Perlahan tapi pasti peran M.Taufik mulai ada titik terang di persidangan kasus suap reklamasi, dalam persidangan M.Sanusi sebagai adik kandung M.Taufik yang tersandung operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki peran yang berbeda.
M.Taufik sebagai kakak berperan penghubung ke Pemprov DKI Jakarta karena pengalamannya pernah menjadi Ketua KPU sehingga sedikit banyak paham birokrasi, sedangkan M.Sanusi sebagai adik berperan penghubung ke pengembang atau pengusaha karena pengalamannya sebagai pengusaha sehingga bahasa-bahasa bisnis sangat paham apalagi berkaitan dengan bau-bau rupiah.
Sebagai ketua Balegda dan Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, M.Taufik lebih aktif dan agresif menggarap proyek reklamasi dibandingkan M.Sanusi karena nilai proyek tersebut terbilang triliunan, tentu angka yang sangat menggiurkan buat M.Taufik yang notabennya “kucing Kurap” kere.
“Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menyebut adanya potensi keuntungan yang diperoleh Pemerintah Provinsi DKI hingga Rp 158 triliun dari kontribusi tambahan proyek reklamasi. Ia menyebut uang Rp 158 triliun didapat dari hasil penjaualan properti di pulau reklamasi selama 10 tahun” (sumber: kompas.com)
hitung-hitungan angka selama 10 tahun,
15% = Rp 158 triliun
10% = Rp 105,33 triliun
5% = Rp 52,66 triliun
Apabila nilai 5% lolos diketuk palu oleh DPRD atas perjuangan M.Taufik CS maka pengembang hemat 10%. Kemudian seandainya deal pengembang dengan M.Taufik CS sebesar 5% sebagai ucapan terima kasih karena DPRD menggolkannya maka M.Taufik CS mendapatkan nominal Rp 52,66 triliun dibagi 10 tahun sama dengan Rp 5,266 triliun per tahun.
Dari Rp 5,266 triliun per tahun di bagi dengan jumlah anggota DPRD yang dapat jatah. Umpama anggota DPRD DKI Jakarta berjumlah 106 mendapat jatah semua maka per anggota bisa membawa pulang rata-rata sekitarRp 49,8 miliar per tahun selama 10 tahun.
Jadi, pengembang bisa menghemat 5%, M.Taufik CS mendapat 5% dan Pemprov hanya dapat kontribusi tambahan 5%.