Dulu, Ulama identik dengan kata “Didatangi/dikunjungi/disowani” apalagi menjelang hajatan politik seperti pemilu terutama dari pihak-pihak yang membawa misi politik.
Apa yang terjadi dengan ulama sekarang? Ulama yang biasanya didatangi, dikunjungi sebagai tempat refresentasi ilmu agama, tempat nasehat dan wejangan untuk kalangan masyarakat dari berbagai status social telah berubah haluan dengan aksi yang dilakukan sebagian Ulama.
Jika Ulama mendatangi seorang Menteri Pendidikan dalam rangka kerja sama bidang pendidikan atau memberi nasehat penguatan hati supaya tabah menghadapi cobaan karena dipecat dari Menteri akibat kinerja tidak baik mungkin tidak menjadi persoalan.
Namun ketika ulama mendatangi seorang Calon Gubernur yang masih berlangsung proses pencalonannya yang merupakan bagian dari proses politik tentu menjadi satu persoalan.
Hal yang tabu berubah menjadi tidak tabu bagaimana seorang pelaku politik didatangi para ulama dengan satu rombongan besar untuk mempengaruhi persepsi publik bahwa apa yang dilakukan adalah sebuah bentuk dukungan yang secara tidak langsung terhadap calon yang didatangi.
Aksi Ulama sekarang sudah bergeser dari yang “didatangi” berubah menjadi “mendatangi” seperti contoh yang terjadi dengan ulama NU se DKI Jakarta begitu kompak mendatangi seseorang yang masih berstatus calon Gubernur.
Mungkin rasa malu yang diemban orang-orang yang berstatus ulama sudah tidak ada atau memang tidak tahu malu mendatangi Cagub yang tujuannya berharap dukungan dari siapapun.
Mengutip judul dari Tribunnews.com “Anies Kumpulkan Kyai NU Begini Komentar Netizen”, dari kalimat “Anies Kumpulkan Kyai NU” memberi kesan buruk seolah-olah ulama NU begitu mudah diatur oleh Anies yang notabennya sebagai politisi karena status Cagub.
Agama sudah dalam kondisi darurat disaat para ulamanya tidak mampu menempatkan dirinya diposisi yang semestinya, justru ikut larut dalam bayang-bayang politik.
Agama sudah terlalu jauh dipolitisir oleh politik, begitu juga sebaliknya sehingga yang terjadi adalah agama tanpa malu menjadi politik bagi sebagian yang ngakunya ulama.
Contoh didepan mata, bagaimana seorang Anies hanya pakar pendidik, Menteri gagal dan bukan seorang ulama mampu mengumpulkan para ulama NU se DKI Jakarta dalam posisinya sebagai Calon Gubernur dengan dalih sirahturahmi.
Kemudian, forum ulama dan habaib (FUHAB) tanpa sungkan dan malu melakukan deklarasi dukungan secara terbuka terhadap pelaku politik “Anies” demi tujuan kekuasaan semata. (Sumber)
Zaman sudah berubah, apakah ulama sebagai pengemban agama beralih fungsi sebagai kedok untuk kepentingan kekuasaan duniawi? Memprihatinkan!
Secara tidak langsung dugaan politik praktis sudah ditunjukkan seperti yang dicontohkan Kyai NU se DKI Jakarta secara terbuka, secara politik tentu lebih mengutungkan Anies.
Bagi NU se DKI Jakarta secara politik tidak menguntungkan, namun dibalik semua itu pasti ada timbal balik yang diperoleh NU DKI Jakarta dari sang Cagub.
Politik mempolitisir agama sudah terjadi, tinggal menunggu sikap PB NU apa yang akan dilakukannya.
Apakah akan menjelma menjadi Partai NU memenuhi hasrat NU se DKI Jakarta atau tetap sebagai Ormas islam yang focus mensiarkan islam yang identik dengan Rahmatan Lilalamin.
Salam Politisir…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H