Menjelang debat Calon Gubernur dan wakil Gubernur DKI Jakarta yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) tanggal 13 januari 2017, malam nanti, maka persentase hasil debat diprediksi sebagai berikut :
Agus-Sylvi
Kesempatan debat yang diselenggarakan beberapa TV swasta beberapa waktu lalu tidak dimanfaatkan sebagai ajang pemanasan dan bahan koreksi dalam rangka persiapan menjelang debat resmi yang diselenggarakan KPU sehingga pengalaman debat Agus-Sylvi terbilang tidak ada sama sekali alias nol.
Pengalaman debat adalah modal terpenting untuk menghadapi debat-debat berikutnya sehingga kemampuan dapat terukur baik kelebihan maupun kekurangannya, ini yang tidak didapat oleh Agus-Sylvi sehingga untuk menghadapi debat perdana diyakini akan mendapat kendala berupa kikuk, grogi, lupa dan bingung.
Program yang ditonjolkan selama kampanye adalah representasi dari visi dan misi yang akan dituangkan dalam debat nanti sehingga calon lain dapat memprediksi dan mudah mengcounter bahkan memojokkan Agus-Sylvi.
Program yang ditonjolkan Agus-Sylvi selama kampanye seperti bantuan 1 miliar per RW per tahun yang dianggap money politik oleh Bawaslu DKI Jakarta diganti dengan bahasa yang berbeda “bantuan modal usaha” yang sifatnya sama dengan bantuan 1 miliar per RW tersebut tidak menunjukkan hal-hal yang baru atau program-program baru yang bisa menyaingi program Ahok-Djarot yang sudah berjalan akan menjadi titik lemah Agus-Sylvi dalam debat nanti.
Program yang ditawarkan akan berimplikasi terciptanya pengangguran, bermalas-malasan, dan premanisme yang hanya mengandalkan bantuan yang ditawarkan seperti yang pernah ditulis dalam artikel “Program 1 Miliar Agus-Sylvi Menciptakan Pengangguran dan Pemalas”
Program bantuan Agus-Sylvi yang sifatnya tunai dan tidak jelas diperuntukkan ke komunitas mana bisa diterapkan calon-calon lain bahkan nilainya bisa diatas 1 miliar, tentu program tersebut adalah program yang tidak mendidik, tidak bertanggung jawab dan mudah dijadikan lahan korupsi.
Program yang berkaitan agama saja dikorupsi apalagi program yang bersifat social, seperti yang terjadi kasus korupsi tempat pemakaman umum dan terupdate kasus korupsi pembangunan masjid Al Fauz di kompleks kantor Walikota Jakarta Pusat yang menelan biaya fantastis Rp 27 miliar plus tambahan 5,6 miliar dan diduga melibatkan sylvi sebagai Walikota pada masa itu, serta beberapa kasus korupsi lain yang mencapai sekitar lima kasus yang belum tersentuh hukum. (Sumber1, sumber2)
Program bantuan ala Agus-Sylvi bisa juga menjadi alat politik seperti yang terjadi program BLT milik ayahanda SBY semasa menjabat Presiden dengan memanfaatkan penyaluran di waktu momen politik tertentu dan nilainya tidak seberapa namun banyak memakan korban meninggal dunia.
Program lain yang menonjol adalah “lompat apung” melompat dari panggung ke kerumunan manusia dan “kota apung” program yang tidak jelas bagaikan fatamorgana yang penuh dengan ilusi kemudian diralat bahwa program tersebut diluar dari visi dan misinya.