[caption caption="Pembuatan Carabikang secara tradisional dengan tungku tanah liat dan kayu bakar."][/caption]
Carabikang adalah kue yang terbuat dari bahan utama tepung beras dan tambahan tepung terigu dan santan kelapa. Di beberapa daerah carabikang termasuk jajanan yang digemari. Rasanya yang manis dan aromanya yang harum mudah membuat banyak orang suka. Dimakan saat masih hangat maupun dingin, kenikmatannya tak berkurang. Bentuknya pun menarik, bulat, merekah di bagian atas dan seringkali berwarna-warni.
Selain dijajakan di pasar-pasar tradisional, carabikang juga bisa ditemukan di toko roti/kue. Harganya tidak terlalu mahal. Di sebuah kios di swalayan di Jogja kue ini dijual Rp. 2500 per buah. Saya beberapa kali membelinya jika sedang rindu dengan kue-kue tradisional. Carabikang memang salah satu kue kegemaran saya. Bagian yang paling enak bagi saya adalah sisi bawahnya yang agak kering.
Beberapa waktu yang lalu saya melihat pembuatan carabikang yang unik dan tradisional di Dusun Jetak, Kecamatan Wedi, Klaten Jawa Tengah. Di dusun Jetak memasak beramai-ramai dengan cara tradisional sudah jadi hal biasa. Tapi baru kali ini saya melihat carabikang dibuat di atas tungku tanah liat dengan kayu bakar. Bagi saya ini sebuah pertunjukkan yang mahal dan menarik. Sayapun tak melewatkan kesempatan untuk ikut nongkrong di antara ibu-ibu yang akan membuat carabikang di sebuah halaman rumah siang itu.
[caption caption="Dua orang Ibu sedang membuat Carabikang secara tradisional di halaman sebuah rumah di Klaten, Jawa Tengah."]
Baru mulai saya langsung penasaran dengan warna adonan yang coklat muda. Rupanya ibu-ibu itu akan membuat carabikang dengan rasa yang kekinian yaitu Mocca. Perasa yang digunakan adalah perasa sintetis. Sementara pemanisnya adalah gula pasir dan sedikit gula merah. Saya sendiri belum pernah merasakan carabikang rasa Mocca. Selama ini carabikang yang saya temui selalu satu rasa atau dengan tambahan rasa coklat yang tak terlalu kuat.
Ketika adonan sedang disiapkan, beberapa orang lainnya menyiapkan tungku tanah liat beserta kayu bakar. Tak perlu waktu lama untuk api menyala. Kayu-kayu kering pun segera terbakar menghasilkan panas yang menyengat. Acara utama membuat Carabikang Mocca pun dimulai.
[caption caption="Kobar api di dalam tungku kayu bakar untuk membuat Carabikang."]
[caption caption="Potongan seng dan pasir digunakan sebagai "alas" cetakan Carabikang."]
Seorang ibu meletakkan potongan seng di atas tungku. Ia lalu menaburkan pasir di atas seng tersebut. Saya kembali dibuat bertanya-tanya untuk apa hal itu dilakukan. Saya belum pernah menemui cara memasak seperti ini. Ternyata seng diletakkan agar lidah api dan jelaga tak mengenai bagian atas cetakan. Sementara pasir ditambahkan untuk mengurangi sekaligus meratakan panas. Sebuah cara yang masuk akal. Api dari kayu bakar memang menghasilkan panas pembakaran lebih besar daripada api kompor gas. Sementara carabikang perlu dibuat dengan panas sedang yang terjaga.
[caption caption="Menuangkan adonan ke atas cetakan."]
[caption caption="Menunggu Carabikang matang."]
Setelah semua siap, cetakan Carabikang segera diletakkan di atas tungku yang sudah dilapisi seng. Cetakan yang digunakan sama dengan cetakan untuk membuat Apem. Sedikit minyak dioleskan ke dalam setiap lubang pada cetakan. Dengan cepat adonan dituangkan mengisi lubang-lubang tersebut.
Tanpa perlu ditutup adonan di dalam cetakan dengan cepat memadat. Aroma wangi langsung beterbangan. Nikmatnya Carabikang sudah terasa dari aromanya yang terhirup.
[caption caption="Memeriksa kematangan Carabikang."]
[caption caption="Carabikang merekah ketika diangkat dari cetakan."]
Sangat cepat membuat Carabikang dengan cara tradisional ini. Hanya sekitar 3 menit satu per satu Carabikang kemudian dilepaskan dari setiap cetakan dengan caara dicongkel menggunakan sendok. Proses inilah yang menarik. Ketika dicongkel dari cetakan bagian atasnya langsung merekah. Sementara bagian bawahnya yang mengeras menyisakan jejak gosong berwarna coklat kehitaman. Carabikang pun sudah bisa langsung dimakan.
[caption caption="Carabikang siap dinikmati."]
Sementara ibu-ibu melanjutkan mengisi adonan ke cetakan, saya sudah mencicipi sebuah Carabikang. Meski dibuat dengan tungku dan kayu bakar, tak ada aroma asap atau sangit yang tertinggal di Carabikang. Aroma wangi bercampur aroma mocca tercium nikmat. Saat digigit teksturnya cukup padat namun lembut. Saya suka karena rasanya tak terlalu manis. Mungkin karena ada jejak rasa Mocca yang mengimbangi. Ketika menghabiskan bagian bawahnya, rasa gosongnya tetap enak dinikmati.
[caption caption="Carabikang rasa Mocca yang dibuat secara tradisional."]
Satu panci adonan tuntas dalam waktu yang terlalu lama. Carabikang pun sudah terkumpul di atas nampan beralaskan daun pisang. Kue-kue itu akan disajikan di tempat hajatan.
*Semua foto dokumentasi pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H