Para pengawal yang mendeteksi serangan tersebut dengan cepat melindungi Sukarno. Dua orang pengawal, yaitu Soedarjat dan Soesilo tertembus peluru. Desingan peluru juga dirasakan oleh Jenderal A.H. Nasution yang berada di samping Sukarno. Sementara Sang Presiden kembali selamat.
Hasil pengusutan menunjukkan bahwa penembakan pada sholat Idul Adha adalah lanjutan dari perencanaan pembunuhan terhadap Sukarno pada sholat Idul Fitri sebelumnya yang gagal dilakukan. Kedua upaya pembunuhan saat sholat tersebut diotaki oleh Kartosoewirjo yang menghendaki Sukarno dilenyapkan karena menghalangi berdirinya Negara Islam. Insiden Idul Adha di Istana Merdeka tersebut kemudian mengilhami pembentukan resimen khusus Tjakrabirawa yang merupakan cikal bakal Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres).Â
***
Buku setebal 138 halaman ini sangat menarik sekaligus penting karena berangkat dari penelusuran, wawancara, napak tilas, serta investigasi terhadap bukti-bukti serta dokumentasi atas berbagai upaya pembunuhan  terhadap Sukarno. Fakta-fakta tentang Sukarno sendiri banyak ditutup selama orde baru. Oleh karena itu, meski sebagian isinya pernah diterbitkan di Majalah Historia, buku "Mengincar Bung Besar" tetap memiliki arti penting sebagai khasanah sejarah yang perlu diketahui masyarakat.
"Mengincar Bung Besar" berusaha membangkitkan kesadaran historis bangsa Indonesia terhadap seorang pemimpin besar yang memiliki keberanian dan keikhlasan luar biasa selama membangun dan memimpin Indonesia. Sukarno yang tak surut nyali menghadapi ancaman maut memiliki keyakinan diri dan kepasrahan yang tinggi kepada Tuhan. Ia berkata, "selama hidupku ada Kekuatan Maha Tinggi yang mengawal, memimpin, dan melindungiku" (hal.86).Â
Membaca "Mengincar Bung Besar" bagai sebuah tur menjejak masa lalu menyaksikan peristiwa-peristiwa yang mengancam hidup Sukarno. Isi buku ini pun melengkapi episode, dokumentasi, dan pengungkapan dari narasi hidup Sukarno dan jejak pengabdiannya kepada negeri ini.
Pada gilirannya rentetan upaya melenyapkan Sukarno juga menjadi refleksi sekaligus pengingat bahwa ancaman terhadap pemimpin Indonesia akan selalu ada. Seperti halnya selalu ada pihak-pihak yang menghendaki Indonesia dengan bentuk yang lain, yang berbeda dengan cita-cita pendiri bangsa.
Resensi sebelumnya: Belajar Jadi Toleran dari Desa Kaloran
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H