Artinya, siapapun yang dicap sebagai kafir bisa datang dari muslim sendiri apalagi non muslim.
Kata “Kafir” adalah bukan alat untuk menyerang dan diumbar dimuka umum, akan tetapi alat privasi untuk pembelajaran internal karena mengandung makna negative pada subjek yang bisa berubah sewaktu-waktu menjadi “senjata makan tuan”.
Dari Abū Hurairah, Nabi Shallallāhu alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya, ‘Hai kafir,’ maka sesungguhnya hal itu kembali kepada salah satu dari keduanya.” [HR Al-Bukhāri :2263/5752]
Artinya, suatu saat orang yang dikafirkan bisa beriman, sebaliknya orang yang mengkafirkan bisa menjadi kafir sehingga siapapun tidak dibenarkan berujar kafir terhadap siapapun.
Jika “Kafir” dibiarkan untuk diumbar dimuka umum maka intoleransi dan disintegrasi perlahan akan berkembang menjadi musuh antar anak bangsa. Tidak hanya ucapan “Pemimpin Kafir” atau “Pahlawan Kafir” yang muncul, mungkin kafir-kafir lain akan bermunculan.
Dimana posisi MUI sekarang yang pernah mengeluarkan fatwa sesat terhadap pihak yang mengumbar kafir?
Apakah akan berlaku adil seperti yang dilakukan zaman sebelumnya dengan mengeluarkan fatwa "aliran sesat" terhadap pihak-pihak yang mengumbar “Kafir” seperti saat sekarang ini yang sangat bebas dan terbuka?
Jika tidak ada tindakkan apapun dari MUI terhadap pihak yang suka umbar kafir, maka jangan salahkan seandainya MUI sebagai perumpamaan mengutip hadist HR. Ahmad No. 8493:
“….. di waktu pagi mukmin dan di waktu sore telah kafir, dan di waktu sore beriman dan pagi menjadi kafir, ia menjual agamanya dengan kesenangan dunia.”
Salam Duniawi…