Sementara koruptor kelas gurem dengan nilai korupsi jauh lebih kecil justru dihukum jauh lebih tinggi dibanding nilai kerugiannya. Hukuman untuk pelaku korupsi yang berlatar belakang politisi/anggota legislatif dan swasta juga lebih kecil dibanding nilai kerugian yang ditimbulkan.Â
Padahal, nilai korupsi yang melibatkan swasta dan politisi cukup besar, yaitu Rp. 50, 1 Triliun. Anomali ini tidak hanya meruntuhkan logika keadilan dan hukum, tapi juga sangat merugikan rakyat.
Tidak sebandingnya hukuman bagi koruptor dengan nilai kerugian negara akibat korupsi juga disebabkan karena Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) di Indonesia yang sudah ketinggalan zaman. Perlu dilakukan revisi UU Tipikor untuk mendorong hukuman finansial yang proporsional bagi koruptor sesuai nilai kerugian yang ditimbulkan.Â
Revisi juga diperlukan karena selama ini undang-undang tersebut belum menyentuh kejahatan korupsi yang terjadi di dalam tubuh lembaga swasta nasional, lembaga swasta internasional di Indonesia dan organisasi non-profit. Oleh karena itu, revisi UU Tipikor sudah sangat mendesak dan jauh lebih penting dibandingkan revisi Undang-Undang KPK yang justru akan memperlemah lembaga pemberantasan korupsi tersebut.
Dengan nilai subsidi untuk koruptor yang selama ini ditanggung oleh masyarakat, Indonesia bisa memberi makan layak kepada seluruh rakyat miskin selama 4 tahun. Jumlah yang sama juga bisa digunakan untuk membiayai pendidikan 546.000 mahasiswa S1 hingga lulus dari perguruan tinggi top di tanar ait. Atau jika dikonversi ke dalam biaya balap Formula 1, Indonesia bisa membiayai 20 Rio Haryanto selama 40 tahun!.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H