Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Indahnya Pantai Lakban dan Upaya Bambang Menjaga Lingkungan

5 April 2016   09:21 Diperbarui: 5 April 2016   10:44 1018
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Bambang sedang membersihkan sampah di Pantai Lakban. Berkat pekerjaannya pantai yang berada di Ratatotok Timur ini tetap bersih dan terjaga keindahannya. dokpri"][/caption]Hening dan tenang. Itulah yang saya dapati ketika melewati gerbang masuk Pantai Lakban di Ratatotok Timur, Minahasa Tenggara, Provinsi Sulawesi Utara, pada Jumat (1/4/2016). Tak ada pengunjung yang tertangkap oleh pandangan mata kecuali lima rekan yang memilih singgah di ujung pantai dekat gerbang masuk. Belasan warung di pinggir pantai yang coba saya tengok juga kosong tanpa ada yang menunggu dan tak terlihat ada barang dagangan.

Apa yang membuat tempat seindah ini sepi? Mungkin karena letaknya yang jauh dari kota Minahasa Tenggara. Apalagi dari Manado yang membutuhkan waktu 3-4 jam untuk sampai di Pantai Lakban. Itupun perlu berganti kendaraan karena belum ada angkutan umum dengan rute langsung menuju ke Ratatotok. Jika menggunakan taksi dari Manado tentu menghabiskan banyak ongkos dan itu bukan pilihan yang menyenangkan. Pilihan termudah mungkin menyewa mobil lalu melanjutkan dengan bentor, sebuah “kendaraan hybrid” antara becak dan sepeda motor.

[caption caption="Pantai Lakban yang indah di Ratatotok Timur, Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara. dokpri"]

[/caption]

[caption caption="Jembatan di Pantai Lakban menghadap bukit harapan. dokpri"]

[/caption]Pantai Lakban yang mulai dikembangkan pada 1999 ini memang indah dan bersih. Setelah melewati gerbang masuknya yang berbentuk gapura, langkah kaki akan berlanjut menapaki jembatan kayu bercat merah. Dari salah satu sisi jembatan tampak deretan mangrove dengan akar-akar yang jangkung dan kokoh. Sementara dari di sisi yang lainnya terlihat samudera Lakban dan hamparan pasir coklat yang membatasi garis pantai.

Sekitar 5 meter dari bawah jembatan terdapat perahu yang ditambatkan di atas pasir. Meski terlihat masih bagus, perahu tersebut sepertinya sudah lama tidak digunakan dan sengaja dijadikan monumen. Tak jauh dari gapura dan jembatan, ada sebuah panggung terbuka berbentuk bulat dengan tempat duduk bertingkat mengelilinginya. Pada waktu-waktu tertentu panggung ini digunakan sebagai tempat pementasan budaya dan kesenian.

[caption caption="Pohon kelapa berbaris di sepanjang Pantai Lakban. dokpri"]

[/caption]

[caption caption="Kapal yang tertambat di pasir Pantai Lakban. dokpri"]

[/caption]

[caption caption="Tak hanya pemandangan laut dan pasirnya yang cantik, Pantai Lakban juga memiliki hutan mangrove yang terjaga. dokpri"]

[/caption]Berada di Pantai Lakban saat sepi seperti berada di pantai pribadi. Di sepanjang pantai barisan pohon kelapa teduh memanyungi. Bangku dari kayu dan semen yang ada di bawahnya menjadi tempat terbaik untuk menikmati sepotong surga Lakban. Angin yang berhembus pelan tanpa henti terasa menenangkan. Debur dan riak ombak yang sedikit berisik menjadi hiburan tambahan. Arus yang tenang dan bias sinar yang menembus dasar pantai yang dangkal juga sedap dipandang. Meski arusnya terlihat tenang namun tak jauh dari bibir pantai rupanya terdapat papan kecil bertuliskan peringatan dan larangan berenang.

Lima belas menit menyusuri bibir pantai seorang diri, akhirnya terlihat seseorang di kejauhan. Langkahnya terus mendekat ke barat tempat saya berada. Semakin jelas sosoknya terlihat. Sambil bertelanjang dada dan mengenakan celana pendek berwarna hitam, laki-laki itu membawa sebuah tongkat panjang. Ujung tongkatnya menyapu setiap jengkal pantai yang dilewati. Pada setiap jarak tertentu ia berhenti untuk mengumpulkan benda-benda yang tersapu oleh tongkatnya.

