli jajan sendiri, tentu saja setelah meminta uang jajan pada ibu, setiap kali menjumpai penjual es cincau lewat dengan gerobak atau sepedanya, saya segera menghampirinya. Lalu sambil mengayuh sepeda dan "touring" desa bersama teman-teman, satu tangan saya memegang es cincau yang dibungkus plastik.
Hingga kini kegemaran saya pada es cincau tidak berkurang. Rasanya seperti ketagihan setelah menenggak segelas. Paduan lembut dan kenyal cincau, ditambah manisnya gula jawa dan santan encer dengan es batu yang dingin. Siapa yang tak suka dengan kesegarannya?
Selain karena memori masa kecil di atas, kegemaran saya meminum es cincau juga karena kandungan dan manfaatnya. Â Cincau disukai karena berkhasiat menangani panas dalam dan gangguan lambung.
Dalam daun cincau terdapat kalori, karbohidrat, protein, dan lipid. Selain itu kandungan seratnya yang tinggi dengan tambahan mineral seperti Kalsium, Besi dan Fosfor. Masih ditambah kandungan vitamin A, B dan C. Dalam ekstrak daun cincau juga teridentifikasi senyawa metabolit sekunder dari golongan flavonoid dan fenol yang berkhasiat sebagai antioksidan.
Dengan kata lain cincau cukup baik sebagai bahan makanan dan minuman alternatif. Masyarakat Indonesia yang pandai meramu makanan dan minuman kemudian menemukan cara penyajian cincau dalam bentuk minuman es.
Bicara tentang es cincau di bulan Ramadan, saya jadi ingat seorang bernama Arif. Ia adalah penjual es cincau keliling yang biasa dijumpai di kawasan sekitar Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Sudah sejak 2007 ia berjualan es cincau menggunakan gerobak yang disambung dengan bagian sepeda sehingga ia bisa mengayuhnya.
Pada hari-hari biasa ia berjualan mulai pukul 10.00 WIB. Berangkat dari rumahnya di daerah Karangmalang, dekat kampus UNY, ia berkeliling menawarkan es cincau hijau. Sementara saat puasa, ia mulai berjualan pukul 14.30 WIB.
Pada 2015 ia menjual es cincau hanya Rp2500 per bungkus. Tahun-tahun berikutnya Rp3500 dan pada Ramadan 2018 ini es cincau buatannya dihargai Rp4000. Wadahnya bukan lagi bungkusan plastik yang diikat, tapi sudah menggunakan gelas plastik dengan penutup.
Es cincau buatan Arif tidak hanya murah, tapi juga segar dan manis. Cincau hijaunya padat, tidak terlalu lembek dan dingin di mulut. Menurut pria asal Banjarnegara ini, untuk mendapatkan gel cincau hijau yang baik butuh waktu 3 jam dengan air panas hingga sedang.
Gel cincau didapatkan dari proses ekstraksi daun yang telah direbus, kemudian disaring dan dilanjutkan dengan proses penjendalan hingga dihasilkan gel yang kenyal dan padat. Setiap hari ia menghabiskan 1 kg daun cincau untuk membuat gel cincau.
Saya sendiri lebih suka tanpa sirup dan bubur mutiara tersebut. Dengan komposisi yang sederhana seperti itu pun segelas es cincau sudah mampu memberikan kesegaran dan kesenangan. Tapi kalau es cincau buatan mas Arif saya tak pernah cukup hanya segelas, selalu membeli dua gelas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H