Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Satu Hari yang Takkan Terganti

14 November 2016   14:42 Diperbarui: 14 November 2016   14:49 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tujuh kali berada di lembar Freez Harian Kompas adalah keberuntungan (dok. pri).

Saat ini, saat tulisan ini dibuat terhitung sudah 6 tahun 5 bulan saya menumpang corat-coret di Kompasiana. Bisa jadi waktu yang panjang karena usia Kompasiana sendiri “baru” 8 tahun. Atau mungkin malah belum terlalu lama karena saya merasa waktu berjalan sangat cepat.

Selama rentang masa itu, agak sulit untuk menentukan momen paling istimewa di antara sederet pengalaman hebat yang telah terjadi. Saya malah pernah menganggap momen istimewa itu adalah setiap kali saya berhasil menulis di Kompasiana. Namun, saya juga tak mengingkari beberapa momen penting yang membuat saya bersyukur dan beruntung menjadi bagian dari Kompasiana.

Salah satunya adalah saat mendapat label sebagai best in citizen journalism dalam Kompasianival 2014. Saat itu tak ada firasat apalagi pemberitahuan sebelumnya jika saya akan menjadi salah satu penerima award. Saya pun melangkah ringan saat meninggalkan acara Kompasianival untuk menuju Stasiun Pasar Senen dan pulang saat jam masih menunjukkan pukul 19.00 WIB. Satu jam kemudian datang panggilan telpon dari Mas Isjet. Rasanya terkejut mendengar saya dicari untuk menerima award di panggung. Tapi apa daya saya hanya bisa mengucap terima kasih sekaligus maaf karena sudah dalam perjalanan pulang. Alhasil piala Kompasiana Award saat itu diwakilkan kepada kompasianer Arif Lukman Hakim dan dihantar ke Jogja oleh Afandi Sido. Sebuah estafet penerimaan yang unik.

Senang rasanya menjadi salah satu bagian kecil sejarah Kompasiana melalui Kompasiana Award. Mendapatkannya adalah keberuntungan yang saya syukuri. Tak pernah terbayangkan saya yang ingusan di dunia blog tiba-tiba dilabeli “best in citizen journalism”, istilah yang saya sendiri tak sepenuhnya paham apa saja ilmu dan teori di dalamnya. Benar-benar momen yang akan terus saya ingat.

Kompasiana seperti sekolah atau tempat kursus bagi saya (dok. pri).
Kompasiana seperti sekolah atau tempat kursus bagi saya (dok. pri).
Saya pun bersyukur pernah meninggalkan cerita bagi sejarah Kompasiana lainnya yaitu Kompasiana Freez. Setidaknya 7 kali artikel saya di Kompasiana didaur ulang di lembar Freez Harian Kompas tersebut. Lembar-lembar itu masih saya simpan sebagai salah satu pengingat untuk dikenang karena Freez sudah undur diri dari Harian Kompas. Senang rasanya saat sejumlah teman dan orang terdekat berkomentar telah membaca tulisan saya di Kompas. Bahkan, seorang karyawan di bagian akademik kampus sempat mengira saya “nyambi” menulis di koran gara-gara berulang kali menemukan cerita saya di Freez.

Momen lain yang sangat berkesan terjadi pada 2012. Ketika itu seorang redaktur majalah nasional menghubungi dan meminta saya menulis untuk majalahnya. Sempat bertanya-tanya membaca pesan dan email darinya, sapi saat beliau mengatakan telah membaca beberapa tulisan saya di Kompasiana, saya seperti mendapat keberuntungan besar. Apalagi majalah itu juga telah sering saya baca di kampus yang berlangganan. Saya kemudian menjadi kontributornya selama kurang lebih 5 bulan. Beberapa tulisan saya terbit di majalah dwi bahasa tersebut. Rasanya puas karena saya diberi keleluasaan untuk menulis tentang anggrek. Bahkan, saya juga mendapat undangan dari World Orchid Conference di Singapura tanpa dibebani akomodasi alias cukup membawa diri. Saya wajib bersyukur karena semua itu berawal dari Kompasiana yang telah menjadi etalase untuk coretan-coretan saya.

Tujuh kali berada di lembar Freez Harian Kompas adalah keberuntungan (dok. pri).
Tujuh kali berada di lembar Freez Harian Kompas adalah keberuntungan (dok. pri).
Karena etalase kompasiana pula, salah satu keinginan lama saya akhirnya terkabul. Secara tak terduga dua artikel saya tentang anggrek Indonesia mengisi buku wajib kurikulum 2013 yang disusun oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Rasa senang membuncah dan saya sangat bersyukur karena anak-anak di seluruh Indonesia bisa membaca cerita tentang anggrek di buku pelajaran sekolah mereka.

Satu demi satu momen istimewa terus menghampiri. Suatu hari pada Oktober 2013 foto-foto dari sebuah artikel saya di Kompasiana diambil dan digunakan tanpa izin oleh NET TV untuk sebuah tayangan live mereka. Meski terasa pahit, tapi ada hal manis yang syukuri karena mendapat kesempatan berdiskusi dan berunding menuntut pertanggungjawaban media mainstream terkait pelanggaran konten. Pemimpin Redaksi NET TV yang namanya selalu muncul di setiap tayangan NET juga sempat menelepon dan mengirimkan sms panjang lebar ke nomor HP saya. Semakin tak terlupakan karena butuh waktu 1 bulan hingga akhirnya pernyataan maaf resmi dari NET saya terima melalui email.