Saat berpapasan sayapun segera menyapanya. Mendengar ia menyebutkan nama “Bambang” spontan saya berkomentar. “Kok nama bapak seperti orang Jawa?”. Sambil tersenyum pria berlogat khas Sulawesi itu lalu menjelaskan asal muasal namanya. Rupanya, nama itu diberikan oleh kerabat orang tuanya ketika ia lahir. Kerabat yang berasal dari Jawa tersebut tinggal di kampung Ratatotok Timur yang memang dihuni oleh pendatang dari berbagai daerah, termasuk Jawa.

[caption caption="Bambang, sosok di balik kebersihan Pantai Lakban. dokpri"]

[/caption]Bambang, ialah penjaga sekaligus petugas kebersihan di Pantai Lakban. Setiap hari mulai dari jam 8 pagi pria berusia 35 tahun ini berjalan kaki membersihkan sampah di sepanjang pantai. Sekali berjalan jarak yang ia tempuh sekitar 1 km.

Tak pasti berapa kali ia menyisir pantai dalam sehari. “Kalau sampahnya mulai  banyak saya jalan lagi”, terangnya. Di musim-musim tertentu saat arus laut banyak membawa sampah, pekerjaannya menjadi lebih berat. Ia pun harus sering mondar-mandir di sepanjang pantai untuk mengumpulkan sampah. Sampah tersebut kemudian dikeringkan sebelum akhirnya dibakar.

Tentang kondisi pantai yang sepi, menurut Bambang Pantai Lakban lebih sering dikunjungi pada sore hari di akhir pekan. Saat itulah beberapa warung di pinggir pantai akan buka dan menyajikan cemilan khas pisang goreng yang dinikmati dengan sambal. Namun, ia tidak memungkiri bahwa keterbatasan fasilitas dan akses angkutan umum membuat keindahan Pantai Lakban kurang dikenal. Saat ini dari kota kabupaten menuju Pantai Lakban, ongkos yang harus dibayar masih cukup mahal, yakni 150 ribu rupiah pulang pergi menggunakan bentor. Jika para pemangku kepentingan mau bekerja keras, pesona dan keindahan pantai yang berjarak 1,5 km dari Teluk Buyat ini bisa memikat banyak orang.

[caption caption="Setiap hari Bambang berjalan menyisir pantai untuk membersihkan sampah mulai dari jam 8 pagi. dokpri"]

[/caption]

[caption caption="Sampah-sampah yang dikumpulkan Bambang dari Pantai Lakban. dokpri"]

[/caption]Selain membersihkan pantai, Bambang juga bekerja sebagai petani kelapa. Kebun kelapanya berada di bukit harapan yang memisahkan Pantai Lakban dan Buyat. Penduduk di Ratatotok Timur memang memiliki profesi yang beragam. Tak hanya sebagai nelayan, Bambang menuturkan sebagian penduduk di kampungnya juga bercocok tanam.

Saat pertambangan PT. Newmont Minahasa Raya (PTNMR) masih beroperasi di daerah tersebut, pekerjaan sebagai nelayan dan petani tak serta merta ditinggalkan penduduknya. Akan tetapi, diakuinya semenjak PTNMR berhenti beroperasi, saluran pemasaran produk petani dan tangkapan nelayan menjadi berkurang. Oleh karena itu, Bambang bersyukur karena honornya membersihkan pantai sebesar 1,8 juta per bulan bisa menambah penghasilannya selain dari menanam kelapa.

[caption caption="Pantai Lakban dilihat dari bukit Harapan. dokpri"]

[/caption]Namun, bukan karena besaran honor yang menjadi alasan utamanya bersedia menjadi petugas kebersihan pantai. Bambang melakukannya karena peduli dengan Pantai Lakban dan Ratatotok Timur yang merupakan tanah kelahiran sekaligus tempat tinggalnya. Oleh karena, itu ia tak menolak ketika diminta Dinas Kebersihan setempat untuk membantu membersihkan pantai. “Saya lahir di sini (Ratatotok Timur) dan mau lihat lingkungan bersih. Orang nanti senang datang ke pantai juga”, tuturnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun