Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kisah Pak Dodik, Kisah Kerja Keras Penyandang Difabilitas

29 Desember 2015   07:52 Diperbarui: 29 Desember 2015   07:52 1062
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Pak Dodik, seorang penyandang difabilitas yang kehilangan kaki kirinya akibat kecelakaan."][/caption]

Setiap penyandang cacat atau difabilitas (sering disebut juga disabilitas) memiliki kedudukan yang setara dengan warga negara lain pada umumnya. Mereka berhak atas kehidupan yang baik, memperoleh penghidupan yang layak dan kesempatan bekerja sesuai kemampuannya. Hal itu dijamin oleh Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.

Namun, bagi Pak Dodik bunyi undang-undang tersebut terasa sangat samar. Kenyataannya ia tak hanya harus banting tulang menopang hidupnya. Tetapi juga kerap dipandang sebelah mata oleh sekelilingnya.

Pak Dodik adalah seorang penyandang cacat yang tinggal di Karangwaru, Tegalrejo, Kota Yogyakarta. Pada tahun 2003 ia kehilangan kaki kirinya akibat kecelakaan hebat yang dialaminya di Klaten, Jawa Tengah. Saat itu ia bekerja sebagai sopir truk.

Kecelakaan tersebut telah mengubah kehidupannya. Kini ia menggunakan kaki palsu sederhana yang terbuat dari kayu untuk membantunya berjalan. Selain mengalami cacat anggota tubuh, ia pun kehilangan pekerjaan. Bertahun-tahun Pak Dodik dan keluarganya menjalani hidup secara pas-pasan.

Pak Dodik mencoba mencari pekerjaan baru ke sejumlah tempat. Akan tetapi, lebih banyak penolakan yang ia terima. Pria berperawakan kecil ini akhirnya memutuskan menjadi tukang reparasi sepatu dan sandal.

Setiap hari Pak Dodik berkeliling mengayuh sepeda tua menyusuri daerah Gejayan hingga kawasan kampus UGM. Jarak yang lumayan jauh dari tempat tinggalnya. Dengan suara lantang khas tukang sol sepatu, ia berteriak menawarkan jasa. Untuk perbaikan sepasang sepatu atau sandal ongkos yang dikenakan Rp. 10.000-15.000. Jika perbaikannya sederhana ia mempersilahkan pelanggan membayar seikhlasnya.

[caption caption="Pak Dodik mengkisahkan kerka kerasnya sebagai penyandang cacat yang sulit mendapat pekerjaan sebelum akhirnya memutuskan menjadi tukang reparasi sepatu keliling."]

[/caption]

Namun, menjadi tukang reparasi sepatu tak menjamin penghasilannya. Setiap hari lebih sering ia hanya mendapatkan 1 atau 2 orang yang menggunakan jasanya. Bahkan, kadang ia tak menemukan pelanggan sama sekali. Oleh karena itu, ia tak menolak jika ada yang menawarkan pekerjaan serabutan selain memperbaiki sepatu. “Opo wae tak lakoni, mas. Ngecat karo ngresiki omah, sing penting halal” (Apa saja dikerjakan, mas. Mengecat dan membersihkan rumah yang penting halal), terangnya dengan logat Jawa yang kental. Ia juga bersedia diminta membersihkan kamar kos atau sekadar membenahi atap rumah yang rusak.

Meski harus sering membenahi kaki palsunya yang longgar saat bekerja, Pak Dodik berusaha tetap menjalani setiap pekerjaan yang diterima dengan sungguh-sungguh. Semua itu dilakukan semata-mata demi keluarganya. Ia tak ingin ketiga putrinya putus sekolah.

Anak-anak Pak Dodik saat ini bersekolah di SD, SMP, dan SMK. Walaupun mendapatkan keringanan biaya pendidikan dan bantuan sosial, ia tetap bekerja keras agar kebutuhan mereka terpenuhi. Kepada anak-anaknya ia berharap kelak masa depan mereka lebih baik dari orang tuanya.

Pak Dodik adalah satu dari sekian banyak penyandang cacat yang harus berjuang keras untuk membangun hidup dan kehidupannya. Ia juga seorang kepala keluarga yang bergulat dengan permasalahan keluarga kurang sejahtera. Menyadari besarnya tantangan kehidupan yang dijalani, bukan berarti ia tak menyimpan harapan kelak kehidupan keluarganya akan berubah menjadi lebih baik. “Sing penting dilakoni, mas” (“yang penting dijalani, mas), ujar Pak Dodik.

[caption caption="Pak Dodik berharap kehidupannya dan keluarga akan menjadi lebih baik suatu saat nanti."]

[/caption]

Kisah Pak Dodik hanya sebagian dari potret kehidupan para penyandang cacat di tanah air yang masih kurang mendapatkan perhatian. Padahal, undang-undang sejak lama telah mengamanatkan negara untuk memenuhi hak kehidupan para penyandang cacat. Namun, kenyataannya tidak semanis bunyi undang-undang.

Sudah saatnya negara dan pemerintah menjalankan amanat tersebut. Tak cukup hanya memberikan bantuan sosial. Kaum difabel, terutama yang kurang sejahtera seperti Pak Dodik juga perlu mendapatkat aksesibilitas atau kemudahan untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Agar kaum difabel tumbuh menjadi masyarakat yang mandiri, mereka perlu mendapatkan peluang kerja yang layak sesuai kemampuannya.

Penyandang cacat tidak hanya harus berjuang mengobati fisiknya. Banyak di antara mereka juga membutuhkan dukungan untuk mengembalikan mental dan kepercayaan diri. Bantuan sosial bagi penyandang cacat tidak sekadar diarahkan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan sosialnya. Akan tetapi, juga upaya rehabilitasi untuk mengembangkan kemampuan fisik dan memulihkan mental agar dapat melaksanakan peran sosialnya secara wajar.

Masyarakat juga perlu didorong untuk memberikan dukungan kepada penyandang cacat di sekitarnya. Menghilangkan sikap diskriminasi dan tidak memandang sebelah mata adalah salah satu bentuk perhatian yang diharapkan tumbuh di tengah-tengah masyarakat.

Negara dan masyarakat tak boleh mengabaikan hak dan keberadaan para penyandang cacat. Mewujudkan kesejahteraan sosial sudah semestinya diimbangi dengan perlindungan dan pemenuhan hak para penyandang cacat. Upaya mewujudkan kesetaraan untuk kaum difabel juga perlu dilakukan secara terpadu dan menyeluruh. Meski memiliki keterbatasan, kaum difabel memiliki peran yang sama sebagai anggota masyarakat dan berhak menikmati hasil pembangunan secara adil.

*semua foto adalah dokumentasi pribadi penulis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun