Ahmad berpandangan bahwa Dakwah yang baik memerlukan penguasaan fikih yang mantap serta kecerdasan bagaimana menyampaikannya di tengah-tengah masyarakat yang beragam. Toleransi bisa dihadirkan melalui pemahaman agama secara mendalam yang diaktualisasikan pada ruang, waktu, serta konteks kehidupan lokal masyarakat.
Intoleransi juga bersumber dari ketidakseimbangan dalam memaknai ajaran agama. Ada kelompok yang terlalu bersemangat dengan aspek teologis dan berlebihan dengan dalil naqli kemudian mengabaikan yang bersifat aqli. Ada pula yang bersikap sebaliknya. Akibat dari semua itu amalan Islam yang merentang dan mencakup banyak aspek, termasuk aspek sosial, menjadi direduksi atau kebablasan karena tidak seimbang.
Mengimpor fatwa dari Arab atau Timur Tengah juga kurang tepat karena belum tentu cocok untuk Indonesia. Nilai-nilai ajaran Islam yang universal bisa memayungi Indonesia yang beragam tanpa perlu "Arabisasi".
***
Oleh karena itu, praktik kehidupan di Desa Kaloran bisa menjadi pelajaran atau inspirasi untuk menghayati toleransi sekaligus menangani intoleransi. Peristiwa-peristiwa intoleran yang pernah terjadi dan menimbulkan ketidaknyamanan bersama seharusnya mendorong masyarakat untuk memperbaiki sikap, memperluas pengetahuan, dan memperkuat toleransi.
Belajar dari Desa Kaloran, perlu kebijaksanaan dalam memahami kearifan lokal, budaya, serta etika sosial. Kemampuan dan kreativitas dalam menempatkan tiga hal tersebut selain membuat masyarakat Kaloran mampu beragama dengan baik, juga memungkinkan mereka bersikap luwes dalam menjalankan amalan-amalan kehidupan. Praktik toleransi bisa dikembangkan dalam ranah sosial tanpa diliputi kecurigaan akan merusak akidah.
Rasulullah, para sahabat, dan khalifah tidak mengintimidasi pemeluk agama lain untuk masuk Islam. Rasulullah tidak memaksa budak Yahudi yang membantu dan melayaninya untuk mengikuti agama Allah kecuali dengan cara lembut. Rasulullah tidak menyakiti dan bahkan melepaskan seorang Badui meski orang tersebut menolak beriman kepada Allah. Dengan kata lain, seorang muslim wajib meyakini kebenaran Islam secara total, tapi dalam bermasyarakat harus pula menghormati agama lain.
***
Ngaji Toleransi bukan buku teks dakwah. Bukan pula kumpulan teori. Melainkan sebuah refleksi dan wahana "ngaji" yang relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia yang belakangan mudah diombang-ambingkan oleh propaganda agama yang memicu intoleransi. Meski isinya menekankan toleransi dari sudut pandang Islam dan ditujukan kepada umat muslim, tapi jangkauan buku ini luas dan universal. Semua orang bisa membaca dan mudah memahami isinya karena narasinya yang ringan, lugas, dan kontekstual.Â
Buku ini berusaha memberikan petunjuk amalan toleransi, serta solusi atau jalan tengah untuk permasalahan toleransi yang sering muncul dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, apakah seorang dokter muslim boleh mengobati pasien nonmuslim, bagaimana menyikapi tradisi dan budaya nonmuslim, boleh tidaknya berzakat dan bersedekah kepada nonmuslim, dan lain sebagainya.