[caption caption="Bambang sedang membersihkan sampah di Pantai Lakban. Berkat pekerjaannya pantai yang berada di Ratatotok Timur ini tetap bersih dan terjaga keindahannya. dokpri"][/caption]Hening dan tenang. Itulah yang saya dapati ketika melewati gerbang masuk Pantai Lakban di Ratatotok Timur, Minahasa Tenggara, Provinsi Sulawesi Utara, pada Jumat (1/4/2016). Tak ada pengunjung yang tertangkap oleh pandangan mata kecuali lima rekan yang memilih singgah di ujung pantai dekat gerbang masuk. Belasan warung di pinggir pantai yang coba saya tengok juga kosong tanpa ada yang menunggu dan tak terlihat ada barang dagangan.
Apa yang membuat tempat seindah ini sepi? Mungkin karena letaknya yang jauh dari kota Minahasa Tenggara. Apalagi dari Manado yang membutuhkan waktu 3-4 jam untuk sampai di Pantai Lakban. Itupun perlu berganti kendaraan karena belum ada angkutan umum dengan rute langsung menuju ke Ratatotok. Jika menggunakan taksi dari Manado tentu menghabiskan banyak ongkos dan itu bukan pilihan yang menyenangkan. Pilihan termudah mungkin menyewa mobil lalu melanjutkan dengan bentor, sebuah “kendaraan hybrid” antara becak dan sepeda motor.
[caption caption="Pantai Lakban yang indah di Ratatotok Timur, Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara. dokpri"]
[caption caption="Jembatan di Pantai Lakban menghadap bukit harapan. dokpri"]
Sekitar 5 meter dari bawah jembatan terdapat perahu yang ditambatkan di atas pasir. Meski terlihat masih bagus, perahu tersebut sepertinya sudah lama tidak digunakan dan sengaja dijadikan monumen. Tak jauh dari gapura dan jembatan, ada sebuah panggung terbuka berbentuk bulat dengan tempat duduk bertingkat mengelilinginya. Pada waktu-waktu tertentu panggung ini digunakan sebagai tempat pementasan budaya dan kesenian.
[caption caption="Pohon kelapa berbaris di sepanjang Pantai Lakban. dokpri"]
[caption caption="Kapal yang tertambat di pasir Pantai Lakban. dokpri"]
[caption caption="Tak hanya pemandangan laut dan pasirnya yang cantik, Pantai Lakban juga memiliki hutan mangrove yang terjaga. dokpri"]
Lima belas menit menyusuri bibir pantai seorang diri, akhirnya terlihat seseorang di kejauhan. Langkahnya terus mendekat ke barat tempat saya berada. Semakin jelas sosoknya terlihat. Sambil bertelanjang dada dan mengenakan celana pendek berwarna hitam, laki-laki itu membawa sebuah tongkat panjang. Ujung tongkatnya menyapu setiap jengkal pantai yang dilewati. Pada setiap jarak tertentu ia berhenti untuk mengumpulkan benda-benda yang tersapu oleh tongkatnya.
Saat berpapasan sayapun segera menyapanya. Mendengar ia menyebutkan nama “Bambang” spontan saya berkomentar. “Kok nama bapak seperti orang Jawa?”. Sambil tersenyum pria berlogat khas Sulawesi itu lalu menjelaskan asal muasal namanya. Rupanya, nama itu diberikan oleh kerabat orang tuanya ketika ia lahir. Kerabat yang berasal dari Jawa tersebut tinggal di kampung Ratatotok Timur yang memang dihuni oleh pendatang dari berbagai daerah, termasuk Jawa.
[caption caption="Bambang, sosok di balik kebersihan Pantai Lakban. dokpri"]
Tak pasti berapa kali ia menyisir pantai dalam sehari. “Kalau sampahnya mulai banyak saya jalan lagi”, terangnya. Di musim-musim tertentu saat arus laut banyak membawa sampah, pekerjaannya menjadi lebih berat. Ia pun harus sering mondar-mandir di sepanjang pantai untuk mengumpulkan sampah. Sampah tersebut kemudian dikeringkan sebelum akhirnya dibakar.
Tentang kondisi pantai yang sepi, menurut Bambang Pantai Lakban lebih sering dikunjungi pada sore hari di akhir pekan. Saat itulah beberapa warung di pinggir pantai akan buka dan menyajikan cemilan khas pisang goreng yang dinikmati dengan sambal. Namun, ia tidak memungkiri bahwa keterbatasan fasilitas dan akses angkutan umum membuat keindahan Pantai Lakban kurang dikenal. Saat ini dari kota kabupaten menuju Pantai Lakban, ongkos yang harus dibayar masih cukup mahal, yakni 150 ribu rupiah pulang pergi menggunakan bentor. Jika para pemangku kepentingan mau bekerja keras, pesona dan keindahan pantai yang berjarak 1,5 km dari Teluk Buyat ini bisa memikat banyak orang.
[caption caption="Setiap hari Bambang berjalan menyisir pantai untuk membersihkan sampah mulai dari jam 8 pagi. dokpri"]
[caption caption="Sampah-sampah yang dikumpulkan Bambang dari Pantai Lakban. dokpri"]
Saat pertambangan PT. Newmont Minahasa Raya (PTNMR) masih beroperasi di daerah tersebut, pekerjaan sebagai nelayan dan petani tak serta merta ditinggalkan penduduknya. Akan tetapi, diakuinya semenjak PTNMR berhenti beroperasi, saluran pemasaran produk petani dan tangkapan nelayan menjadi berkurang. Oleh karena itu, Bambang bersyukur karena honornya membersihkan pantai sebesar 1,8 juta per bulan bisa menambah penghasilannya selain dari menanam kelapa.
[caption caption="Pantai Lakban dilihat dari bukit Harapan. dokpri"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H