Mohon tunggu...
Wardah Mutia Rahmah
Wardah Mutia Rahmah Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswi

explore beyound limited like a galaxy!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sastra Arab (Al Maqalah)

19 November 2024   09:26 Diperbarui: 19 November 2024   10:23 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Essai Sastra dalam Sastra Arab Modern

Para penulis Arab telah banyak mewarnai peradaban manusia dengan keahlian dan kecakapan khas mereka dalam bersastra. Peradaban itu berkaitan dengan term kolektif untuk menunjukkan kondisi suatu masyarakat yang beradab. Di antara ciri-ciri masyarakat beradab adalah kemampuan mengkreasi budaya dan mewujudkannya dalam entitas budaya yang adiluhung. Dalam perjalanan sejarahnya, masyarakat Arab mampu mengkreasi budaya sehingga dapat mencapai tingkat peradaban yang tinggi, yang tercermin antara lain pada produk budayanya yang berwujud karya sastra berbentuk puisi, prosa, dan drama. Sastra Arab sebagai entitas budaya tentu mencerminkan pikiran dan perasaan Bangsa Arab dengan segala dan kekurangannya. Dalam konteks kelebihan bangsa Arab, maka tidak ada pencapaian kebudayaan dan peradaban manusia yang mampu menunjukkan nilai-nilainya yang paling otentik dan khas kecuali apa yang telah dicapai oleh kesusastraan Arab.

 Essai Sastra adalah suatu seni penulisan sastra prosa guna memberikan pemikiran pengarang dan perasaannya pada suatu topik. Yang pertama menggunakan kata essai sastra yaitu Montinie pada abad ke-18. Dalam sastra arab Essai Sastra ini bertalian dengan sejarah Pers dan surat kabar, di mana essai mengupas berbagai topik politik, sastra, sosial dan keagamaan. Para penulis essai sastrra pertama dalam sastra Arab modern adalah Muhammad Rasyid Ridla, Muhammad Farid Wajdi, Muhammad Kurdi Ali, Al-Mazini, Al-'Aqqad, dan Thaha Husen.

 Secara umum prosa dibedakan menjadi dua yaitu prosa nonsastra dan prosa sastra. Prosa nonsastra adalah tulisan akademis, termasuk laporan penelitian, esai, atau artikel. Sedangkan prosa sastra dibedakan menjadi prosa fiksi dan prosa nonfiksi. Prosa fiksi mencakup dongeng, cerita pendek, dan novel, sedangkan prosa nonfiksi mencakup biografi, otobiografi, dan esai.

 Dalam sejarah perkembangan essai sastra terdapat dua pendapat.

 Kelompok pertama: berpendapat bahwa Essai Sastra merupakan salah satu karya sastra Arab klasik dan tidak ada kaitannya dengan lahirnya surat kabar. Banyak yang percaya bahwa jenis tulisan tertentu yang berkisar pada topik tertentu, seperti topik sosial, politik, atau lainnya, akan diterbitkan di beberapa surat kabar terbatas. Karya klasik yang dianggap essai sastra termasuk "Ad-durrah al-Yatima'' oleh Ibn al Muqaffa, Rasail al-Jahid, Rasail Abi Hayyan, At-Tawhidi, Rasail Abi Hayyan. Karya Al-Jahid mencakup aliran pemikiran, keyakinan, dan berbagai pandangan yang berbeda mengenai penjelasan yang masih abstrak tentang makna Selain itu, karya ini dapat disebut sebagai essai sastra karena menekankan pada kepribadian penulis dan judul atau temanya. Al Jahid juga memuat topik sosial dan kemanusiaan. Rasail Abu Hayyn at-Tauhidy hampir mirip dengan Rasail al-Jhidhh. Di antara rasailnya yang terkenal adalah "Risala as Saqifah" Ini ditulis sebagai tanggapan terhadap kelompok Syiah yang menolak kekhalifahan Abu Bakar dan melakukan banyak penghinaan terhadapnya. Abu Hayyan juga memiliki karya tentang ilmu Kitaba, yaitu ilmu yang berhubungan dengan kertas, jenis, jenis kaligrafi, dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Ia menulis Risala Tashaufiya pada tahun dan juga menulis risalah lainnya. Abu Hayyan menulis bab terkenal dalam esai sastra ini, termasuk Al Maqamat, yang merupakan kumpulan pandangan filosofis, penjelasan rasional, dan metode retoris.

