[caption caption="Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir saat berlaga di Super Series Premier Denmark Terbuka, 18 Oktober 2015 (badmintonindonesia.org)."][/caption]
Dalam peringkat federasi badminton dunia atau BWF saat ini, Tontowi/Liliyana memang masih menempati rangking dua dunia. Keduanya juga masih menjadi yang terbaik di Indonesia. Akan tetapi tanpa gelar bergengsi dalam waktu yang cukup lama serta melihat penampilan mereka selama lebih dari setahun belakangan, kekuatan keduanya jelas sudah mulai dilampaui pasangan-pasangan lainnya.
Kekalahan adalah hal yang biasa. Namun, melihat rentetan kegagalan Tontowi/Liliyana, wajar jika pecinta badminton menjadi sibuk bertanya: apakah puncak permainan keduanya sudah lewat?.
Grafik pencapaian keduanya memang sedang memasuki fase penurunan. Paceklik gelar internasional terutama di ajang superseries, kejuaran dunia dan turnamen penting lainnya menjadi indikasi kuat. Terakhir, kemarin (18/10/2015) secara antiklimaks mereka kalah di final Super Series Premier Denmark Terbuka dari pasangan Korea yang di atas kertas bisa mereka kalahkan.
Tontowi/Lilyana sebenarnya mulai mengalami penurunan performa setelah meraih hattrick All England di tahun 2013. Seusai mengukir prestasi hebat tersebut dan menjadi salah satu pasangan dunia dengan nilai kontrak sponsor dan pendapatan terbesar, keduanya mulai kesulitan memenangi gelar.
Performa Tontowi/Liliyana semakin menurun dan terus berlanjut hingga memasuki akhir tahun 2015 ini. Mereka tak hanya kehilangan gelar All England tapi gagal mempertahankan sejumlah medali serta piala super series yang sebelumnya dalam genggaman. Sementara gelar-gelar baru tak juga direngkuh.
Owik dan Butet, begitu keduanya biasa disapa, menurun di saat harapan dan target yang diberikan kepada mereka semain besar. Menariknya PBSI sering menahan mereka untuk tidak berlaga di sejumlah turnamen dengan pertimbangan dipersiapkan untuk turnamen-turnamen utama seperti kejuaran dunia dan superseries premier. Akan tetapi ketika turun di ajang yang sesungguhnya, target tersebut gagal diraih. Bahkan tak jarang Tontowi/Liliyana tampil dengan performa yang tidak meyakinkan.
Apakah target-target itu telah membebani Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir?. Hanya keduanya yang tahu. Sebagi pemain dunia mereka sudah terbiasa dengan tekanan. Akan tetapi jika membedah permainan Tontowi/Liliyana dua tahun belakangan, harus diakui keduanya memang menurun.
Mental dan kematangan Tontowi Ahmad di luar dugaan justru menjadi titik lemah pasangan ini. Di saat pemain putra pasangan ganda campuran dunia lainnya seperti Zhang Nan dan Ko Sung Hyun semakin matang, Tontowi Ahmad justru seperti kehilangan sentuhannya. Hal ini sekaligus menjadi keanehan karena biasanya kelemahan pasangan ganda campuran ada di pemain wanita. Sementara itu Liliyana Natsir mampu menjaga permainannya dan menjalankan perannya dengan baik sebagai salah satu playmaker ganda campuran terbaik dunia.
Dalam beberapa pertandingan Tontowi yang sebelumnya dikenal memiliki pukulan smash keras, drop shoot akurat dan penempatan bola yang jeli justru sering memberi poin cuma-cuma kepada lawan. Smashnya sering terhenti di net. Ia juga sering ragu dan kebingungan dalam melepaskan pukulan.
Permainan Tontowi semakin kurang efektif karena belakangan ia mudah terlihat frustasi dan emosi di lapangan. Membanting raket dan mendapat kartu kuning, hal yang sebelumnya tidak pernah kita saksikan dari Tontowi, kini terlihat di lapangan. Tanpa mengabaikan kontribusinya dalam bermain secara berpasangan, banyak yang berpendapat kekalahan pasangan ini banyak disebabkan karena Tontowi yang sering “error”.
Namun faktor Tontowi bukanlah satu-satunya faktor di balik menurunnya performa pasangan mantan juara dunia ini. Ada hal lainnya yang patut dianalisis yaitu kemungkinan memudarnya chemistry keduanya. Saling percaya, saling menguatkan dan memulihkan adalah faktor utama dalam membangun keterpaduan permainan ganda termasuk ganda campuran. Jika hal tersebut sudah mulai berkurang atau bahkan hilang, maka selesai permainan.
Kemampuan Liliyana sebagai leader yang efektif meredam emosi pasangannya, kini seolah berkurang efeknya dalam menjaga mood Tontowi. Hal ini akhirnya mempengaruhi mood permainan keduanya. Di saat poin-poin penting di mana mental dan emosi sangat menentukan, pasangan ini menjadi sering kehilangan poin, tersalip dan akhirnya kalah secara tragis. Beberapa kali terlihat di lapangan ketika Tontowi Ahmad banyak melakukan error dan terlihat frustasi, maka seketika itu permainan pasangan ini langsung merosot. Sejumlah antiklimaks yang terjadi di pertandingan-pertandingan penting keduanya dimulai dari hal ini. Mereka sulit bangkit dan gagal membalikkan keadaan ketika sudah tertinggal. Di lapangan Liliyana pun beberapa kali menunjukkan raut muka kecewa ketika Tontowi banyak melakukan error. Kekecewannya terhadap kekalahan bahkan pernah ia ungkapkan dengan jelas di akun media sosial instagramnya beberapa waktu lalu.
Beberapa faktor non teknis, ditambah paceklik gelar dalam jangka waktu lama, tak berlebihan jika menganggap ada bagian yang hilang dari chemistry antara Tontowi/Lilyana. Hal ini membuat keduanya kewalahan bersaing memperebutkan gelar.
Meskipun demikian, sebagai pemain kelas dunia ketangguhan Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir belum hilang. Oleh karena itu, ada opsi strategi yang bisa dicoba untuk menata ulang dan menciptakan kekuatan baru di antara mereka yaitu dengan memisahkan keduanya untuk berpasangan dengan pemain lain. Misalnya mencoba Liliyana Natsir dengan Praveen Jordan, sementara Tontowi Ahmad dipasangkan dengan Debby Susanto. Atau tetap mempertahankan Tontowi/Liliyana dengan menambah peran bermain salah satunya misalnya Tontowi Ahmad bermain rangkap di sektor ganda putra. Hal ini juga penting untuk mengantisipasi kemungkinan Liliyana Natsir yang lebih senior akan gantung raket dalam waktu dekat.
Bongkar pasang dan menambah sektor bermain bukanlah hal baru dan Indonesia telah beberapa kali melakukannya. Namun, dalam hal keberanian membongkar pasangan elit Indonesia bisa berkaca kepada keberhasilan Korea Selatan dan Tiongkok dalam menciptakan kekuatan baru dengan cara meramu stok pemain hebat.
Sampai tahun 2013, Zhang Nan/Zhao Yun Lei masih sering dikalahkan oleh Tontowi/Liliyana. Namun semenjak “duo Z” intensif bermain di sektor ganda putra dan putri, kekuatan keduanya melesat jauh sebagai ganda campuran terkuat dunia. Bahkan di sektor barunya masing-masing Zhang dan Zhao berhasil tampil sebagai pemain elit dunia. Demikian juga dengan Lee Yong Dae dan Ko Sung Hyun yang 2 tahun lalu perkasa di tingkat dunia. Namun, setelah sering kalah di final keduanya dipisahkan meski peringkat dunianya masih cukup tinggi. Hasilnya mereka kini semakin tangguh dengan pasangan barunya masing-masing.
PBSI sudah saatnya berani meramu formasi yang lebih fleksibel dengan melihat potensi para pemain Indonesia. Sejumlah pemain Indonesia yang saat ini mantap di posisinya, sebelumnya juga pernah bermain di sektor lain dan hasilnya tidak buruk. Bahkan, beberapa tahun lalu Liliyana Natsir pernah menjadi pemain ganda putri yang tangguh ketika berpasangan dengan Vita Marissa.
Meramu ulang formasi dengan memberi keleluasaan untuk bermain di dua nomor selain bisa meningkatkan kapasitas permainan setiap pemain, juga bisa menciptakan kekuatan baru yang sulit terbaca oleh lawan-lawannya. Keuntungan inilah yang sekarang didapatkan Korea dan Tiongkok dengan berani mengambil resiko meramu ulang formasi pemain elitnya.
Menurunnya performa Tontowi/Lilyana dan lambatnya pasangan Indonesia lain merangkak naik, semoga menjadi momentum PBSI untuk menciptakan keberanian dan terobosan baru demi meningkatkan prestasi serta prestise badminton Indonesia di pentas dunia. Semoga ada terobosan dan kejutan yang terjadi setelah Olimpiade Rio 2016.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H