Tahun 2015/2016 ada beberapa Gubernur, Walikota, Bupati yang tersangkut korupsi seperti contoh Annas Maamun (Gubernur Riau), Ratu Atut (Gubernur Banten), Gatot Pudjo Nugroho (Gubernur Sumatera Utara), dan yang terbaru dihebohkan kasus korupsi dilakukan oleh Nur Alam (Gubernur Sulawesi Tenggara).
Lagi dan lagi, terus berlanjut ke Bupati Banyuasin (Sumatera Selatan) Yan Anton Ferdian, termasuk Bupati Termuda se Sumatera Selatan yang berturut-turut tiga kali meraih penghargaan WTP (Wajar Tanpa Pengecualian).
Nama-nama kepala daerah diatas hanya sebagian contoh kecil peraih penghargaan Audit WTP, salah satu produk unggulan milik Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) yang setiap tahun rutin diberikan.
Audit WTP merupakan nilai penghargaan tertinggi yang diberikan BPK bahwa hasil audit laporan keuangannya yang sangat baik dan dianggap tidak ada masalah bagi daerah baik Provinsi, kabupaten/kota dan termasuk perusahaan masing-masing.
Ada beberapa kelas audit yang ditawarkan BPK terdiri :
- WTP (Wajar Tanpa Pengecualian),
- WDP (Wajar Dengan Pengecualian),
- TW (Tidak Wajar),
- TMP (Tidak Menyatakan Pendapat)
Kenapa banyak sekali kepala daerah yang mendapat WTP tetapi terlibat korupsi ? Sedangkan Daerah seperti contoh DKI Jakarta yang lebih transparan soal Anggaran dan Gubernurnya tidak terlibat korupsi justru diberi predikat WDP.
Pertanyaannya, seperti apa Audit yang dilakukan BPK terhadap suatu daerah sehingga hampir mencapai 100% yang terlibat korupsi rata-rata sebagai penyandang WTP ?
Ternyata tidak ada jaminan bagi daerah maupun kepala daerahnya yang meraih WTP akan terbebas dari kasus korupsi.
Mengutip pernyataan BPKP Eddy Mulyadi Soepardi :
“Jadi opini yang menyatakan penerima WTP itu sudah bebas dari korupsi sangat keliru karena belum tentu peraih WTP itu tidak tersangkut dengan perbuatan korupsi,” ujarnya dalam seminar Pemberantasan Korupsi Melalui Koordinasi dan Supervisi di Makassar, Rabu.
Dia mengatakan, audit yang dilakukan pihak badan pemeriksa keuangan itu merupakan audit secara acak atau sampling, kemudian dikeluarkan opini.
Bahkan opini Wajar Tanpa Pengecualian dari Badan Pemeriksa Keuangan terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) yang dikeluarkannya itu bukan jaminan bebas korupsi. (sumber)
Dari pernyataan diatas membuktikan bahwa BPK itu tidak berguna dan sangat tidak bermanfaat sekali, hanya menghabiskan anggaran Negara (Uang Rakyat) membiayai BPK dengan fungsi sebagai lembaga survey. Bagaimana BPK satu lembaga besar milik Negara yang kerjanya seperti lembaga survey yang system kerjanya dilakukan secara acak atau sampling, kemudian dikeluarkan opini.
Betul apa yang dikatakan Ahok bahwa BPK itu “Ngaco” soal audit investigasi soal kasus Rumah Sakit Sumber Waras beberapa waktu lalu yang berdasarkan survey, asumsi dan melihat dilapangan tanpa melihat hukum yuridis. BPK sempat menyatakan hasil audit tidak bisa diubah, tetapi kenyataannya dalam kasus korupsi perjalanan fiktif DPR RI yang disinyalir merugikan Negara sekitar 945 miliar.
Awalnya dengan meyakinkan BPK mengumumkan ada unsur korupsi dikasus perjalanan fiktif DPR, namun akhirnya diralat kembali tidak ada unsur korupsinya. (sumber1), (sumber2)
Semakin kelihatan kerja BPK ngaconya yang semakin tidak ketulungan dengan melihat perbandingan kasus antara kasus Sumber Waras (hasil audit tidak bisa diubah) dengan kasus Perjalanan Fiktif DPR (hasil audit bisa berubah).
Jadi, empat produk milik BPK terutama WTP diyakini untuk melakukan modus jual-beli maupun pemerasan, seperti artikel “Sheng Yue Milik Ketua BPK "Bodong", Indikasi Jual Beli Audit”
Setiap tahun BPK rutin obral WTP dan tidak bisa dibayangkan berapa banyak aliran dana illegal yang mengalir hilir mudik dengan jumlah 34 Provinsi, 514 Kabupaten/Kota, dan ditambah perusahaan-perusahaanserta lembaga lain diseluruh Indonesia.
Apalagi yang perlu dipertahankan dari Lembaga Negara seperti BPK yang katanya independen memiliki :
- Ketuanya diisi politisi,
- Sebagian anggotanya terdiri beberapa politisi,
- System kerjanya secara acak atau sampling,
- Hasil auditnya bisa berubah-ubah.
Dari 4 alasan diatas sudah layak BPK itu dibubarkan secara terhormat, BPK lebih baik diambil alih PPATK karena system kerjanya hampir sama, tinggal diperkuat fungsinya saja.
Sebelum dibubarkan pihak aparat penegak hukum agar segera melakukan penyelidikan “Skandal WTP” yang dilakukan BPK.
Salam WTP…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H