Dua artikel saya di Kompasiana ada di buku ini (dok. pri).
Dua artikel saya di Kompasiana ada di buku ini (dok. pri).
Kejadian tersebut menjadi pengalaman yang sangat berharga dan memberikan keyakinan saat saya harus kembali berurusan dengan pelanggaran karya. Baru saja terjadi pada 27 Oktober 2016 yang lalu sebuah tulisan saya di Kompasiana juga disalin secara sepihak oleh chief in editor GNFI. Tak ada keraguan bagi saya untuk menegur dan meminta GNFI tidak mengulangi penjiplakan secara illegal dari sumber manapun.

Menjadi salah satu penyumbang tulisan di buku “Hidup yang Lebih Berarti” kolaborasi Kompasiana dan BTPN yang diterbitkan awal 2016 adalah momen berharga bagi saya berikutnya. Selain berkesempatan belajar menulis dengan gaya feature yang baik dan benar, saya juga beruntung telah dipertemukan dengan narasumber inspiratif yang telah ditentukan sebelumnya oleh BTPN dan Kompasiana. Karena tertarik dengan sosok dan kegiatan yang harus diangkat, pertemuan dan wawancara yang sebelumnya direncanakan berlangsung 2 kali, akhirnya saya jalani 4 kali.

Dua hari bersama Kompas TV memvisualisasikan artikel-artikel saya di Kompasiana (dok. pri).
Dua hari bersama Kompas TV memvisualisasikan artikel-artikel saya di Kompasiana (dok. pri).
Saya juga senang pernah jadi bagian dari inovasi Kompasiana saat tulisan saya diadopsi untuk Cerita Indonesia Kompas TV pada awal 2015. Setahu saya itu adalah pertama kalinya Cerita Indonesia mengangkat tulisan di Kompasiana sebagai bahan ceritanya. Menjalani shooting selama 2 hari di Kabupaten Klaten dan Kota Yogyakarta, saya jadi tahu bahwa produksi dokumenter cukup melelahkan dan tidak mudah meski terkesan hasilnya sederhana. Apalagi untuk saya yang tidak berbakat tampil dengan arahan di depan kamera. Belasan jam dibutuhkan untuk membuat tayangan yang durasinya hanya 45 menit. Apalagi di hari kedua pengambilan adegan baru selesai pukul 11 malam diiringi hujan yang turun sejak petang. Namun, hal itu saya syukuri dan jalani dengan senang hati. Agak terkejut juga saat mengetahui banyak teman-teman dan orang dekat saya menyaksikan tayangan tersebut meskipun saya sudah sengaja tidak memberitahukan jadwal tayangnya.

Aktivitas di Kompasiana juga telah memberi keberuntungan besar lainnya, yaitu mengenal orang-orang baru yang semua obrolan dan tindak tanduknya saya maknai sebagai sesuatu yang berharga. Kompasianer dan Kompasianer Jogja (KJog) telah menambah daftar teman dalam hidup saya. Bukankah mendapatkan teman adalah salah satu momen sekaligus keberuntungan terbesar manusia dalam hidup?.

Semua yang saya sebutkan di atas tidak mungkin ada jika saya tak menjadi Kompasianer. Oleh karena itu, momen paling tak tergantikan bagi saya sebenarnya adalah saat mendaftar sebagai Kompasianer. Waktu saat saya mengisikan alamat email, menentukan password, dan menuliskan data diri untuk akun kompasiana. Semenjak saat itulah sebagian “takdir kecil” saya seolah dituliskan. Meski mendaftarkan diri di Kompasiana adalah hal yang sederhana dan bisa dilakukan oleh semua orang, tapi saya =menemukan sekaligus merasakan bagaimana sebuah perjalanan dimulai dengan langkah awal yang sangat sederhana, tapi luar biasa yaitu menulis.

15 Juni 2010 saya mendaftarkan di Kompasiana. Dan, itulah hari yang takkan terganti sekaligus momen paling berarti bagi saya (dok. pri).
15 Juni 2010 saya mendaftarkan di Kompasiana. Dan, itulah hari yang takkan terganti sekaligus momen paling berarti bagi saya (dok. pri).
Hari di mana saya mendaftarkan diri sebagai Kompasianer adalah awal mula saya benar-benar memandang menulis adalah salah satu cara merayakan kehidupan. Sebelumnya saya hanyalah orang yang suka membaca tanpa diiringi rasa yang sama untuk membuat tulisan sekalipun yang sederhana. Setelah artikel pertama saya buat, secara pelan dan diam-diam saya belajar menulis dengan memperhatikan banyak artikel kompasianer lainnya. Oleh karena itu, jika membaca dan membandingkan artikel-artikel saya pada tahun pertama, kedua, dan seterusnya, jelas sekali bagaimana saya “berubah” dalam hal menulis. Meskipun banyak artikel saya yang keberadaannya tak jelas semenjak Kompasiana berulang kali error, saya berusaha merelakan.

Hari di mana saya mendaftarkan diri sebagai Kompasianer bagaikan hari pertama saya masuk sekolah. Dimulai dari perkenalan, dilanjutkan proses belajar, berinteraksi dan berbagi pengetahuan. Hari itu juga bagaikan puzzle dalam perjalanan hidup karena dari sekian banyak unsur yang mempengaruhi perkembangan saya selama ini, salah satunya adalah saat berkegiatan di Kompasiana.

Saya tak pernah membayangkan apa yang akan saya petik dari setiap coretan di Kompasiana. Saya juga tak pernah tahu apa saja yang akan terjadi dan menyambut saya di depan. Namun, beberapa coretan saya di Kompasiana seakan lebih dulu bergerak maju mewakili saya. 15 Juni 2010 saat saya mendapatkan akun www.kompasiana.com/wardhanahendra, itulah saat yang takkan terganti sekaligus momen paling berarti di Kompasiana. Semenjak hari itu banyak buah manis yang saya cecap meski kadang dengan kulitnya yang sepat dan pahit. Semua saya nikmati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun