Pemukulan terhadap Widodo (52), relawan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok-Djarot Saiful Hidayat menurut versi ketua RT.
"Dari laporan, yang ngegebukin namanya I, (sedangkan) yang lain mengelilingi saja. Salah satu warga yang ngomong seperti itu," kata Suharyoto kepada Kompas.com di rumahnya, Wijaya Kusuma, Grogol Petamburan, Jakarta Barat, Sabtu (7/1/2017)”(sumber)
Sementara menurut versi Sekretaris Dewan Syuro DPD FPI DKI Jakarta Novel Chaidir Hasan Bamukmin membantah tuduhan melakukan pengeroyokkan.
"Tidak ada pengeroyokan yang ada satu lawan satu. Namanya M. Irfan, Qoid LPI (Laskar Pembela Islam) di Kecamatan Gropet (Grogol Petamburan). Ada saksi warga sekitar yang melihatnya," kata Novel .” (sumber)
Menurut dua versi yang hampir sama, pemukulan dilakukan oleh M.Irfan alias inisial I sendiri tidak dibantu teman-temannya berjumlah sekitar 10 orang.
Apakah teman-teman M.Irfan tidak ikut melakukan pemukulan kemudian dianggap tidak melakukan pengeroyokkan?
Unsur pengeroyokkan bahkan rencana pembunuhan terpenuhi sebagai berikut :
- Unsur “niat” terpenuhi karena sebelum melakukan aksi pemukulan sudah direncana bersama-sama sekitar 10 orang sebab dari peristiwa satu hari sebelumnya yang berkaitan dengan kata “Haram” saat Djarot melakukan kampanye.
- Unsur penyerangan ke korban secara beramai-ramai terpenuhi.
- Teman-teman pelaku menyaksikan pemukulan yang dilakukan M.Irfan ke Widodo tanpa rasa kasihan, tidak ada niat melakukan peleraian.
- Melakukan pemukulan cukup satu orang karena ada aksi “Pressure” terhadap korban dengan cara mengelilinginya sehingga membuat down korban sampai tidak berdaya secara mental dan fisik “wajah bonyok”.
- Saksi atau warga lain mencoba melerai namun dihalangi oleh teman-teman pelaku
- Pelaku pemukul dan 10 orang adalah satu kesatuan yang saling mengenal dan sama-sama satu tujuan “pengeroyokkan”.
Dari poin diatas, unsur pengeroyokkan sudah terpenuhi yaitu niat, penyerangan, melihat, pembiaran, menghalangi orang lain memberi pertolongan terhadap korban dan pengepungan dengan cara dikelilingi walaupun katanya teman-teman pelaku tidak melakukan pemukulan.
Dengan cara mengelilingi korban, pengepungan disertai pemukulan adalah satu tindakan gaya barbar yang sangat kejam dan sudah mengancam nyawa seseorang.
Jadi, ini bukan soal pelanggaran kampanye Pilkada, tetapi sudah masuk unsur kriminal yang wajib diproses secara hukum karena sudah mengancam nyawa orang lain.
Bayangkan, jika dilakukan di hutan atau tempat sepi, kemungkinan nyawa Widodo terancam dihabisi karena berkaitan ucapan “haram” dari pelaku yang ditujukan kepada korban.
Artinya, korban pemukulan dianggap “halal” diperlakukan apa saja oleh pelaku dan teman-temannya, prilaku yang tidak jauh dari sang junjungannya si imam besar Riziek FPI yang mudah dan terbiasa mengeluarkan kata “Bunuh” adalah hal biasa.
Novel Bamukmin sebagai bagian dari ACTA, notabennya mengerti hukum ingin mengaburkan persoalan dengan memisahkan antara “Pengeroyokkan” dan “satu lawan satu”.
Seolah-olah perkelahian satu lawan satu dalam kriminal dibenarkan dan pemukulan dilakukan satu orang tidak diikuti teman pelaku dianggap bukan pengeroyokkan.
Cukup 6 poin diatas untuk membantah pernyataan Novel Bamukmin "Tidak ada pengeroyokan yang ada satu lawan satu” yang semakin hari, semakin kelihatan arah dan tujuannya yang kurang jelas membuat perut lapar ketika ingat “Fitsa hats” dan ingin mencoba menikmati hingga sampai hari ini tidak ditemukan waralaba cepat saji milik USA tersebut di pelosok Indonesia.
Untuk menguji kemampuan hukum Novel Bamukmin atas pernyataannya "Tidak ada pengeroyokan yang ada satu lawan satu” kiranya bisa dijadikan saksi ahli hukum di pengadilan kasus pemukulan Widodo apakah dibenarkan ada satu lawan satu atau pengeroyokkan dan berharap muncul kata-kata baru selain fitsa hats.
Salam Fitna hats…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H