Investor juga menginginkan sinergi yang lebih baik antar kementerian terkait agar tercipta kejelasan dan konsistensi pengelolaan hulu migas. Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Kementerian Keuangan sebagai kepanjangan tangan pemerintah harus menanggalkan ego sektoral yang mengakibatkan tumpang tindih kebijakan. Harmonisasi peraturan antar kementerian harus segera diwujudkan. Tanpa adanya sinergi dan koordinasi dari berbagai pemangku kepentingan, kelancaran investasi hulu migas akan terus terhambat.
Reformasi Peraturan Mengikis Hambatan
Menurut laporan Tim Reformasi Tata Kelola Migas (Mei 2015), untuk melaksanakan kegiatan hulu migas di Indonesia, investor atau kontraktor harus mengurus perizinan yang jumlahnya antara 150 hingga 280 perizinan dengan sekitar 600.000 dokumen. Prosedurnya pun tidak sederhana karena melibatkan 17 lembaga/instansi. Â Belum lagi setiap tahun investor/kontraktor harus mengantongi sekitar 5.000 izin.
Kondisi tersebut sangat tidak menguntungkan bagi pelaku bisnis hulu migas. Selain memakan banyak waktu serta biaya, izin yang sedemikian kompleks dan berlapis juga membuka peluang terjadinya praktik-praktik penyimpangan.
Pemerintah juga perlu menghapus perizinan ganda dan perizinan yang tidak relevan, terutama yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Di sisi lain, perizinan yang mendukung operasional seperti izin kapal yang melayani kegiataan hulu migas perlu dipermudah.
Tidak kalah penting adalah menuntaskan revisi UU No. 22 Tahun 2001 yang mengatur tentang penguasaan dan pengusahaan migas. Undang-undang ini sangat dibutuhkan untuk memberi kepastian tentang mekanisme dan bentuk organisasi yang akan mengelola sektor hulu migas. Revisi juga diharapkan  dapat mengurangi beban investor/kontraktor dari kewajiban-kewajiban yang memberatkan seperti audit rutin oleh berbagai instansi dan audit tambahan yang dilaksanakan oleh lembaga lainnya.
Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2010 juga perlu dievaluasi. Peraturan ini mewajibkan perusahaan migas membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) berdasarkan total luas wilayah kerja walaupun belum dimanfaatkan seluruhnya. Kewajiban PBB ini berpotensi merugikan investor hulu migas karena eksplorasi belum tentu berhasil. Sementara jika berhasil menemukan cadangan migas, luas area yang dimanfaatkan hanya sebagian kecil dari wilayah yang dikenakan kewajiban PBB. Jika masalah ini dibiarkan, investor dan kontraktor kontrak kerja sama akan menunda kegiatannya. Salah satu terobosan yang bisa dipertimbangkan adalah menyusun UU Pajak Khusus Bisnis Hulu Migas yang iselaras dengan karakter dan kebutuhan industri hulu migas tanpa meniadakan prinsip-prinsip umum perpajakan.
Kepastian Kontrak Membuat Tenang
Di Indonesia kegiatan hulu migas dilaksanakan dengan mekanisme bagi hasil produksi melalui kontrak kerjasama antara pemerintah dan kontraktor. Investasi awal dikeluarkan oleh investor/kontraktor dan dianggap sebagai cost recovery. Investasi tersebut akan dikembalikan setelah diperoleh hasil produksi migas. Sisa hasil produksi setelah dikurangi cost recovery akan dibagi untuk pemerintah dengan investor.
Untuk menarik minat investor, pemerintah perlu menawarkan skema kontrak kerja sama yang inovatif dengan mempertimbangkan tingkat resiko serta persaingan dengan negara lain. Kontrak kerjasama yang fleksibel, sederhana dan kompetitif akan membuat investor bergairah untuk melakukan proyek di Indonesia. Misalnya pada wilayah kerja dengan cadangan migas besar namun tingkat kesulitannya rendah dapat digunakan service contract. Pemerintah juga perlu menerapkan kontrak dengan proporsi pembagian hasil yang lebih menguntungkan kedua belah pihak.