Kelompok kedua: berpendapat bahwa essai sastra adalah karya baru yang ditulis baik di Timur maupun Barat, dan mempunyai kaitan dengan surat kabar. Karya aslinya terdiri dari bab pendek yang membahas masalah moral dan kemanusiaan. Arab Essai sendiri muncul bersamaan dengan lahirnya surat kabar berbahasa Arab. Tujuan dari adalah untuk mengkomunikasikan ide-ide yang berbeda kepada masyarakat umum. Essai ini istimewa karena memuat ungkapan dan ungkapan yang indah serta memuat sisi emosional penulis. Namun yang menjadi tujuan utama penulisan esai adalah adalah untuk mengkomunikasikan ide, konsep, dan karakter dengan jelas. Esai Sastra memiliki sumber berbeda dan tidak ada batasan. Essai sastra memuat unsur kelembutan, ketegasan, dan unsur unsur estetika. Terlepas dari perdebatan diatas essai sastra sebagai sebuah konsep adalah sebuah karya seni prosa dengan ciri-ciri tertentu yang hanya muncul di zaman modern. Essai sastra merupakan salah satu dari seni sastra yang mempunyai landasan dan unsur tertentu yang menjadikannya kuat. Essai dan sastra merupakan jenis maqalah yang berbeda karena essai juga berakar pada sastra Arab klasik, dan keduanya mempunyai beberapa karakter dan spesifikasi yang dipengaruhi oleh keadaan zamannya. Isi sebuah  essai sastra selalu berkaitan dengan tujuan utama penulisan esai kontemporer itu sendiri.

Perkembangan Essai Sastra dalam Sastra Arab Modern

Prosa modern menandai pergeseran paradigma dalam dunia sastra Arab yang ditandai dengan sejumlah ciri khas yang membedakannya dari prosa masa sebelumnya. Salah satu perubahan utamanya adalah penekanan yang lebih besar pada pemikiran daripada pada unsur gaya. Dalam prosa modern, penulis lebih cenderung untuk merinci pemikiran dan ide-ide kompleks yang mengutamakan kejelasan dan kedalaman pemikiran tanpa terlalu memperhatikan hiasan retoris seperti saja atau tibaq yang banyak digunakan pada masa sebelumnya. Pemikiran dalam prosa modern bersifat runtun dan sistematis. Penulis tidak melompat dari satu gagasan ke gagasan yang lain secara tiba-tiba, melainkan memberikan pengembangan yang terstruktur.

Perkembangan bahasa dalam prosa modern mencerminkan perubahan gaya dari tradisional ke kontemporer. Gaya penulisan yang panjang dan penuh dengan kosa kata klasik digantikan oleh bahasa yang lebih ringkas, singkat, dan sejalan dengan tuntutan zaman. Prosa modern dalam sastra Arab tidak hanya menjadi medium untuk menyampaikan gagasan, tetapi juga mencerminkan keterbukaan terhadap perubahan dan perkembangan dalam tata bahasa serta penggunaan kata-kata yang lebih sesuai dengan zaman yang terus berubah. Pembaharuan dalam bidang prosa pada masa ini menjadi fenomena yang tak terhindarkan yang dipicu oleh kehadiran para reformis dan pemikir yang memimpin gerakan intelektual di dunia Arab dan Islam. Tokoh-tokoh seperti Muhammad Abdul Wahab di Saudi Arabia, Jamaludin Al-Afgani di Afganistan, Muhammad Abduh di Mesir, dan Abdurrahman Kawakibi di Suriah, memainkan peran sentral dalam menginisiasi transformasi ini.

Gagasan-gagasan mereka membawa semangat reformasi dan perubahan dalam masyarakat Arab, menciptakan landasan bagi pembaharuan dalam sastra termasuk prosa. Perkembangan prosa Arab pada tahap ini memiliki dua kecenderungan yang membentuk sastra yang kaya dan kompleks. Kecenderungan pertama dapat ditemukan pada kelompok penulis yang mengadvokasi untuk memelihara identitas kebudayaan Arab dan Islam yang autentik dengan tetap mengambil manfaat dari pencapaian dan nilai-nilai kebudayaan Barat. Para tokoh, seperti Mustafa Luthfi Al-Manfaluti, Mustafa Shadiq Ar-Rafi'i, Abdul Aziz Bisyri, Syarkib Arsalan, Ahmad Hasan Az-Ziyat, dan Mahmud Abbas Al-Aqqad termasuk dalam golongan ini. Mereka menunjukkan kepedulian mendalam terhadap warisan budaya dan nilai-nilai tradisional Arab, berupaya menggabungkannya dengan aspek-aspek positif yang dapat dipetik dari kebudayaan Barat.

Kecenderungan yang kedua mencakup kelompok penulis yang memilih untuk menjauhkan diri sepenuhnya dari pengaruh Barat menitikberatkan pada keaslian dan kemurnian nilai-nilai tradisional Arab dan Islam serta menolak campur tangan unsur-unsur Barat yang dianggap dapat menggeser esensi kebudayaan mereka. Ketidaksepakatan ini menciptakan prosa Arab penuh warna dan beragam serta menjadi suatu medan di mana ide-ide kontekstual bertemu dan berbenturan. Penulis-penulis pada periode ini tidak hanya menghadirkan karya-karya yang mencerminkan pemikiran dan sikap terhadap pergulatan antara kebudayaan lokal serta global, tetapi juga menyumbangkan keberagaman dalam pembentukan identitas sastra Arab.

Essai sastra dalam sastra Arab Modern berkembang seiring dengan perkembangan surat kabar dan mengalami fase-fase sebagai berikut:

Pertama: Fase Kelahiran. Fase lahirnya essai sastra berkaitan dengan lahirnya surat kabar, khususnya dengan "al-Waqi' al-Mishriyyah" yang diterbitkan pada tahun 1824. Essai sastra ketika itu masih terlalu miskin karena banyak berisi sajak dan muhassint bad'iyyah.Rifa'ah. Rafi' ath-Thahthawi memiliki peran penting dalam melahirkan essai sastra. Ia berperan mengarabkan istilah essai dari bahasa Turki, menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab dan mengubahnya dari surat kabar resmi menjadi surat kabar yang menerbitkan essai sastra. 

Ciri khas aliran yang disebut dengan aliran pers pertama adalah sebagai berikut:

  • Kesan keindahan yang dibuat-dibuat jelas terlihat bahkan cenderung kepada hal-hal yang aneh kecuali beberapa gaya tulisan Rifa'ah ath-Thahthawi.
  • Gaya tulisannya miskin dan kurang bagus bahkan tidak mencerminkan gaya tulisan sastra kecuali sajak.
  • Banyak menggunakan kosa kata asing kecuali Ath-Thahtawi yang terkenal sangat membela bahasa Arab
  • Tema-tema yang ditulis oleh para penulis essai pada masa ini adalah tema-tema tradisional dan tidak ada perhatian pada isu-isu sosial

Kedua: Fase Transformasional. Fase ini disebut juga dengan fase aliran pers kedua, di mana para penulis pada era ini sangat terpengaruh oleh spirit revolusi 'Urabi dan ajakan Syeikh Jamaluddin al-Afghani.Juga terpengaruh oleh kebangkitan nasional yang mulai jelas dengan lahirnya partai nasional. Kekhasan fase ini adalah:

Ciri khas essai surat kabar semakin jelas terlihat dan mulai berubah menjadi karya seni yang berbeda dan istimewa

  • Essai menjadi salah satu sarana penting dalam gerakan reformasi politik, sosial dan ekonomi.
  • Essai pada fase ini menjadi embrio kebangkitan sastra dan ilmu budaya. 4) Essai mulai lepas dari belenggu sajak dan muhassint bad'iyyah dan mulai memberikan perhatian pada makna-makna dan berbagai macam gagasan, meskipun masih didapati beberapa kecacatan pada beberapa penulis.
  • Essai pada masa ini masih dibumbui dengan tulisan ala ceramah disebabkan oleh tema-tema yang disampaikan.
  • Sebagian besar penulis essai pada masa ini bukan berasal dari kalangan jurnalis yang professional, tetapi mereka adalah para sastrawan dan pimpinan reformasi.

Ketiga: Fase Post Colonialism. Fase ini bisa juga disebut dengan fase aliran pers modern dan fase legitimasi. Selama fase post colonial banyak surat kabar terbit dengan dukungan dari kerajaan Inggris yang menggunakan politik pecah belah. Harian "Al-Muqtham" dengan slogannya "Mendukung politik Inggris yang mampu menjadikan Negeri Timur hidup dan menyuarakan pendapat dan aspirasinya" terbit pada masa itu. Kaum nasionalis menjawab slogan harian tersebut dengan menerbitkan harian "Al-Mu`ayyad" pada tahun yang sama. Lalu ketika "Al-Mu`ayyad" berada di barisan Khidiwi, kaum nasionalis menerbitkan "Al-Liw`" pada tahun 1900. Pada tahun 1907 Lutfi As-Sayyid menerbitkan harian "Al Jardah"dengan misi sebagai upaya untuk mewujudkan cita-cita nasional dengan kesepakatan antara kolonial Inggris dan elit Mesir sebagai pemilik kemaslahatan yang sesungguhnya. Kemudian lahir harian "Adh-Dhhir" yang dipimpin oleh Muhammad Abu Sydi dan menyerang khusus Syeikh Muhammad Abduh bahkan sampai menghalalkan dagingnya. Setelah itu banyak terbit surat kabar seperti "Al-Mimbar" dan "Mishbh asy-Syarq" milik Ibrahim al-Muwailihi yang loyal kepada Sultan Abdul Hamid. Pada tahun 1898 Al-Muwailihi menyerang apa yang disebutnya dengan koran-koran as-saqithah (murahan) dengan mengatakan: "koran-koran murahan ini terus terjun ke titik terendah. Para pendirinya yang terbelenggu dalam kemiskinan kini terpenjara karena ulah mereka menghina orang lain, membuat kabar bohong, berdusta, merendahkan martabat. Demi mendapatkan sesuap makanan, mereka rela menanggung malu".

Pada fase ini essaikoran berkontribusi dalam memberikan gambaran masyarakat. Ibrahim al-Muwailihi pemilik harian "Jaridah Mishbh asy-Syarq" menggambarkan potret majlis-majlis ilmu di al Azhar asy-Syarif. Essai ketika itu juga membahas al-Azhar dan memberikan perhatian besar terhadap wanita dunia dan pendidikannya. Essai sastra juga membahas buku karangan Qasim Amin berjudul "Tahrr al-Mar`ah" terbit tahun 1899. Pada masa itu banyak majalah-majalah wanita yang terbit bulanan di Mesir yang ditulis oleh para penulis wanita dari Suriah dan Mesir, di antara mereka adalah Hindun Naufal dan Labibah Hasyim yang menulis essai-essai bernuansa sosial mengenai wanita. Pada fase tersebut juga muncul seorang ahli bernama Malak Hefni Nashif. Dia menulis di berbagai surat kabar dan menyampaikan orasi-orasinya dan menghimpun essainya dalam buku yang berjudl "An-Nisiyt". Pada masa ini muncul Azizah Ali Fauzi tahun 1911 yang mengkritik Kolonial Inggris karena menghapus Pendidikan Islam dari Kurikulum Sekolah Mesir.Beliau menerbitkan essainya di Harian "Al-Ilm". Selain itu juga ada Aisyah at-Taimuriyyah dan penulis berkebangsaan Turki Khalida Adib. Essai pada fase ini memiliki ciri khas sebagai berikut:

  • Essai lebih cenderung mengobarkan semangat khususnya dalam bidang politik
  • Beberapa essai yang diterbitkan dalam berbagai surat kabar lebih fokus kepada pemikiran yang bersifat abstrak khususnya harian "Al-Jardah" yang dipimpin oleh Ahmad Luthfi As-Sayyid dan bergelar Ustaz al-Jl
  • Gaya bahasa essai pada masa ini lebih runtut, teratur dan banyak cara-cara menulis disesuaikan dengan kecenderungan yang dimiliki oleh para penulis.
  • Bahasa essainya tidak lagi menggunakan sajak.

Keempat: Fase Antara Perang Dunia Pertama dan Kedua: Fase ini bisa juga disebut dengan fase perkembangan dan keberagaman. Essai harian yang berbau politis khususnya merupakan essai yang sudah ada pada masa sebelumnya. Ada tiga kecenderungan essai pada masa ini, yaitu:

  • Essai yang mengajak untuk berkompromi dengan pemerintah kolonial selama tidak ada alasan untuk mengusirnya dan selama ada manfaat yang diambil dari pemerintah kolonial.
  • Essai yang mengajak untuk memberontak dan melawan keras colonial.
  • Essai yang mendukung kerajaan, mendukung gerakan nasional dan kadang-kadang pula melawan gerakan tersebut.

Essai surat kabar yang ada pada masa ini adalah "al-Mir`ah", sebuah surat kabar yang menggambarkan pengaruh revolusi 1919 dan penuh dengan berita-berita hangat. Di antara pengaruh majalah-majalah tersebut terhadap perkembangan essai adalah sebagai berikut:

  • Bahasa digunakan untuk mengakomodasi ide-ide baru.
  • Jumlah halaman bertambah luas, sehingga terbuka bagi berbagai bentuk essai untuk diterbitkan dan disebarluaskan.
  • Lahirnya para penulis essai yang berkosentrasi menulis essai dengan lebih bagus dan lebih maksimal karena menjadi satu-satunya wadah bagi mereka untuk mengekspresikan ide-ide mereka.
  • Bahasa essai lebih mudah dipahami oleh para pelajar pada umumnya, bahasanya lebih runtut dan terlepas dari sajak dan muhassint badi'iyyah lainnya.

Fase kelima: Masa Keemasan. Secara historis, fase ini dimulai setelah kehancuran Palestina 1948 dan setelah tahun 1952. Ketika itu lahir essai sastra beraliran politis analitis yang berpijak kepada informasi faktual bukan berdasarkan emosi semata, di samping itu ada essai yang berisi semangat oratorikal yang bias. Pada fase ini muncul essai khusus setelah tahun 1960-an khususnya ketika majalah-majalah khusus dalam berbagai bidang seni sastra diterbitkan seperti majalah puisi dan cerita, "al-Adab wal Fikr al-Mu'shir" yang dipimpin oleh Zaki Najieb Mahmud, juga seperti majalah "al-Adab al-Beirutiyyah" yang ketika itu dipimpin oleh Suhail Idris. Majalah tersebut berperan besar dalam bidang kesusastraan dan pemikiran. Selain itu ada majalah "Al-Manhal" di Arab Saudi, majalah "al-Ufuq al-Jadd" di Jordania, serta muncul majalah-majalah serupa di Maroko. Pada fase ini pula banyak contoh seni essai sastra yang ditulis. Isinya ada yang obyektif dan ada pula yang subyektif.

Gaya Bahasa Beberapa Orang Penulis Esai Sastra

Karya sastra diciptakan oleh sastrawan dengan bahan utamanya berupa bahasa. Penggunaan bahasa yang khas atau gaya bahasa oleh sastrawan tentu memiliki fungsi tertentu. gaya bahasa dalam karya sastra berfungsi antara lain untuk memperoleh makna secara maksimal, yakni lebih jelas dan lebih hidup, menimbulkan suasana dan kesan tertentu dihati pembaca, dan untuk memperoleh efek estetis.

Gaya bahasa merupakan cara mengungkapkan fakta, pikiran, atau perasaan melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis. Gaya bahasa dapat dilakukan melalui pilihan kata, nada wacana, struktur kalimat, dan langsung tidaknya makna. Pada gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat lebih melihat posisi unsur-unsur kalimat yang dipentingkan, sedangkan gaya Bahasa berdasarkan makna dilihat dari langsung tidaknya sebuah makna.

dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa merupakan pemanfaatan kekayaan bahasa, pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efekefek tertentu, keseluruhan ciri sekelompok penulis sastra dan cara khas dalam menyampaikan pikiran dan perasaan, baik secara lisan maupun tertulis.

 Berikut gaya bahasa beberapa orang penulis esai sastra:

1. Ahmad Amin

 Beliau merupakan pelajar di Fakultas Adab Universitas Mesir dan diangkat sebagai Dekan Fakultas Adab tahun 1939 lalu diangkat menjadi Rektor pada Direktorat Kebudayaan di Liga Arab hingga akhir hayatnya. Selain memangku jabatan resmi di atas, Ahmad Amn juga menjadi anggota Dewan Keilmuan Arab di Syiria dan Dewan Bahasa di Kairo. Diantara karyanya: Fajrul Islm, Dhuha al-Islm, anNaqd Al-Adaby, Zu'am` al-Ishlh fil-Ashri al-Hadts, Il Walad, Hayt, dan Qms al-Adt.

Kriteria gaya tulisannya yaitu:

  • Bahasanya yang jelas, singkat dan padat serta lebih menekankan sisi rasional daripada emosional.
  • Penggunaan Bahasa non baku bukanlah hal yang menyulitkan karna penggambaran kehidupan yang sederhana serta realita kehidupan yang dijadikan nya sebagai inspirasi.
  •  Penyusunan ide dalam frame logis, mulai dari prolog hingga penarikan kesimpulan

2. Al- Manfaluthi  

Kriteria gaya tulisannya yaitu: (berbanding terbalik dengan ahmad amin) 

  • Bahasa yang mendekati retorika
  • Terlalu banyak menggunakan sinonim 
  • Keseimbangan fonetis dan morfologis
  • Terlalu panjang memaparkan ide
  • Menjelasknya dalam berbagai macam bentuk
  • Tidak berlebihan dalam menggunakan sajak

 3. Abdul Azz al-Bisyr

Kriteria gaya tulisannya yaitu: 

  • Gaya Bahasa antara penulisan surat dan sajak 
  • Kata-kata yang tinggi dan kuat serta ungkapan uang kokoh 
  • Bahasa yang baku dan kaku serta menceritakan hal yang seolah-olah ia tau (menurut beberapa pengkaji

4. Thaha Husein 

Kriteria gaya tulisannya yaitu:

  • banyak menggunakan sinonim
  • membagi-membagi kata
  • pengulang-ulangan kata atau repetisi

5. Ahmad Hasan Zayyt

Kriteria gaya tulisannya yaitu:

  • cenderung dibuat-dibuat dan terkesan dipaksakan
  • menjaga keseimbangan musikalitas tulisan melebihi makna dan gaya bahasanya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun