Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Subsidi Koruptor di Indonesia Setara Biaya F1 Rio Selama 40 Tahun

20 Mei 2016   09:32 Diperbarui: 20 Mei 2016   10:35 1242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Terpidana korupsi kebanyakan berasal dari Jawa (termasuk Jabodetabek) dan Sumatera (sumber: KPK & Lab. Ilmu Ekonomi UGM).

Sementara koruptor kelas gurem dengan nilai korupsi jauh lebih kecil justru dihukum jauh lebih tinggi dibanding nilai kerugiannya. Hukuman untuk pelaku korupsi yang berlatar belakang politisi/anggota legislatif dan swasta juga lebih kecil dibanding nilai kerugian yang ditimbulkan. 

Padahal, nilai korupsi yang melibatkan swasta dan politisi cukup besar, yaitu Rp. 50, 1 Triliun. Anomali ini tidak hanya meruntuhkan logika keadilan dan hukum, tapi juga sangat merugikan rakyat.

Tidak sebandingnya hukuman bagi koruptor dengan nilai kerugian negara akibat korupsi juga disebabkan karena Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) di Indonesia yang sudah ketinggalan zaman. Perlu dilakukan revisi UU Tipikor untuk mendorong hukuman finansial yang proporsional bagi koruptor sesuai nilai kerugian yang ditimbulkan. 

Revisi juga diperlukan karena selama ini undang-undang tersebut belum menyentuh kejahatan korupsi yang terjadi di dalam tubuh lembaga swasta nasional, lembaga swasta internasional di Indonesia dan organisasi non-profit. Oleh karena itu, revisi UU Tipikor sudah sangat mendesak dan jauh lebih penting dibandingkan revisi Undang-Undang KPK yang justru akan memperlemah lembaga pemberantasan korupsi tersebut.

Kompleksitas korupsi di Indonesia yang belum tersentuh oleh UU Tipikor (sumber: Lab. Ilmu Ekonomi UGM).
Kompleksitas korupsi di Indonesia yang belum tersentuh oleh UU Tipikor (sumber: Lab. Ilmu Ekonomi UGM).
Seiring dengan hal itu, pemahaman tentang korupsi  dan kerugian korupsi di Indonesia harus diperbaiki.Nilai kerugian akibat korupsi selama ini hanya dipahami berdasarkan nilai eksplisit uang yang dikorupsi. Padahal, korupsi juga menyebabkan dampak dan kerugian secara implisit seperti bunga yang harus dicicil di masa mendatang akibat korupsi di masa lalu, biaya untuk rehabilitasi lingkungan yang rusak akibat korupsi, biaya peradilan, biaya penuntutan, dan biaya-biaya lain yang dikeluarkan negara akibat korupsi. Semua itu adalah biaya sosial korupsi yang selama ini tidak dianggap sebagai kerugian.
Pembangunan dan capaian yang bisa dilakukan Indonesia dengan uang yang selama ini dikeluarkan rakyat untuk mensubsidi koruptor (sumber: Lab. Ilmu Ekonomi UGM).
Pembangunan dan capaian yang bisa dilakukan Indonesia dengan uang yang selama ini dikeluarkan rakyat untuk mensubsidi koruptor (sumber: Lab. Ilmu Ekonomi UGM).

Mengapa yang diutak-atik UU KPK?. Padahal, permasalahan ada di UU Tipikor (kompas.com).
Mengapa yang diutak-atik UU KPK?. Padahal, permasalahan ada di UU Tipikor (kompas.com).
Pemberantasan korupsi dan perang terhadap koruptor tidak bisa dilakukan dengan setangah hati. Korupsi harus dilawan secara bersama-sama oleh segenap bangsa Indonesia. Bencana rakyat yang mensubsidi koruptor harus diakhiri. 

Dengan nilai subsidi untuk koruptor yang selama ini ditanggung oleh masyarakat, Indonesia bisa memberi makan layak kepada seluruh rakyat miskin selama 4 tahun. Jumlah yang sama juga bisa digunakan untuk membiayai pendidikan 546.000 mahasiswa S1 hingga lulus dari perguruan tinggi top di tanar ait. Atau jika dikonversi ke dalam biaya balap Formula 1, Indonesia bisa membiayai 20 Rio Haryanto selama 40 tahun!.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun