Sejak mula kedatangannya, Islam adalah agama yang sangat mengayomi dan penuh semangat menghargai. Islam menjadikan kemanusiaan sebagai salah satu inti ajarannya di mana toleransi ada di dalamnya. Nabi Muhammad saw pun memiliki karakter yang lembut, penuh kasih, dan pemaaf.Â
Namun, kini banyak orang yang menyebut diri sebagai pembela Islam justru menampilkan sikap dan tindakan yang berkebalikan. anyak orang yang mengaku meneladani Rasulullah justru melakukan teror, menebar permusuhan, dan menyebarkan kebencian. Rasulullah sangat menyukai musyawarah untuk menghindari sikap otoriter, lalu mengapa orang-orang itu memaksakan pendapat dan menolak perbedaan?Â
Intoleransi membuat kehidupan beragama diliputi rasa takut dan saling curiga. Pada saat bersamaan pemahaman agama dimanipulasi dengan slogan propaganda untuk kepentingan yang sebenarnya jauh dari makna dan ajaran Islam. Orang-orang dari golongan demikian sesungguhnya telah mengotori Islam.
***
Renungan di atas didapat dari 176 halaman buku "Ngaji Toleransi" yang ditulis oleh Ahmad Syarif Yahya. Pangkal ceritanya adalah kehidupan masyarakat Desa Kaloran, sebuah desa kecil di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, yang juga merupakan kampung halaman sang penulis.
Kehidupan bersama di Kaloran yang dihuni pemeluk Islam, Kristen, Katolik, dan Budha memancarkan kerukunan yang kuat. Di berbagai dusun di desa ini banyak keluarga yang anggota-anggotanya berlainan agama. Kerukunan di Kaloran juga terlihat dari berbagai aktivitas sosial yang dijalankan bersama-sama antara umat muslim dan nonmuslim. Saat Idulfitri semua warga Kaloran apapun agamanya bersilaturahmi dan membuka rumahnya serta menyediakan hidangan lebaran.Â
Bahkan, masyarakat nonmuslim sering diundang ke kegiatan pengajian dan menghadirinya dengan mengenakan pakaian layaknya umat muslim. Tokoh dan pemuka agama Islam pun bersikap terbuka dengan tetangganya yang berlainan agama. Salah satu contohnya melayat ke rumah warga nonmuslim yang meninggal.
***
Buku ini menarik karena menggabungkan dua pendekatan. Pertama, jalur akar rumput yakni kehidupan riil masyarakat desa yang pluralis. Pendekatan kedua adalah pengalaman dan wawasan penulisnya yang merupakan pengajar pondok pesantren dan pernah menjadi santri di pondok pesantren asuhan ulama kharismatik KH. Maemun Zubair. Lewat dua pendekatan tersebut kehidupan masyarakat Desa Kaloran dengan dinamika yang mengiringinya diangkat sebagai refleksi universal untuk memahami toleransi dan membedah akar intoleransi.Â
Hal ini pernah terjadi di Desa Kaloran ketika datang seorang dai dari dusun lain untuk memberikan ceramah. Di hadapan warga dai tersebut menyinggung umat agama lain dan melontarkan kalimat-kalimat penuh kebencian. Akibatnya timbul gesekan yang membuat panas kehidupan masyarakat setempat. Beruntung para tokoh masyarakat bertindak cepat dan mampu mengatasi keadaan.Â
Ahmad berpandangan bahwa Dakwah yang baik memerlukan penguasaan fikih yang mantap serta kecerdasan bagaimana menyampaikannya di tengah-tengah masyarakat yang beragam. Toleransi bisa dihadirkan melalui pemahaman agama secara mendalam yang diaktualisasikan pada ruang, waktu, serta konteks kehidupan lokal masyarakat.
Intoleransi juga bersumber dari ketidakseimbangan dalam memaknai ajaran agama. Ada kelompok yang terlalu bersemangat dengan aspek teologis dan berlebihan dengan dalil naqli kemudian mengabaikan yang bersifat aqli. Ada pula yang bersikap sebaliknya. Akibat dari semua itu amalan Islam yang merentang dan mencakup banyak aspek, termasuk aspek sosial, menjadi direduksi atau kebablasan karena tidak seimbang.
Mengimpor fatwa dari Arab atau Timur Tengah juga kurang tepat karena belum tentu cocok untuk Indonesia. Nilai-nilai ajaran Islam yang universal bisa memayungi Indonesia yang beragam tanpa perlu "Arabisasi".
***
Oleh karena itu, praktik kehidupan di Desa Kaloran bisa menjadi pelajaran atau inspirasi untuk menghayati toleransi sekaligus menangani intoleransi. Peristiwa-peristiwa intoleran yang pernah terjadi dan menimbulkan ketidaknyamanan bersama seharusnya mendorong masyarakat untuk memperbaiki sikap, memperluas pengetahuan, dan memperkuat toleransi.
Belajar dari Desa Kaloran, perlu kebijaksanaan dalam memahami kearifan lokal, budaya, serta etika sosial. Kemampuan dan kreativitas dalam menempatkan tiga hal tersebut selain membuat masyarakat Kaloran mampu beragama dengan baik, juga memungkinkan mereka bersikap luwes dalam menjalankan amalan-amalan kehidupan. Praktik toleransi bisa dikembangkan dalam ranah sosial tanpa diliputi kecurigaan akan merusak akidah.
Rasulullah, para sahabat, dan khalifah tidak mengintimidasi pemeluk agama lain untuk masuk Islam. Rasulullah tidak memaksa budak Yahudi yang membantu dan melayaninya untuk mengikuti agama Allah kecuali dengan cara lembut. Rasulullah tidak menyakiti dan bahkan melepaskan seorang Badui meski orang tersebut menolak beriman kepada Allah. Dengan kata lain, seorang muslim wajib meyakini kebenaran Islam secara total, tapi dalam bermasyarakat harus pula menghormati agama lain.
***
Ngaji Toleransi bukan buku teks dakwah. Bukan pula kumpulan teori. Melainkan sebuah refleksi dan wahana "ngaji" yang relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia yang belakangan mudah diombang-ambingkan oleh propaganda agama yang memicu intoleransi. Meski isinya menekankan toleransi dari sudut pandang Islam dan ditujukan kepada umat muslim, tapi jangkauan buku ini luas dan universal. Semua orang bisa membaca dan mudah memahami isinya karena narasinya yang ringan, lugas, dan kontekstual.Â
Buku ini berusaha memberikan petunjuk amalan toleransi, serta solusi atau jalan tengah untuk permasalahan toleransi yang sering muncul dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, apakah seorang dokter muslim boleh mengobati pasien nonmuslim, bagaimana menyikapi tradisi dan budaya nonmuslim, boleh tidaknya berzakat dan bersedekah kepada nonmuslim, dan lain sebagainya.
Sayangnya di beberapa halaman terdapat penulisan kalimat yang kurang tepat. Ketidakseragaman jenis huruf yang mengganggu juga dijumpai.Â
Sedikit terasa mengganjal dalam buku ini terletak pada pandangan penulis terkait beberapa masalah seperti memasuki rumah ibadah agama lain, bersekolah di sekolah nonmuslim, dan mengenakan pakaian tertentu saat Natal. Pandangan mengenai hal-hal tersebut terkesan kurang konsisten atau agak bias. Namun, hal itu bisa menjadi wahana untuk membuka diskusi dan dialog lanjutan yang menambah wawasan keagamaan.Â
Perilaku-perilaku intoleran yang seakan menghapus realitas keberagaman bangsa Indonesia perlu dihentikan dan tidak boleh dibiarkan beregenerasi. Salah satu caranya adalah dengan "Ngaji Toleransi", yaitu mempelajari, memahami, dan menghayati toleransi secara benar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H