Tak pasti berapa kali ia menyisir pantai dalam sehari. “Kalau sampahnya mulai banyak saya jalan lagi”, terangnya. Di musim-musim tertentu saat arus laut banyak membawa sampah, pekerjaannya menjadi lebih berat. Ia pun harus sering mondar-mandir di sepanjang pantai untuk mengumpulkan sampah. Sampah tersebut kemudian dikeringkan sebelum akhirnya dibakar.
Tentang kondisi pantai yang sepi, menurut Bambang Pantai Lakban lebih sering dikunjungi pada sore hari di akhir pekan. Saat itulah beberapa warung di pinggir pantai akan buka dan menyajikan cemilan khas pisang goreng yang dinikmati dengan sambal. Namun, ia tidak memungkiri bahwa keterbatasan fasilitas dan akses angkutan umum membuat keindahan Pantai Lakban kurang dikenal. Saat ini dari kota kabupaten menuju Pantai Lakban, ongkos yang harus dibayar masih cukup mahal, yakni 150 ribu rupiah pulang pergi menggunakan bentor. Jika para pemangku kepentingan mau bekerja keras, pesona dan keindahan pantai yang berjarak 1,5 km dari Teluk Buyat ini bisa memikat banyak orang.
[caption caption="Setiap hari Bambang berjalan menyisir pantai untuk membersihkan sampah mulai dari jam 8 pagi. dokpri"]
[caption caption="Sampah-sampah yang dikumpulkan Bambang dari Pantai Lakban. dokpri"]
Saat pertambangan PT. Newmont Minahasa Raya (PTNMR) masih beroperasi di daerah tersebut, pekerjaan sebagai nelayan dan petani tak serta merta ditinggalkan penduduknya. Akan tetapi, diakuinya semenjak PTNMR berhenti beroperasi, saluran pemasaran produk petani dan tangkapan nelayan menjadi berkurang. Oleh karena itu, Bambang bersyukur karena honornya membersihkan pantai sebesar 1,8 juta per bulan bisa menambah penghasilannya selain dari menanam kelapa.
[caption caption="Pantai Lakban dilihat dari bukit Harapan. dokpri"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H