Berhimpunnya para akun informasi publik Yogyakarta dalam persekutuan Masdjo cukup menarik. Jumlah follower akun-akun ini tak kalah banyak dengan artis atau selebritis. Mereka bisa dianggap sebagai selebtwit dalam konteks yang berbeda di Yogyakarta. Setidaknya hal itu yang saya tangkap selama menjadi follower akun twitter @infoseni_ dan @infojogja.
Saya sempat berusaha membandingkan aktivitas maya akun informasi publik Yogyakarta dengan sejumlah buzzer. Kebetulan pada 2016 saya pernah bertemu secara langsung dengan beberapa buzzer papan atas nasional. Nama-nama mereka cukup populer dan sering muncul di baris utama setiap trending topic politik, terutama yang menyangkut Jokowi dan Prabowo, serta turunannya seperti Ahok, Anies Baswedan, dan AHY pada Pilkada DKI 2017. Wajah mereka juga beberapa kali terekam di media.
Cukup banyak trending topic politik era kini, termasuk seputar kontroversi penistaan agama oleh Ahok, menampilkan nama-nama buzzer itu. Cuitan mereka mengalir deras di twitter hampir setiap hari. Beberapa kali mereka juga terlibat dalam medan “twitwar”.
Itu sebabnya saat duduk semeja dan berinteraksi dengan para buzzer itu saya sempatkan mencermati bagaimana mereka “bekerja” mengendalikan lini masa. Sebagai orang yang tidak terlalu aktif di media sosial, saya tercengang dengan irama dan militansi mereka.
Dalam aspek tertentu ada kemiripan antara akun informasi publik Yogyakarta dengan para “selebtwit” politik atau buzzer yang saya maksud di atas. Semuanya sama-sama menabuh langgam media sosial untuk menarik perhatian publik.
Walau demikian, keduanya tidak sepenuhnya bisa dibandingkan meski mengandalkan “mesin” yang sama. Akun informasi publik Yogyakarta mengambil posisi yang barangkali berbeda. Ketimbang masalah politik, mereka kerap berada di koridor lain yang lebih “menggembirakan”. Hal itu bisa dilihat dari lini masa mereka dan juga dari persekutuan Masdjo.
Ketimbang membentuk opini publik, aktivitas Masdjo lebih menukik pada penyediaan ruang aktif publik agar terlibat pada isu-isu yang diangkat bersama, selain tentu saja mengangkat hal-hal ringan khas obrolan orang Jogja. Langgam yang ditabuh oleh Masdjo melalui media sosial, terutama facebook, twitter, dan blog (Kompasiana) tampak lebih organik. Walau bisa jadi ada unsur di dalam Masdjo yang bertindak sebagai buzzer, tapi ekspresi Masdjo lebih obyektif. Sejauh mana sikap objektif itu bertahan ketika menemui isu-isu besar seperti pemerintahan atau kraton, waktu yang akan menguji.
Karakter organik tersebut barangkali berasal dari setiap entitas yang bersekutu di dalam Masdjo. Para pengelola akun informasi publik, bloger, content creator, dan netizen yang berjejaring dalam Masdjo seperti halnya “demos”, yaitu kelompok yang mendedikasikan diri untuk mendorong perubahan sosial yang lebih baik di dunia nyata melalui dunia maya (media sosial). Kelompok demos ini mengabdi sebagai penabuh langgam facebook, twitter, dan blog yang kemudian menggelar forum percakapan seputar gagasan dan isu-isu publik.
Dalam kerajaan netizen, kelompok demos memang golongan minoritas alias paling sedikit jumlahnya. Namun, mereka sering berhasil menciptakan suplemen yang mengedukasi dan memberdayakan kelompok lain melalui jejaringnya. Apakah Masdjo memang melahirkan dirinya sebagai demos?. Tanyakan saja ke mereka.
Kekuatan Jari