Senin, 20 Juni, pukul 03.00 saya duduk menonton layar televisi. Lagi-lagi serial religi Para Pencari Tuhan (PPT) jadi pilihan sembari menunggu makan sahur.
Semenjak kemunculannya yang pertama pada September 2007 silam, Para Pencari Tuhan telah menarik perhatian saya yang bukan seorang penggemar sinetron. Menurut saya PPT adalah tontonan yang bertanggung jawab. Sebagai program TV, PPT tidak hanya menghibur dan informatif. Tapi juga memikul pesan moral, kemanusiaan, dan agama yang disampaikan secara ringan tanpa kehilangan bobot.
Tak terasa PPT sudah menginjak 1 dekade atau jilid ke-10. Menyaksikannya lagi tahun ini, sejenak isi kepala saya berputar mengingat tokoh-tokoh yang mengisi semenjak jilid 1 hingga 9. Ada Bang Jack (Dedy Mizwar) beserta Barong, Juki, dan Chelsea (trio Bajaj). Keempatnya adalah pusat cerita Para Pencari Tuhan. Kemudian ada Aya (Zaskia Mecca) dan Azzam (Agus Kuncoro) sebagai pusat cerita kedua. Ada juga Pak Jalal (Jarwo Kuwat), Ustad Ferry (Akrie), Haifa (Annisa Suci), Widya (Henidar Amroe), dan Wijoyo (Slamet Rahardjo). Selanjutnya trio pengurus RT, hansip Udin, Asrul, Kalila, Dara, Roy dan beberapa tokoh lainnya.
Sinopsis
Para Pencari Tuhan menggunakan alur campuran. Kisahnya pada jilid 1 diawali dengan kebebasan Barong, Juki, dan Chelsea dari dalam penjara. Sebagai mantan narapidana mereka tak diterima lagi oleh lingkungan terdekatnya, termasuk orang tua. Pintu sosialisasi seolah tertutup untuk mereka.
Dalam ketidakjelasan hidup mereka bertemu dengan Bang Jack, seorang penjaga sekaligus pengurus mushola (marbot). Barong, Juki, dan Chelsea kemudian memutuskan tinggal di mushola. Mereka bertekad menjalani hidup yang lebih baik di bawah bimbingan Bang Jack yang akhirnya menjadi guru kehidupan, sahabat sekaligus ayah bagi mereka. Setiap hari Barong, Juki, dan Chelsea berusaha memperbaiki diri demi menjadi manusia-manusia baru yang menemukan Tuhan.
Namun, selalu ada cobaan dan konflik internal yang mereka alami selama meniti jalan insyaf. Sepanjang itu pula Bang Jack selalu hadir meski sesekali ia merasa kesal dengan kelakuan tiga muridnya tersebut. Beruntung ada Aya, yang saat itu masih membantu aktivitas di mushola, ikut memberikan semangat.
Sementara itu, romantika dan konflik perasaan terjadi di antara sepasang manusia. Azzam menaruh hati pada teman masa kecilnya, Aya. Berbagai cara ia lakukan demi mendapatkan cinta sang pujaan. Namun, wanita tersebut rupanya tak mudah ditaklukan. Meski di dalam hatinya juga tertarik dengan Azzam, namun respon yang diberikan Aya seringkali membuat Azzam kesal. Jalinan cerita yang membungkus kisah antara keduanya cukup menarik dan mampu mengaduk-ngaduk perasaan penonton PPT. Apalagi, ada sosok Kalila yang ikut mencuri perhatian di antara Azzam dan Aya.
Cerita semakin berwarna dengan penggambaran kehidupan ustad Ferry bersama sang istri. Lalu kisah Asrul yang berjuang keras untuk memperbaiki kesejahteraan keluarganya yang dibekap kemiskinan. Di sisi lain Pak Jalal tampil sebagai sosok orang kaya raya namun sering memandang sebelah mata orang seperti Asrul.
Memasuki jilid 3 cerita masih menonjolkan perubahan pada diri Barong, Juki, dan Chelsea. Ketiganya telah menjalani ibadah haji bersama Bang Jack. Hal ini memicu keinginan yang sama pada diri Asrul dan Udin. Sementara kisah Azzam dan Aya masih berlanjut dengan bumbu romantisme sekaligus kejadian-kejadian yang mengesalkan antara keduanya.
Perputaran roda kehidupan dan fase hidup diangkat sebagai latar utama pada jilid 4. Asrul dan keluarganya keluar dari bekapan kemiskinan setelah sukses membuka warung soto. Di sisi lain Pak Jalal mengalami kebangkrutan dan jatuh miskin. Ia kehilangan rumah mewahnya dan beralih tinggal di gubug bekas tempat tinggal Asrul. Barong, Juki, dan Chelsea semakin mandiri dan mantap dengan sebagai pribadi yang lebih baik. Diam-diam hal ini membuat Bang Jack mulai merasa kesepian.
Sementara itu, Azzam dan Aya telah dipersatukan dalam satu rumah tangga. Meskipun demikian, konflik masih mewarnai lika-liku kehidupan mereka bertambah. Di antara cinta yang besar, ada rasa cemburu dan ragu yang hadir di tengah-tengah mereka.
Pada jilid 5 Bang Jack merasa galau dan kesepian setelah ia tak lagi menjadi marbot. Tugas mengurus mushola diambil alih oleh trio pengurus RT/RW yang berambisi mengeruk keuntungan materi. Setiap kegiatan mushola dijadikan lahan bisnis. Bang Jack prihatin dengan keadaan ini. Namun, ia merasa tak berdaya untuk melakukan banyak hal.
Berlanjut ke jilid 6, pendulum nasib bergerak ke kondisi semula. Usaha warung soto Asrul bangkrut dan kembali hidup miskin. Sementara itu, Pak Jalal mendapatkan kesuksesannya lagi bisnisnya. Namun, ia masih menikmati hidup di gubug yang sederhana.
Sementara Barong, Juki, dan Chelsea menikmati kehidupannya sebagai artis. Begitu pula Bang Jack yang sebelumnya kehilangan gairah hidup, kembali bersemangat setelah mengenal ibunda Azzam yang ia panggil dengan “Dek Widya”. Bang Jack terus berusaha mencari perhatian untuk bisa merebut hati dan melamar wanita tersebut. Namun, ia harus bersaing dengan sosok pria lain bernama Om Wijoyo. Berbagai kejadian konyol dan lucu yang melibatkan Bang Jack, Widya, dan Om Wijoyo menjadi daya pikat jilid 6.
Pada jilid 7 kehidupan Barong, Juki, dan Chelsea semakin mapan. Barong telah menemukan pasangan hidup bernama Dara. Chelsea kembali membina rumah tangga dengan Marni. Sementara Juki memperbaiki hubungannya dengan sang ibu. Beberapa kisah menarik lainnya juga ditampilkan. Seperti saat Udin menemukan uang milik Pak Jalal dan perebutan kursi pengurus RT/RW.
Memasuki jilid 9 pusat cerita sedikit bergeser ke masalah sehari-hari yang dialami oleh warga Kampung Kincir. Bukan berarti kehidupan tokoh-tokoh utamanya tidak lagi ditampilkan. Namun, peran-peran yang sebelumnya hanya muncul sesaat, kini mengisi banyak ruang cerita. Kisah Kalila dan dilema hidup yang dialaminya juga diangkat lebih dalam.
Realistis dan Manusiawi
Para Pencari Tuhan banyak disukai sekaligus dipuji karena mengangkat realita kehidupan sehari-hari dengan gaya yang cerdas, jelas, dan mengena. Setiap pemeran “kawin” dengan karakter tokohnya masing-masing. Karakter tersebut dibangun secara kuat dan konsisten. Lihat saja kewibawaan Bang Jack serta chemistry Azzam dan Aya yang hampir tidak berkurang semenjak jilid 1. Begitu pula dengan peran Barong, Juki, dan Chelsea yang terlihat natural dan terus terjaga.
Latar dan penokohan dalam sinetron ini cukup manusiawi. Para Pencari Tuhan tidak menampilkan tokoh protagonis sebagai sosok super yang sempurna. Para 'jagoan' dalam PPT tampil tampil layaknya manusia biasa tidak luput dari kekurangan dan kelemahan. Contohnya adalah Bang Jack. Meski seorang pengurus mushola, namun ia bukan sosok dengan ilmu agama yang tinggi. Dalam sikapnya yang bijaksana, ia sesekali tampil emosional, bimbang dan galau. Demikian juga Ustad Ferry yang merupakan sang ulama. Sosoknya ditampilkan dengan kehidupan yang tidak mewah. Ia sempat terlena dengan obsesi tampil di TV. Beberapa kali ia juga berbohong kepada sang istri meski demi kebaikan.
Tokoh antagonis pun tidak diwujudkan dalam pribadi yang sepenuhnya jahat atau berwatak buruk. Bahkan, boleh dibilang tidak ada tokoh yang 100% antagonis di PPT. Pak Jalal yang dikenal angkuh dan suka meremehkan orang lain, juga sering membantu sesama dan bertanggung jawab pada keluarga.
Tokoh yang lain juga merepresentasikan kondisi masyarakat Indonesia pada umumnya. Azzam dan Aya mencerminkan realitas pasangan muda beserta masalahnya. Hansip Udin, mewakili kelompok masyarakat yang kurang memiliki pengetahuan sehingga mudah terpengaruh oleh lingkungan sekitar. Asrul adalah gambaran rakyat miskin beranak banyak yang memiliki keteguhan hati untuk berusaha. Tak ketinggalan trio pengurus RT/RW yang penuh intrik dan berpandangan materialistis. Tak jarang ketiganya memanasi warga untuk melakukan protes terhadap pihak tertentu.
Bukan Religi Tempelan
Sejatinya tema besar Para Pencari Tuhan adalah hidup dengan mendekatkan diri pada ajaran Islam. Meskipun demikian, cerita yang diangkat merupakan perpaduan antara tema agama dengan nilai-nilai sosial yang bersifat universal. Dialog-dialog yang muncul bukan berbentuk khotbah melainkan diskusi. Muatan dakwah yang disampaikan tidak menggurui secara verbal. Namun, membimbing penonton untuk merefleksikan pada diri sendiri. Gaya penyampaian ini dirasakan lebih membekas.
Pada 2008 Para Pencari Tuhan mendapatkan anugerah Special Award for Foreign di ajang International Drama Festival di Tokyo, Jepang. Ini merupakan salah satu bukti sekaligus pengakuan terhadap kualitas cerita dan kekuatan pesan yang dibawakan.
Para Pencari Tuhan seolah menjadi koreksi bagi sinetron atau drama religi lainnya yang cenderung menjadikan agama hanya sebagai tempelan. Ada drama yang memasang judul religi, namun isinya justru mendangkalkan ajaran agama seperti mengumbar kisah mistis. Banyak sinetron mengambil latar dakwah namun didominasi oleh kisah anak durhaka, mertua yang jahat, suami selingkuh atau kekerasan dalam rumah tangga. Para Pencari Tuhan tidak demikian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H