Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Agar "Candid" Jadi Lebih Asyik

8 Mei 2014   23:16 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:42 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semua orang yang suka memotret pasti pernah melakukan candid atau mengambil gambar, biasanya orang, secara “diam-diam”. Memotret candid, meski sering dilakukan diam-diam, bukan berarti harus dilakukan dengan “bersembunyi” atau menggunakan lensa tele. Dari jarak yang dekat, tanpa sembunyi candid pun bisa dilakukan. Yang penting sebisa mungkin menghindari kontak mata dan tanpa pemberitahuan.



Sebagai variasi untuk mendapatkan gambar, candid disukai karena sering menghasilkan foto dengan cerita yang kuat, menarik serta obyek dengan ekspresi yang natural. Terkesan mudah karena dilakukan tanpa arahan dan acak, memotret candid sebenarnya memerlukan kepekaan membaca cerita serta kejelian mengidentifikasi serta mengisolasi obyek. Namun karena memotret adalah sebuah seni dan hasil ekspresi yang subyektif, kesempurnaan trik tidaklah menjadi soal. Yang penting bagaimana melakukan candid yang asyik untuk menghasilkan foto yang setidaknya bagus untuk diri kita sendiri.

[caption id="attachment_306478" align="aligncenter" width="540" caption="pagi di dalam gerbong kereta"]

13995395148552999
13995395148552999
[/caption]

Saya mungkin bukan orang yang tepat untuk bicara mengenai etika memotret, candid beserta seni dan cara melakukannya. Tapi inilah beberapa hal yang sering saya lakukan dan menjadi batasan saat memotret candid.

Candid di Tempat Wisata atau Ruang Publik

Candid bisa dilakukan di mana saja seperti umumnya orang memotret, baik di dalam maupun di luar ruang. Di jalanan, taman, kendaraan umum dan sebagainya akan selalu ada obyek yang menarik untuk “dicuri” gambarnya. Tapi mengambil gambar di ruang publik yang ramai seperti tempat wisata selalu lebih leluasa. Kita tak akan dihantui banyak perasaan sungkan untuk memotret secara diam-diam. Kita bisa lebih “tenang” karena tak ada banyak pertanyaan dan pandangan aneh tertuju kearah kita selama memotret di tempat-tempat wisata.

[caption id="attachment_306480" align="aligncenter" width="304" caption="beda fokus"]

13995397121943064121
13995397121943064121
[/caption]

[caption id="attachment_306481" align="aligncenter" width="534" caption="pak tua dan kamera ponselnya"]

13995397651486971984
13995397651486971984
[/caption]

[caption id="attachment_306491" align="aligncenter" width="304" caption="sore itu di Malioboro: gadis berkerudung biru"]

13995405181166553971
13995405181166553971
[/caption]

Acara-acara perayaan seperti karnaval dan konser juga menjadi lingkungan yang ideal untuk memotret candid. Selain terselip banyak obyek menarik yang bisa di-candid, suasana karnaval dan konser juga menciptakan “pemakluman” untuk aktivitas memotret. Orang-orang di acara karnaval atau perayaan umumnya tak akan banyak bertanya ketika dirinya dipotret. Bahkan para penontonnya pun cenderung biasa saja sekalipun menyadari dirinya telah menjadi obyek foto diam-diam,

Oleh karena itu jika ingin mencoba candid, datanglah ke tempat wisata yang ramai, karnaval atau perayaan. Di sana candid bisa menjadi sangat mengasyikkan.

Bergaya ala Wisatawan

Saya seringkali “menyamar” menjadi wisatawan jika mengunjungi sebuah tempat di mana sejak awal saya berniat mengambil beberapa gambar termasuk candid. Bahkan untuk sekedar duduk-duduk sebentar di Malioboro, berjalan di trotoar atau tempat-tempat di mana saya sebenarnya tidak berstatus sebagai wisatawan, melainkan warga lokal, saya sering melakukannya, yakni berpakaian santai dan berperilaku ala wisatawan yang baru pertama kali mengunjungi tempat tersebut.

[caption id="attachment_306482" align="aligncenter" width="529" caption="tidur siang"]

1399539864982146258
1399539864982146258
[/caption]

Dengan berlaku sebagai seorang wisatawan kita akan mendapatkan “ruang” yang lebih terbuka untuk memotret. Adalah hal yang wajar seorang wisatawan gemar memotret. Oleh karena itu berlaku bak wisatawan atau pendatang bisa membuat lebih bebas dan dimaklumi untuk memotret. Kesempatan melakukan candid pun menjadi lebih leluasa.

Etika Bukan Larangan

Bagi saya candid bukanlah cara yang berbeda atau istimewa dalam mengambil gambar. Candid sama dengan memotret pada umumnya yakni sebuah kreasi dan seni memandang menggunakan media fotografi. Oleh karena itu jika ada yang menganggap candid adalah hal khusus sehingga diperlukan etika yang ketat, saya tidak setuju. Tapi saya sepakat bahwa setiap orang perlu memiliki kemampuan mengukur diri dan keadaan ketika memotret. Mengukur dan membaca keadaan akan membuat orang memiliki etika diri untuk memutuskan apakah ia perlu mengambil sebuah gambar atau melupakannya.

[caption id="attachment_306484" align="aligncenter" width="486" caption="cek bbm"]

13995399911098471521
13995399911098471521
[/caption]

[caption id="attachment_306485" align="aligncenter" width="513" caption="update status"]

1399540038441762518
1399540038441762518
[/caption]

1399540384441980641
1399540384441980641

Etika tersebut bukanlah larangan untuk melakukan candid. Semua kembali kepada seni memandang setiap orang. Saya misalnya, tidak sanggup memotret sosok tunawisma yang sedang berbagi makan atau menyuapi anaknya, betapapun bagi orang lain pemandangan itu adalah realita sosial dan obyek foto yang kuat. Sama halnya saya sering batal menekan shutter kamera jika obyek di depan saya mendadak menampilkan sesuatu yang teramat menyentuh, sekalipun bagi orang lain hal itu sah-sah saja untuk dipotret. Saya pun tidak cukup mampu untuk memotret candid jika yang tampak dalam bingkai foto saya nantinya adalah hal-hal yang mungkin bisa memalukan jika dipublikasikan, meski definisi memalukan pun berbeda-beda antar orang.

[caption id="attachment_306486" align="aligncenter" width="459" caption="jelang pentas"]

13995401181733446468
13995401181733446468
[/caption]

[caption id="attachment_306487" align="aligncenter" width="324" caption="penumpang komuter"]

13995401861684048288
13995401861684048288
[/caption]

Di sisi lain, seperti halnya memotret aktivitas jalanan, tak perlu meminta izin jika memang kita tak harus melakukannya. Sangat tidak mengasyikkan jika harus meminta izin untuk memotret sesuatu yang bebas dipandang. Kecuali jika sesaat sebelum kita menekan shutter dan orang yang kita bidik menyadari aktivitas kita lalu ia keberatan, maka kewajiban kita adalah meminta maaf dan beralih ke obyek lain.

[caption id="attachment_306476" align="aligncenter" width="305" caption="selamat pagi, Bu"]

1399539351679485010
1399539351679485010
[/caption]

[caption id="attachment_306477" align="aligncenter" width="535" caption="saat dan sesudah ujian"]

13995394311636487984
13995394311636487984
[/caption]

Namanya juga "mencuri gambar", maka tak ada izin dalam candid. Jika sedetik setelah atau sebelum kita memotret orang yang menjadi obyek foto mengetahuinya, sebuah senyum atau anggukan perlu kita berikan sebagai tanda terima kasih karena telah berkenan dipotret diam-diam. Bahkan candid yang disadari sepersekian detik bisa menghasilkan foto dengan mimik wajah yang menarik, seperti tatapan mata dan raut muka terkejut. Jika orang itu tak keberatan, maka sekali lagi kita telah menemukan asyiknya “mencuri gambar”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun