Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Money

"Jihad Energi", Sebuah Ikhtiar yang Perlu Diketahui

1 Desember 2016   19:11 Diperbarui: 1 Desember 2016   21:13 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Antrean pembeli BBM mengular hingga ke jalan menuju SPBU Sagan, Yogyakarta pada 28 Agustus 2014 (dok. pri).

Kamis, 28 Agustus 2014, untuk pertama kalinya saya antre berjam-jam demi mendapatkan bahan bakar minyak (BBM). Dimulai sekitar pukul 4.30 dan baru berhasil mendapatkan pertamax 4 jam kemudian. Saat itu jelang kenaikan harga BBM panic buyer menyerbu sejumlah SPBU di Yogyakarta. Saya tidak berniat ikut-ikutan memburu BBM sebelum harga naik. Namun, bensin di sepeda motor sudah hampir habis sehingga mau tidak mau saya harus mengisinya lagi.

Tiga SPBU di sekitar kampus UGM Yogyakarta saya datangi. Di SPBU Kentungan yang pertama kali saya tuju sepeda motor sudah berbaris mengular ke jalan raya meski matahari belum sepenuhnya terbit pagi itu. Sayapun harus mengantre di baris belakang. dan hingga pukul 06.00 antrean hanya bergerak maju beberapa meter. Belakangan saya baru tahu bahwa di SPBU ini stok BBM ternyata sudah habis. Jadi pembeli yang mengantre hanya sedang menunggu stok BBM tiba.

Berharap bisa mendapatkan BBM di tempat lain, sayapun memutuskan keluar dari antrean dan bergegas menuju SPBU Terban yang berjarak sekitar 3 km. Sesampainya di SPBU stok BBM juga kosong.Sayapun kembali memacu kendaraan dengan bensin yang semakin menipis menuju SPBU Sagan di selatan kampus UGM. Kabar baik saya dapatkan. Stok pertamax tersedia di SPBU tersebut.  Meskipun demikian,  saya harus pasrah berada dalam antrean ratusan sepeda motor dan puluhan mobil yang panjangnya lebih dari 500 meter.

Akhirnya sekitar pukul 8.20 sepeda motor saya dapat terisi pertamax secara penuh. Sambil melaju meninggalkan SPBU, dalam hati saya saat itu sempat mengumpat kesal kepada pemerintah dan Pertamina karena telah menyusahkan rakyatnya.

Akan tetapi, saya buru-buru tersadar untuk tetap bersyukur karena masih bisa mendapatkan BBM dengan harga normal dan tidak perlu menunggu berhari-hari. Saya masih jauh lebih beruntung dibanding masyarakat di sejumlah daerah yang harus terbiasa menghadapi kelangkaan BBM karena keterbatasan stok. “Kesusahan” yang saya alami pagi itu tidak seberapa dibandingkan nasib masyarakat di daerah terpencil yang harus membeli BBM dengan harga jauh lebih tinggi dibandingkan harga normal. Dan, kekesalan saya kepada Pertamina juga kurang adil jika mengetahui kerja keras BUMN energi tersebut dalam melayani kebutuhan masyarakat di tengah tantangan pendistribusian energi paling rumit sejagat.

***

Mendistribusikan energi, terutama bahan bahan bakar minyak dan gas di Indonesia tidak sesederhana memindahkan isi truk BBM ke wadah penampungan menggunakan selang. Selama ini untuk mengangkut BBM maupun gas ke sebagian besar wilayah di tanah air, Pertamina mengandalkan kapal laut sebelum kemudian distribusi dilanjutkan dengan berbagai moda transportasi. Wilayah Indonesia yang luas dan tersebar, kondisi geografis yang beragam, serta gangguan cuaca yang sering terjadi, membuat distribusi tidak mudah.  Ditambah minimnya infrastruktur serta panjangnya rantai distribusi, sehingga distribusi seringkali membutuhkan waktu dan biaya yang lebih besar.

Untuk memenuhi kebutuhan Papua misalnya, BBM didatangkan dari Balikpapan melalui jalur laut. Sesampainya di terminal besar Wayame, BBM baru didistribusikan melalui darat dan udara untuk memenuhi stok SPBU-SPBU kecil di pelosok Papua. Dengan segala kemungkinan cuaca dan medan di Papua, apalagi bergantung pada pesawat komersil reguler membuat BBM seringkali terlambat tiba. Masyarakat Papua akhirnya harus bersabar dan menerima harga BBM Rp60.000 hingga Rp100.000 per liter.

Sementara itu untuk menyalurkan ke daerah pedalaman lain seperti di Kalimantan, sungai menjadi tumpuan. JIka musim kemarau dan debit sungai menyusut, distribusi dialihkan dengan menggunakan truk tangki dengan resiko melalui jalur darat yang kondisinya kurang baik atau pasokan diambil dari daerah lain yang memungkinkan rute tercepat.

Truk tangki BBM Pertamina melintas di jalur selatan Jawa Tengah-DIY (dok. pri).
Truk tangki BBM Pertamina melintas di jalur selatan Jawa Tengah-DIY (dok. pri).
Pada dasarnya dengan semua tantangan yang ada, Pertamina tetap mendistribusikan BBM ke penjuru negeri dan berusaha agar stok tidak berada dalam titik kritis. Berbagai pola distribusi dan kiat khusus dilakukan untuk menyalurkan energi secara aman. Salah satu terobosan terbesar adalah menggunakan pesawat air tractor  milik Pelita Air, anak perusahaan Pertamina untuk mendistribusikan BBM ke Papua. Dengan cara tersebut rantai distribusi dapat dipangkas sehingga masyarakat Papua saat ini bisa mendapatkan BBM dengan harga nasional yang sama.

Selanjutnya untuk menjaga stok BBM di wilayah Indonesia bagian timur, Pertamina akan membangun sejumlah tangki BBM dengan kapasitas total 71.500 kiloliter serta beberapa terminal LPG. Pada 2017 Pertamina berencana membangun 22 unit Agen Premium Minyak Solar (APMS) yang tersebar di berbagai wilayah.

Untuk mendistribusikan energi Pertamina mengoperasikan sekitar 200 kapal berbagai ukuran yang 66 di antaranya adalah kapal milik Pertamina dan sisanya disewa. Dalam setahun kapal-kapal tersebut bisa melakukan 17.000 perjalanan atau 45 perjalanan dalam sehari. Jadi bisa dibayangkan betapa intensifnya upaya dan investasi yang dilakukan Pertamina demi memastikan kelangsungan distribusi energi di Indonesia.

Pertamina Gas 2, VLGC terbesar di dunia yang dimiliki oleh Pertamina (dok. pri).
Pertamina Gas 2, VLGC terbesar di dunia yang dimiliki oleh Pertamina (dok. pri).
Pertamina Gas 1, VLGC saudara kembar Pertamina Gas 2 (dok. pri).
Pertamina Gas 1, VLGC saudara kembar Pertamina Gas 2 (dok. pri).
Pengorbanan dan tanggung jawab para awak dan petugas di setiap kapal juga tidak kecil. Hal itu saya ketahui saat mengunjungi Pertamina Gas 2 yang sedang beroperasi di perairan Situbondo, Jawa Timur, pada Oktober 2014. Pertamina Gas 2 adalah satu dari dua kapal pengangkut LPG (VLGC) terbesar di dunia yang  dimiliki Pertamina. Kapal yang mulai dioperasikan  pada 2014 tersebut memiliki peran vital dalam menjaga pasokan LPG untuk wilayah Indonesia timur. Jika terjadi gangguan pada kapal ini hampir dipastikan pasokan LPG di banyak daerah akan terganggu.

Pertamina Gas 2 adalah salah satu elemen pertama dan utama dalam rantai distribusi LPG di Indonesia. Gas bahan baku LPG yang diimpor oleh Indonesia diterima dan ditampung di kapal ini. Pertamina Gas 2 dilengkapi infrastruktur pengolahan gas LPG yang canggih. Dari kapal ini, gas akan diteruskan melalui kapal-kapal lain yang berukuran lebih kecil dan kemudian akan dihantarkan menuju terminal di darat untuk dimasukkan ke dalam tabung-tabung LPG siap pakai.

Infrastruktur penyimpanan, pengolahan dan penyaluran gas bahan baku LPG di atas kapal Pertamina Gas 2 (dok. pri).
Infrastruktur penyimpanan, pengolahan dan penyaluran gas bahan baku LPG di atas kapal Pertamina Gas 2 (dok. pri).
Seorang petugas sedang memantau operasional Pertamina Gas 2 (dok. pri).
Seorang petugas sedang memantau operasional Pertamina Gas 2 (dok. pri).
Pertamina Gas 2 beroperasi selama 24 jam sehingga para awak yang bertugas di dalamnya wajib memiliki ketahanan dan disiplin kerja yang tinggi. Selama berbulan-bulan mereka tinggal di tengah laut sebagai pejuang energi. Ada satu pernyataan dari salah seorang awak Pertamina Gas 2 yang masih saya ingat tentang pekerjaan mereka menjaga pasokan gas untuk Indonesia. Di sebuah ruangan, awak tersebut mengatakan keheranannya kepada para politisi di DPR dan pengamat yang selalu menyalahkan Pertamina dan mengatakannya sebagai sarang mafia. Padahal, Pertamina telah bekerja siang malam dan melakukan hal-hal penting yang mungkin tak disadari masyarakat seperti yang dilakukan oleh Pertamina Gas 2.

Perjuangan mendistribusikan energi juga dilakukan oleh para sopir truk tangki BBM yang beroperasi hingga tengah malam. Para sopir tersebut selain harus memiliki kesehatan fisik dan mental yang baik, juga  dituntut bekerja dengan standar keamanan dan keselamatan yang tinggi. Oleh karena itu pula Pertamina selama ini memberikan pelatihan dan pengawasan kepada sopir truk tangki BBM. Di setiap truk tangki BBM terpasang GPS dan alarm pengingat kedisplinan sopir yang akan memberikan tanda jika terjadi pelanggaran seperti melaju di luar batas kecepatan. Di sisi lain Pertamina menyediakan fasilitas tempat beristirahat yang nyaman untuk menjaga kesehatan dan kebugaran para sopir tersebut.

Meskipun banyak upaya yang telah dilakukan untuk mendistribusikan energi, Pertamina tetap dituntut untuk terus melakukan terobosan mengingat kebutuhan energi yang semakin besar. Salah satu yang diharapkan adalah menambah jumlah SPBU terutama di luar Jawa. Pertamina bisa memaksimalkan keberadaan KUD atau BUMDes sebagai mitra untuk membangun SPBU kecil di daerah-daerah.

Penjual eceran BBM atau "Pertamini" yang diandalkan masyarakat di Sekongkang, Sumbawa Barat untuk memenuhi kebutuhan BBM sehari-hari (dok. pri).
Penjual eceran BBM atau "Pertamini" yang diandalkan masyarakat di Sekongkang, Sumbawa Barat untuk memenuhi kebutuhan BBM sehari-hari (dok. pri).
Selama ini masyarakat di banyak daerah mengandalkan penjual eceran termasuk “Pertamini” untuk memenuhi kebutuhan BBM sehari-hari. Meski keberadaan penjual eceran cukup membantu, tetapi hal itu bukanlah solusi terbaik untuk mendistribusikan BBM ke masyarakat.  “Pertamini” dan penjual eceran lainnya selama ini menjual BBM dengan harga di luar ketentuan Pertamina. Sementara SPBU kecil yang dimiliki oleh KUD atau BUMNDes operasionalnya akan diatur dan diawasi oleh Pertamina.

Meremajakan atau menambah jumlah kapal pengangkut minyak dan gas juga perlu dilakukan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas distribusi. Selain itu, Pertamina juga diharapkan segera meningkatkan realiasasi pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) karena akan sangat berguna untuk memperkuat stok energi di masa mendatang. Ke depan pemanfaatan EBT dapat diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan daerah yang terdekat dengan sumber energi tersebut.

***

Energi seperti Bahan Bakar Minyak dan Gas, adalah syarat mutlak bagi sebuah bangsa untuk membangun sekaligus menjadi kebutuhan penting masyarakat agar bisa menjalankan kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, kemampuan mendistribusikan energi secara merata juga menjadi syarat mutlak yang harus dilakukan. Meski tidak mudah dan penuh resiko, namun ikhtiar  terus dilakukan  oleh Pertamina.

Kita berharap “Jihad Energi” tersebut akan terus mendatangkan manfaat dan kemudahan bagi masyarakat. Jika energi dapat terpenuhi dan terjangkau, maka biaya logistik serta harga kebutuhan sehari-hari tak akan melambung tinggi. Perekenomian rakyat pun akan semakin bergairah. Pada akhirnya semua perjuangan dan pengorbanan tak kenal lelah untuk mewujudkan pemerataan energi akan mempercepat kemajuan di seluruh pelosok negeri. Semoga.

Teks dan foto: Hendra Wardhana

Twitter @_hendrawardhana

Facebook Hendra Wardhana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun