Mohon tunggu...
Wardah Mutia Rahmah
Wardah Mutia Rahmah Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswi

explore beyound limited like a galaxy!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sastra Arab (Al Maqalah)

19 November 2024   09:26 Diperbarui: 19 November 2024   10:23 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kecenderungan yang kedua mencakup kelompok penulis yang memilih untuk menjauhkan diri sepenuhnya dari pengaruh Barat menitikberatkan pada keaslian dan kemurnian nilai-nilai tradisional Arab dan Islam serta menolak campur tangan unsur-unsur Barat yang dianggap dapat menggeser esensi kebudayaan mereka. Ketidaksepakatan ini menciptakan prosa Arab penuh warna dan beragam serta menjadi suatu medan di mana ide-ide kontekstual bertemu dan berbenturan. Penulis-penulis pada periode ini tidak hanya menghadirkan karya-karya yang mencerminkan pemikiran dan sikap terhadap pergulatan antara kebudayaan lokal serta global, tetapi juga menyumbangkan keberagaman dalam pembentukan identitas sastra Arab.

Essai sastra dalam sastra Arab Modern berkembang seiring dengan perkembangan surat kabar dan mengalami fase-fase sebagai berikut:

Pertama: Fase Kelahiran. Fase lahirnya essai sastra berkaitan dengan lahirnya surat kabar, khususnya dengan "al-Waqi' al-Mishriyyah" yang diterbitkan pada tahun 1824. Essai sastra ketika itu masih terlalu miskin karena banyak berisi sajak dan muhassint bad'iyyah.Rifa'ah. Rafi' ath-Thahthawi memiliki peran penting dalam melahirkan essai sastra. Ia berperan mengarabkan istilah essai dari bahasa Turki, menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab dan mengubahnya dari surat kabar resmi menjadi surat kabar yang menerbitkan essai sastra. 

Ciri khas aliran yang disebut dengan aliran pers pertama adalah sebagai berikut:

  • Kesan keindahan yang dibuat-dibuat jelas terlihat bahkan cenderung kepada hal-hal yang aneh kecuali beberapa gaya tulisan Rifa'ah ath-Thahthawi.
  • Gaya tulisannya miskin dan kurang bagus bahkan tidak mencerminkan gaya tulisan sastra kecuali sajak.
  • Banyak menggunakan kosa kata asing kecuali Ath-Thahtawi yang terkenal sangat membela bahasa Arab
  • Tema-tema yang ditulis oleh para penulis essai pada masa ini adalah tema-tema tradisional dan tidak ada perhatian pada isu-isu sosial

Kedua: Fase Transformasional. Fase ini disebut juga dengan fase aliran pers kedua, di mana para penulis pada era ini sangat terpengaruh oleh spirit revolusi 'Urabi dan ajakan Syeikh Jamaluddin al-Afghani.Juga terpengaruh oleh kebangkitan nasional yang mulai jelas dengan lahirnya partai nasional. Kekhasan fase ini adalah:

Ciri khas essai surat kabar semakin jelas terlihat dan mulai berubah menjadi karya seni yang berbeda dan istimewa

  • Essai menjadi salah satu sarana penting dalam gerakan reformasi politik, sosial dan ekonomi.
  • Essai pada fase ini menjadi embrio kebangkitan sastra dan ilmu budaya. 4) Essai mulai lepas dari belenggu sajak dan muhassint bad'iyyah dan mulai memberikan perhatian pada makna-makna dan berbagai macam gagasan, meskipun masih didapati beberapa kecacatan pada beberapa penulis.
  • Essai pada masa ini masih dibumbui dengan tulisan ala ceramah disebabkan oleh tema-tema yang disampaikan.
  • Sebagian besar penulis essai pada masa ini bukan berasal dari kalangan jurnalis yang professional, tetapi mereka adalah para sastrawan dan pimpinan reformasi.

Ketiga: Fase Post Colonialism. Fase ini bisa juga disebut dengan fase aliran pers modern dan fase legitimasi. Selama fase post colonial banyak surat kabar terbit dengan dukungan dari kerajaan Inggris yang menggunakan politik pecah belah. Harian "Al-Muqtham" dengan slogannya "Mendukung politik Inggris yang mampu menjadikan Negeri Timur hidup dan menyuarakan pendapat dan aspirasinya" terbit pada masa itu. Kaum nasionalis menjawab slogan harian tersebut dengan menerbitkan harian "Al-Mu`ayyad" pada tahun yang sama. Lalu ketika "Al-Mu`ayyad" berada di barisan Khidiwi, kaum nasionalis menerbitkan "Al-Liw`" pada tahun 1900. Pada tahun 1907 Lutfi As-Sayyid menerbitkan harian "Al Jardah"dengan misi sebagai upaya untuk mewujudkan cita-cita nasional dengan kesepakatan antara kolonial Inggris dan elit Mesir sebagai pemilik kemaslahatan yang sesungguhnya. Kemudian lahir harian "Adh-Dhhir" yang dipimpin oleh Muhammad Abu Sydi dan menyerang khusus Syeikh Muhammad Abduh bahkan sampai menghalalkan dagingnya. Setelah itu banyak terbit surat kabar seperti "Al-Mimbar" dan "Mishbh asy-Syarq" milik Ibrahim al-Muwailihi yang loyal kepada Sultan Abdul Hamid. Pada tahun 1898 Al-Muwailihi menyerang apa yang disebutnya dengan koran-koran as-saqithah (murahan) dengan mengatakan: "koran-koran murahan ini terus terjun ke titik terendah. Para pendirinya yang terbelenggu dalam kemiskinan kini terpenjara karena ulah mereka menghina orang lain, membuat kabar bohong, berdusta, merendahkan martabat. Demi mendapatkan sesuap makanan, mereka rela menanggung malu".

Pada fase ini essaikoran berkontribusi dalam memberikan gambaran masyarakat. Ibrahim al-Muwailihi pemilik harian "Jaridah Mishbh asy-Syarq" menggambarkan potret majlis-majlis ilmu di al Azhar asy-Syarif. Essai ketika itu juga membahas al-Azhar dan memberikan perhatian besar terhadap wanita dunia dan pendidikannya. Essai sastra juga membahas buku karangan Qasim Amin berjudul "Tahrr al-Mar`ah" terbit tahun 1899. Pada masa itu banyak majalah-majalah wanita yang terbit bulanan di Mesir yang ditulis oleh para penulis wanita dari Suriah dan Mesir, di antara mereka adalah Hindun Naufal dan Labibah Hasyim yang menulis essai-essai bernuansa sosial mengenai wanita. Pada fase tersebut juga muncul seorang ahli bernama Malak Hefni Nashif. Dia menulis di berbagai surat kabar dan menyampaikan orasi-orasinya dan menghimpun essainya dalam buku yang berjudl "An-Nisiyt". Pada masa ini muncul Azizah Ali Fauzi tahun 1911 yang mengkritik Kolonial Inggris karena menghapus Pendidikan Islam dari Kurikulum Sekolah Mesir.Beliau menerbitkan essainya di Harian "Al-Ilm". Selain itu juga ada Aisyah at-Taimuriyyah dan penulis berkebangsaan Turki Khalida Adib. Essai pada fase ini memiliki ciri khas sebagai berikut:

  • Essai lebih cenderung mengobarkan semangat khususnya dalam bidang politik
  • Beberapa essai yang diterbitkan dalam berbagai surat kabar lebih fokus kepada pemikiran yang bersifat abstrak khususnya harian "Al-Jardah" yang dipimpin oleh Ahmad Luthfi As-Sayyid dan bergelar Ustaz al-Jl
  • Gaya bahasa essai pada masa ini lebih runtut, teratur dan banyak cara-cara menulis disesuaikan dengan kecenderungan yang dimiliki oleh para penulis.
  • Bahasa essainya tidak lagi menggunakan sajak.

Keempat: Fase Antara Perang Dunia Pertama dan Kedua: Fase ini bisa juga disebut dengan fase perkembangan dan keberagaman. Essai harian yang berbau politis khususnya merupakan essai yang sudah ada pada masa sebelumnya. Ada tiga kecenderungan essai pada masa ini, yaitu:

  • Essai yang mengajak untuk berkompromi dengan pemerintah kolonial selama tidak ada alasan untuk mengusirnya dan selama ada manfaat yang diambil dari pemerintah kolonial.
  • Essai yang mengajak untuk memberontak dan melawan keras colonial.
  • Essai yang mendukung kerajaan, mendukung gerakan nasional dan kadang-kadang pula melawan gerakan tersebut.

Essai surat kabar yang ada pada masa ini adalah "al-Mir`ah", sebuah surat kabar yang menggambarkan pengaruh revolusi 1919 dan penuh dengan berita-berita hangat. Di antara pengaruh majalah-majalah tersebut terhadap perkembangan essai adalah sebagai berikut:

  • Bahasa digunakan untuk mengakomodasi ide-ide baru.
  • Jumlah halaman bertambah luas, sehingga terbuka bagi berbagai bentuk essai untuk diterbitkan dan disebarluaskan.
  • Lahirnya para penulis essai yang berkosentrasi menulis essai dengan lebih bagus dan lebih maksimal karena menjadi satu-satunya wadah bagi mereka untuk mengekspresikan ide-ide mereka.
  • Bahasa essai lebih mudah dipahami oleh para pelajar pada umumnya, bahasanya lebih runtut dan terlepas dari sajak dan muhassint badi'iyyah lainnya.

Fase kelima: Masa Keemasan. Secara historis, fase ini dimulai setelah kehancuran Palestina 1948 dan setelah tahun 1952. Ketika itu lahir essai sastra beraliran politis analitis yang berpijak kepada informasi faktual bukan berdasarkan emosi semata, di samping itu ada essai yang berisi semangat oratorikal yang bias. Pada fase ini muncul essai khusus setelah tahun 1960-an khususnya ketika majalah-majalah khusus dalam berbagai bidang seni sastra diterbitkan seperti majalah puisi dan cerita, "al-Adab wal Fikr al-Mu'shir" yang dipimpin oleh Zaki Najieb Mahmud, juga seperti majalah "al-Adab al-Beirutiyyah" yang ketika itu dipimpin oleh Suhail Idris. Majalah tersebut berperan besar dalam bidang kesusastraan dan pemikiran. Selain itu ada majalah "Al-Manhal" di Arab Saudi, majalah "al-Ufuq al-Jadd" di Jordania, serta muncul majalah-majalah serupa di Maroko. Pada fase ini pula banyak contoh seni essai sastra yang ditulis. Isinya ada yang obyektif dan ada pula yang subyektif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun