Tentu saja dengan sejumlah kesepakatan (pembatasan) yang dijalin dengan beberapa pihak seperti tukang ojek pangkalan dan taksi konvensional.
Perihal beroperasi Gojek secara diam-diam pada awal kehadirannya di Purwokerto tidaklah mengagetkan bagi saya. Lain halnya dengan kisah baru yang dituturkan sang pengemudi Gojek dalam perjalanan mengantar saya.
Apa yang terjadi dengan para pengemudi Gojek di Purwokerto mirip dengan fenomena yang belakangan muncul di kota-kota besar, yakni pengemudi Gojek yang berkumpul di beberapa titik pusat keramaian atau di sekitar tempat-tempat strategis layaknya tukang ojek pangkalan.
Namun, ada fakta menarik lain yang terlontar dari penjelasan pengemudi Gojek yang saya tumpangi siang itu. Beberapa pengemudi Gojek di Purwokerto ada yang membentuk kelompok-kelompok kecil yang "menguasai" titik-titik atau pangkalan tertentu.Â
Di antara mereka berlaku  peraturan atau kesepakatan bahwa pengemudi Gojek dari luar kelompoknya tidak diperkenankan "parkir" di pangkalan tersebut.Â
Sepeda motor dari pengemudi-pengemudi Gojek yang tergabung dalam kelompok pangkalan tertentu akan diberi tanda dengan semacam stiker. Pengemudi Gojek yang tidak memiliki stiker tersebut tidak bisa  ikut menunggu penumpang di pangkalan yang sama.Â
Munculnya kelompok-kelompok kecil pengemudi Gojek disertai aturan-aturan antar kelompok di Purwokerto ini barangkali bagian dari konsekuensi persaingan.Â
Ketika permasalahan dengan para tukang ojek pangkalan dan taksi konvensional bisa "diatasi" dengan pembatasan area penjemputan, para pengemudi Gojek ternyata masih harus mencari "solusi" untuk persaingan di antara mereka sendiri.Â
Maka kemudian lahirlah "Gojek Pangkalan" dengan kesepakatannya masing-masing.
Fenomena "Gojek Pangkalan" ini perlu segera menjadi perhatian Gojek.Â
Jika saat ini kelompok-kelompok "Gojek Pangkalan" masih terlihat baik-baik saja, bukan tidak mungkin di kemudian hari "Gojek Pangkalan" akan menimbulkan permasalahan yang mendambah deret persoalan rumit transportasi online di Indonesia.Â