Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

“Jimpitan”, Iuran Unik ala Orang Desa

3 Agustus 2015   11:21 Diperbarui: 3 Agustus 2015   11:21 5043
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu malam, beberapa hari sebelum lebaran yang lalu saya dikejutkan dengan suara langkah kaki di samping rumah. Tergerak rasa ingin tahu, apalagi saat itu sudah lewat pukul 00.00, saya pun mengintip dari tirai jendela ruang tamu. Terlihat 2 orang baru saja meninggalkan halaman rumah. Sekilas saya mengenali ketiganya sebagai tetangga sekitar rumah. Namun saya tak tahu apa yang dilakukan mereka tengah malam itu.

Saat makan sahur saya menceritakan kejadian tersebut kepada orang rumah. Sayapun mendapatkan jawabannya. Rupanya 2 orang tersebut memang tetangga rumah yang sedang melakukan tugas ronda sekaligus mengambil uang “Jimpitan” di setiap rumah warga.

“Jimpitan”, istilah ini mungkin terdengar asing bagi banyak orang. Tapi tidak bagi mereka yang lahir dan tumbuh di desa seperti saya. Jimpitan adalah kebiasaan menghimpun iuran yang dilakukan oleh warga di sejumlah desa atau kampung.

Berbeda dengan iuran lainnya, jimpitan dilakukan dengan cara yang unik. Untuk menghimpun jimpitan, orang-orang desa menggantungkan wadah kecil di depan atau di samping rumah mereka. Ada juga yang meletakkannya di pagar rumah. Wadah-wadah itu berupa gelas plastik bekas kemasan air mineral atau kaleng kecil bekas kemasan susu. Secara rutin pemilik rumah mengisi wadah-wadah itu dengan beras atau uang receh. Apa yang diisikan biasanya disepakati terlebih dahulu.

Waktu kecil saya mendapati wadah-wadah tersebut diisi beras. Lalu secara berkala beras-beras tersebut dikumpulkan dari wadah jimpitan yang ada di setiap rumah oleh petugas kampung setiap sore. Kebiasaan jimpitan lalu menghilang ketika saya menginjak bangku SMP. Hingga akhirnya malam itu saya mengetahui bahwa “Jimpitan” kembali dihidupkan di lingkungan rumah. Saya juga baru menyadari keberadaan wadah jimpitan di samping rumah keesokan hati. Gelas plastik bekas wadah air mineral tergantung dengan paku di samping rumah.

Tapi kini bukan lagi beras yang diisikan sebagai iuran, melainkan sekeping uang Rp. 500 yang setiap hari diletakkan di wadah tersebut. Uang itu akan dikumpulkan oleh petugas ronda di malam hari. Jadi sembari berpatroli menjaga keamanan, petugas ronda yang sedang berkeliling juga bertugas mengambil uang jimpitan di setiap rumah warga. Biasanya hal itu dilakukan di atas pukul 23.00.

Meski terkesan sepele, namun jimpitan mengandung makna kerelaan dan kental dengan semangat gotong royong. Sebuah nilai yang mulai luntur di tengah-tengah masyarakat. Tak ada paksaan setiap warga harus memberikan Jimpitan. Tapi saat ngabuburit berjalan-jalan di sekitar rumah saya melihat wadah jimpitan di hampir semua rumah tetangga.

Beras atau uang hasil iuran jimpitan digunakan untuk kepentingan bersama. Dahulu saat jimpitan berupa beras, beras yang terkumpul biasa digunakan untuk menyumbang tetangga yang punya hajatan atau dimasak saat ada acara kampung seperti syukuran 17 Agustus. Beras-beras itu juga dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkan.

Saat ini ketika iuran jimpitan sudah berganti dengan uang, fungsi kegotongroyongan itu tetap dipertahankan. Uang Rp. 500 yang dikumpulkan setiap malam dari setiap rumah warga digunakan untuk berbagai keperluan kampung. Uang jimpitan tersebut juga digunakan untuk biaya operasional ronda seperti memperbaiki pos ronda dan uang kopi bagi warga yang bergiliran berjaga setiap malam.

Jimpitan adalah salah kearifan lokal masyarakat desa yang perlu dipelihara. Kesadaran untuk menjaga dan mewujudkan kemakmuran lingkungan tempat tinggal secara bersama-sama ini patut ditiru. Sepertinya kita memang perlu banyak belajar dari desa.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun