Kekacauan keuangan melanda salah satu bank ternama di dunia sekaligus bank terbesar di Jerman, Deutsche Bank, pada Oktober hingga awal November 2016. Bank yang pertama kali didirikan di Berlin ini didenda sebesar US$ 14 M oleh Departemen Kehakiman Amerika Serikat atas kesalahan terkait pemberian kredit perumahan di negara Paman Sam.
Besarnya jumlah denda menimbulkan potensi gagal bayar dan dikhawatirkan akan memicu krisis keuangan yang meluas. Hal itu dikarenakan Deustche Bank merupakan salah satu pemain utama di jasa keuangan dan perbankan global. Saham Deustche Bank juga sempat turun tajam dan kemungkinan akan dilepas oleh banyak pihak.
Saat ini Deustche Bank memiliki banyak cabang di Eropa, Amerika, hingga Asia-Pasifik. Deutsche Bank menawarkan banyak produk dan jasa keuangan baik untuk perusahaan maupun perorangan. Di antaranya adalah penjualan, perbankan transaksi, penurunan utang dan ekuitas, merger dan akuisisi, serta kustodian atau pengamanan harta. Bank ini juga pernah tercatat sebagai pedagang valuta asing terbesar sejagad dengan menguasai 20% pangsa dunia.
Oleh karena itu, jika potensi gagal bayar tersebut benar-benar terjadi, maka kekacauan yang timbul diprediksi akan segera diikuti dengan kejatuhan perusahaan perbankan besar lainnya seperti Citigroup dan Barclay karena keduanya saling terkait dengan Deutsche Bank. Guncangan juga akan dialami oleh perbankan di Tiongkok dan negara-negara Arab yang sebagian besar portofolionya berada di Deutsche Bank.
Indonesia pun kemungkinan bisa terpapar dampaknya karena Deutsche Bank diketahui mengelola banyak dana investor pada pasar surat berharga di Tanah Air. Bersama para kliennya, bank ini memiliki saham yang jumlahnya tidak sedikit di Kustodian Sentral Efek Indonesia. Sebanyak 42% kelolaan kustodian di Indonesia berada di tangan Deutsche Bank.
Menariknya, potensi gagal bayar Deustche Bank seolah tidak menjadi perhatian publik di Tanah Air. Padahal, hal tersebut sempat menjadi kekhawatiran di Eropa karena dampak sistemik yang mungkin ditimbulkan.
“Saya rasa demonstrasi 4 November lalu jadi semacam blessing in disguise. Jadi hal ini nggak terlalu terdengar di Indonesia”, terang Muhammad Edhie Purnawan, Ph.D dalam perbincangan pada Sabtu (12/11/2016) lalu. Wakil Dekan Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada tersebut berpendapat bahwa krisis akan bisa terjadi jika masyarakat mengalami ketakutan yang berlebihan. Kasus Ahok yang menjadi isu nasional sedikit banyak dianggap memberikan berkah tersendiri karena disadari atau tidak hal itu telah mengalihkan perhatian masyarakat dan sorotan media dari masalah Deustche Bank.
Sementara itu Deutsche Bank sedang mengajukan keringanan agar jumlah denda dapat diturunkan menjadi hanya US$ 3-4 M. Jika negosiasi keringanan tersebut ditolak, Deutsche Bank juga masih memiliki banyak “teman” yang siap membantu karena secara sistemik keberadaan bank tersebut sangat penting.
Dengan kata lain, Deutsche Bank tidak akan dibiarkan mengalami kesulitan sendiri. Hal itu terbukti dengan kesediaan salah satu konsorsium besar di Tiongkok untuk membantu mengatasi kesulitan tersebut. Potensi gagal bayar Deutsche Bank dan ancaman krisis boleh dikatakan telah berlalu.
Potensi krisis keuangan akan selalu ada. Namun, Indonesia telah banyak belajar sehingga diyakini mampu menerapkan kebijakan-kebijakan yang tepat sekaligus menyediakan instrumen penyangga untuk mengantisipasinya.
Selanjutnya Edhie berharap semua pihak dapat meningkatkan koordinasi. Swasta perlu didorong untuk meningkatkan sinergi dengan otoritas keuangan agar stabilitas dalam negeri semakin kuat. “Swasta yang kuat di Indonesia ada banyak. Jika mereka mau terlibat, Indonesia akan semakin aman dan terjaga dari potensi krisis”, kata Edhie di penghujung diskusi siang itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H