Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kisah "Gojek Pangkalan" di Purwokerto

6 April 2018   12:55 Diperbarui: 9 April 2018   11:19 10481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cuaca cerah di Purwokerto pada Jumat (30/3/2018) siang itu. Di depan stasiun Purwokerto yang ramai dan hampir macet karena begitu banyaknya orang dan kendaraan yang keluar masuk stasiun, saya berhenti sebentar untuk memesan Gojek. 

Dua menit kemudian saya mendapatkan seorang pengemudi Gojek yang tak perlu saya sebutkan namanya di sini.

Seperti pada umumnya di kota-kota lain di mana Gojek tidak diizinkan menjemput penumpang di stasiun, terminal, atau bandara, di Purwokerto juga berlaku hal yang sama. 

Siang itu saya pun harus keluar dari area stasiun dan berjalan kaki sejauh kurang lebih 400 meter menuju titik terdekat area penjemputan penumpang Gojek dari Stasiun Purwokerto.

Di area penjemputan itu pengemudi Gojek yang akan membawa saya sudah menunggu. Di sana saya melihat beberapa motor dan mobil yang terparkir milik para pengemudi Gojek dan Gocar. 

Di situ juga ada penjual kaki lima dan seorang lainnya yang saya perhatikan beberapa kali menerima selembar uang Rp2000 dari para pengemudi Gojek yang akan berangkat membawa penumpangnya. 

Pengemudi Gojek yang saya tumpangi juga menyodorkan rupiah kepada orang tersebut sesaat sebelum pergi mengantarkan saya. Apakah ia tukang parkir yang mengutip jasa parkir kepada setiap kendaraan yang berhenti di tempat tersebut?

Gojek di Purwokerto, Jawa Tengah (dok. pri).
Gojek di Purwokerto, Jawa Tengah (dok. pri).
Dalam perjalanan saya mendapat sedikit jawaban sekaligus penjelasan menarik dari sang pengemudi tentang fenomena Gojek di Purwokerto. 

Gojek sebenarnya sudah hadir di Purwokerto sejak 2017 lalu. Tapi selama sekitar 6 bulan  pertama para pengemudi harus beroperasi secara diam-diam. 

Mereka tidak mengenakkan atribut helm dan jaket karena adanya penolakan kelas, bukan hanya dari para tukang ojek pangkalan dan taksi konvensional, tapi juga terhalang "restu" pemerintah daerah setempat. 

Baru akhir-akhir ini para pengemudi Gojek bisa menunjukkan "eksistensi" mereka. Para pengemudi Gojek bisa menampakkan diri di jalanan tanpa harus menyimpan seragam hijau kebesarannya. 

Tentu saja dengan sejumlah kesepakatan (pembatasan) yang dijalin dengan beberapa pihak seperti tukang ojek pangkalan dan taksi konvensional.

Perihal beroperasi Gojek secara diam-diam pada awal kehadirannya di Purwokerto tidaklah mengagetkan bagi saya. Lain halnya dengan kisah baru yang dituturkan sang pengemudi Gojek dalam perjalanan mengantar saya.

Apa yang terjadi dengan para pengemudi Gojek di Purwokerto mirip dengan fenomena yang belakangan muncul di kota-kota besar, yakni pengemudi Gojek yang berkumpul di beberapa titik pusat keramaian atau di sekitar tempat-tempat strategis layaknya tukang ojek pangkalan.

Namun, ada fakta menarik lain yang terlontar dari penjelasan pengemudi Gojek yang saya tumpangi siang itu. Beberapa pengemudi Gojek di Purwokerto ada yang membentuk kelompok-kelompok kecil yang "menguasai" titik-titik atau pangkalan tertentu. 

Di antara mereka berlaku  peraturan atau kesepakatan bahwa pengemudi Gojek dari luar kelompoknya tidak diperkenankan "parkir" di pangkalan tersebut. 

Sepeda motor dari pengemudi-pengemudi Gojek yang tergabung dalam kelompok pangkalan tertentu akan diberi tanda dengan semacam stiker. Pengemudi Gojek yang tidak memiliki stiker tersebut tidak bisa  ikut menunggu penumpang di pangkalan yang sama. 

Munculnya kelompok-kelompok kecil pengemudi Gojek disertai aturan-aturan antar kelompok di Purwokerto ini barangkali bagian dari konsekuensi persaingan. 

Ketika permasalahan dengan para tukang ojek pangkalan dan taksi konvensional bisa "diatasi" dengan pembatasan area penjemputan, para pengemudi Gojek ternyata masih harus mencari "solusi" untuk persaingan di antara mereka sendiri. 

Maka kemudian lahirlah "Gojek Pangkalan" dengan kesepakatannya masing-masing.

Fenomena "Gojek Pangkalan" ini perlu segera menjadi perhatian Gojek. 

Jika saat ini kelompok-kelompok "Gojek Pangkalan" masih terlihat baik-baik saja, bukan tidak mungkin di kemudian hari "Gojek Pangkalan" akan menimbulkan permasalahan yang mendambah deret persoalan rumit transportasi online di Indonesia. 

Inovasi Gojek memang telah menghadirkan manfaat dan kemudahan yang besar selama ini.  Tapi nilai tambahnya hanya bisa dipertahankan jika potensi masalah-masalah bisa dikelola dan diatasi secara cepat dan bijak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun