“Berjualan di Facebook, Instagram memang simpel, terima cash tapi kurang terpercaya dan serba manual, penjual bisa bingung siapa yang membeli di postingan yang mana, sementara di marketplace pesan terekam oleh sistem,” kata Fajrin.
Pasar yang Bertumbuh
[caption caption="Dok. Wardah Fajri"]
Jika sudah memilih platform bisnis online mana yang paling nyaman, selanjutnya membaca pasar dan peluang. Soal ini Kun Arief Cahyantoro memberikan gambaran menyeluruh yang mendongkrak optimism.
Indonesia sebagai negara dengan populasi digital terbesar di ASEAN akan memiliki penduduk muda, usia produktif, yang mencapai masa keemasan pada 2020 – 2035. Selama 15 tahun masa keemasan yang akan segera datang ini, penggunaan internet dan pasar e-commerce membuka peluang selebar-lebarnya untuk para pebisnis online.
Kun memberikan perbandingannya dengan negara Tiongkok. Lihat saja pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat di Tiongkok, dengan masa keemasan tahun 2000. Ekonomi yang pesat di Tiongkok adalah dampak dari pertumbuhan penduduk muda di sana pada tahun 1990. Tiongkok sudah merasakan hasilnya. Indonesia, masih dalam perjalanan ke sana yang artinya kesempatan masih terbuka luas ke depan.
[caption caption="DOK. Wardah Fajri"]
Terbukanya peluang perlu segera ditangkap oleh UKM untuk terjun dan maksimalkan e-commerce bahkan m-commerce (mobile). Kun juga menjelaskan tantangan e-commerce ke depan. Tantangan ini perlu dipahami dan menjadi pertimbangan para pebisnis online agar sukses menjalankan e-commerce , antara lain:
1. Budaya beli, kebanyakan pembeli online (80 persen) melakukan perbandingan harga di situs belanja online
2. Sistem pembayaran masih didominasi transfer (57 persen) dan COD (28 persen), jadi belum sepenuhnya e-commerce
3. Tingkat kepercayaan, lagi-lagi reputasi menjadi penting. Biasanya pembeli memutuskan bertransaksi karena sudah mengetahui barang sebelumnya, pernah memegang barang tersebut, artinya tidak semua pembeli hanya percaya gambar yang terpasang di situs.