Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Kelas Belajar "Rendah Hati" Ada di Sini

21 November 2017   08:58 Diperbarui: 21 November 2017   09:45 875
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah 9 tahun usia Kompasiana dan sudah 7 tahun 5 bulan saya menjadi satu di antara ribuan orang yang merasakan kehadirannya. Bergabung dalam waktu yang relatif lama sebagai kompasianer sudah pasti membuat saya bisa merasakan dan mendapatkan banyak kenangan. Ada yang kurang mengenakkan, tapi lebih banyak yang berupa keberuntungan dan kebahagiaan. 

Di antaranya menjadi nominasi terbaik kategori citizen journalism sebanyak tiga kali (2013, 2014, dan 2017) dan memenangkannya pada 2014. Itu jelas keberuntungan yang besar bagi saya. Kemudian tujuh kali berpartisipasi dalam Kompasiana Frezz, memenangkan blog competition, mengikuti Cerita Indonesia Kompas TV, dan beberapa keberuntungan lainnya yang sebenarnya tidak termasuk dalam motivasi saya ketika memutuskan bergabung sebagai kompasianer pada 15 Juni 2010. 

Semua keberuntungan itu saya syukuri tanpa membedakan mana pencapaian yang lebih penting dan mana yang biasa saja. Bagi saya semua sama. Meski tidak dipungkiri atas beberapa pencapaian tertentu di Kompasiana saya mendapatkan pujian dan apresiasi lebih.

Pujian dan apresiasi atas pencapaian yang kita dapatkan dalam bidang apapun sebenarnya adalah hal yang wajar. Pujian tersebut boleh kita anggap sebagai penghargaan. Adanya pujian atau penghargaan membuat kita yakin bahwa apa yang kita perbuat dan karya yang kita hadirkan berdampak positif. Jika itu berupa tulisan atau blog, maka dampak yang dimaksud adalah memberikan manfaat, pengetahuan, atau insipirasi bagi yang membacanya.

Namun, sebagai manusia biasa ada kalanya saya terlena menikmati pencapaian itu. Misalnya, ketika semakin banyak tulisan yang menjadi headline atau memenangi lomba blog, bukannya termotivasi untuk menghadirkan tulisan-tulisan baru yang lebih baik, saya malah jadi enggan belajar dan lupa untuk berkembang. Seperti ada yang berbisik di telinga dan berkata: "tak masalah kali ini saya membuat tulisan yang jelek karena sudah sering membuat tulisan yang bagus". Barangkali pikiran itu datang menggoda karena saya terlalu jauh menikmati apresiasi. Hasilnya blog-blog saya yang muncul kemudian malah menjadi kurang memuaskan untuk saya pribadi.

***

Selama ber-Kompasiana saya juga kerap mendapatkan respon yang kurang menyenangkan. Salah satunya berupa kritik, baik dalam bentuk komentar langsung maupun tanggapan dari artikel yang dibagikan lewat media sosial. Ketika tulisan saya di Kompasiana tidak dibaca oleh banyak orang, tidak disukai, atau tidak menjadi pilihan/highliht, saya juga menganggapnya sebagai kritik.

Seperti kita ketahui kritik bisa menimbulkan ketidaknyamanan atau bahkan menyakitkan. Apalagi, jika sang pengkritik memiliki ketidaksukaan secara personal terhadap kita sehingga isi kritiknya cenderung bias. Kritik bisa memusingkan karena seringkali menuntut kita untuk memberikan penjelasan atas sebuah pendapat yang sebenarnya sudah disampaikan dengan jelas. 

Kritik dan respon yang kurang menyenangkan yang saya dapatkan selama ber-Kompasiana semakin mendorong saya belajar bagaimana melapangkan dada. Bahwa saya tidak bisa selalu berharap apa yang saya buat akan selalu mendapatkan respon positif. Apalagi, di Kompasiana ada ribuan orang yang masing-masing memiliki selera dan pemikiran masing-masing.

Misalnya, saat dua tulisan terbaru saya sebelum tulisan ini tidak menjadi artikel pilihan/highlight. Sempat ada rasa kecewa dari dalam diri karena saya merasa sudah menulis dengan baik, sementara hasilnya tulisan itu tenggelam begitu saja. Namun, suara dari dalam hati mengingatkan saya tentang penerimaan diri. 

Sekalipun saya senantiasa berusaha membuat konten blog dengan cara dan tujuan yang baik, tapi itu belum tentu sesuai dengan selera dan kriteria baik menurut Kompasiana dan ribuan kompasianer lainnya. Oleh karena itu, sebenarnya saya tidak perlu menaklukkan semua tantangan yang ada di Kompasiana. Saya hanya perlu mensyukuri apa yang sudah menjadi bagian dan keberuntungan saya di sini.

***

Sepanjang lebih dari 7 tahun ber-Kompasiana, saat mendapat penghargaan, saat terlena oleh pencapaian, dan saat harus menerima kritik serta respon yang kurang menyenangkan, saya mendapatkan satu nilai paling berharga, yaitu rendah hati. Meski aktivitasnya berada di ruang maya, tapi bagi saya Kompasiana adalah ruang kelas yang nyata untuk belajar rendah hati. 

Di sini saya belajar bahwa rendah hati bisa membawa kita ke tempat yang lebih baik. Sebaliknya sikap puas diri dan tinggi hati tidak akan membawa kita melangkah jauh. Dengan mengembangkan sikap rendah hati kita bisa terhindar dari sikap yang berlebihan atas penghargaan yang kita terima. 

Dalam ber-Kompasiana, menempatkan diri lebih tinggi dibanding yang lain justru akan melemparkan kita ke jurang. Satu orang manusia tidak apa-apanya dibandingkan komunitas Kompasiana yang besar ini. Semahir apapun kita, apapun pangkat kita di Kompasiana, baik taruna hingga maestro bintang lima, semua kompasianer memiliki kemungkinan dan kesempatan yang sama. 

Kerendahan hati menuntun saya belajar menerima kritik dan bagaimana bertahan menghadapinya tanpa perlu membalas menyerang sang pengkritik. Dalam menghadapi respon yang kurang menyenangkan terhadap tulisan-tulisan saya di Kompasiana, penting untuk tetap berpikir positif. Bagaimanapun bentuknya kritik tetaplah penting. Kita perlu memperhatikan kritik-kritik tersebut, meski tidak harus selalu menanggapinya. Kadang ada kritik yang hanya perlu didengarkan saja, ada yang cukup ditanggapi dengan "selow", dan ada yang harus direspon secara sungguh-sungguh dengan cara berbenah.

Memang tidak mudah untuk memiliki sikap rendah hati. Apalagi secara naluri setiap orang membutuhkan pengakuan. Manusia juga memiliki ego untuk menjadi lebih baik atau bahkan yang paling baik di antara yang lainnya. Tidak bisa dipungkiri bahwa semua itu adalah sifat manusia yang juga tampak di komunitas Kompasiana. 

Meskipun demikian, dalam ber-Kompasiana kita bisa memupuk kerendahan hati dengan berpegang pada prinsip Kompasiana sebagai etalase warga biasa. Bagi saya pribadi di antara beberapa slogan yang melekat pada Kompasiana, mulai dari "sharing & connecting" hingga "beyond blogging", istilah "etalase warga biasa" yang dicetuskan oleh pendiri Kompasiana Pepih Nugraha tersebut adalah yang paling mengena. 

Pemahaman saya terhadap "etalase warga biasa" adalah bahwa kita semua datang ke Kompasiana sebagai warga biasa. Oleh karena itu, cara paling asyik untuk ber-Kompasiana sebenarnya adalah dengan tetap berlaku sebagai warga biasa. Pada saat yang sama, Kompasiana menunjukkan pada kita bahwa warga biasa mampu berkarya dan melahirkan kebaikan, jika dalam melakukannya disertai kerendahan hati untuk berbagi manfaat.

Kenangan saya di Kompasiana adalah kenangan tentang belajar rendah hati yang barangkali tidak cukup hanya dilakukan selama 7 tahun 5 bulan. Tapi saya yakin masih akan ada tahun ke-10 dan seterusnya untuk Kompasiana. Dengan demikian saya pun bisa terus belajar dan bersenang-senang di sini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun