Buntil adalah nama makanan. Jika ada yang tidak tahu dan baru pertama kali mendengar, kemungkinan karena selama ini lahir, besar, dan hidup di kota atau jarang mencecap resep tradisional.
Buntil memang hidangan tradisional yang tercipta dari dapur masyarakat desa, terutama yang tinggal di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Barat. Waktu kecil saya sering menjumpainya tersaji di meja makan. Menyantapnya bersama nasi menjadi kebiasaan pada saat itu hingga akhirnya buntil menjadi salah satu makanan kesukaan saya.
Dulu Buntil menjadi lauk yang digemari karena harganya terjangkau. Saya ingat waktu kecil sering disuruh Ibu membeli buntil seharga Rp500. Buntil dijual dan disajikan bersama kuah yang bercita rasa sedap. Beberapa penjual ada yang menjajakan Buntil dan kuahnya yang dipisah. Namun, lebih banyak yang mencampurnya sekaligus dalam panci-panci besar. Sebagai pelengkapnya ada cabe rawit atau irisan kecil jengkol yang direbus bersama kuahnya. Saya lebih suka buntil dengan jengkol di dalam kuahnya.
Kebiasaan menikmati atau memasak buntil juga tak terlepas dari bahan pembuatnya yang banyak dijumpai di desa. Buntil adalah sayur olahan yang bisa dibuat dari daun tumbuhan singkong, pepaya, atau keladi.
Dulu ada tetangga di dekat rumah saya yang berjualan buntil sehingga saya sering melihat proses pembuatannya di pawon. Pawon adalah dapur atau tempat memasak tradisional khas orang desa.
Setelah ditiriskan beberapa lembaran daun ditumpuk dan diberi isian yang biasanya berupa kelapa parut atau teri. Isian tersebut terlebih dahulu dimasak dengan bumbu bawang merah, bawah putih, kencur, terasi dan cabe merah. Lembaran daun kemudian dibulatkan atau digulung rapat hingga isiannya benar-benar terbungkus. Agar tidak tercerai berai saat dimasak, gulungan daun biasa diikat dengan sayatan tipis batang bambu.
Buntil yang siap disantap memiliki tampilan yang memikat. Daun yang warnanya memudar justru terlihat menggugah selera dalam rendaman kuahnya yang berwarna kuning atau coklat keemasan. Saat dibelah, terlihat lapisan-lapisan daun bersama isiannya yang telah matang. Tekstur sayur buntil sangat lunak dan lembut di lidah. Terutama jika daun yang digunakan adalah daun keladi. Sementara itu, kuahnya merangkum rasa gurih dan pedas.
Buntil sangat cocok disantap bersama nasi putih yang hangat. Tanpa lauk tambahan lainnya pun rasanya sudah sangat nikmat. Saya ingat buntil adalah “pembuka” kegemaran saya menyantap sayuran. Waktu kecil saya tergolong anak yang tidak suka banyak jenis sayuran kecuali jika diracik menjadi sop. Namun, setelah mencecap kenikmatan buntil perlahan saya gemar makan sayur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H