Setelah Partai Gerakkan Indonesia Raya (Gerindra) mendeklarasikan Sandiaga Uno (Sandi) sebagai Calon yang diusung, apakah sebagai Calon Gubernur atau Calon Wakil Gubernur DKI Jakarta masih tidak jelas, membuktikan bahwa Gerindra sadar sosok Sandi sulit untuk bersaing dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Akhir tujuannya adalah tidak masalah apakah calon DKI 1 atau DKI 2 yang penting gerindra berharap Sandi bisa diusung partai lain, karena Gerindra tidak cukup kursi DPRD DKI Jakarta untuk mengusung sendiri.
Disisi lain, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) secepat kilat menyambut dengan suka cita dengan menyatakan mendukung Sandi dengan berharap kadernya bisa dipasangkan dengan Sandi, karena dengan koalisi PKS (11 Kursi DPRD )dengan Gerindra (15 kursi DPRD ) berjumlah 27 kursi bisa mengusung melebihi syarat minimal 22 kursi DPRD DKI.
Namun, bagi Gerindra jika itu dilakukan maka akan kalah konyol karena kader-kader PKS tidak ada yang menjanjikan untuk Pilgub DKI dari sejak zaman baholak. PKS menyadari hal itu, sehingga tujuan utamanya adalah siapapun calonya yang penting “Asal bukan Ahok”.
Merasa tidak punya harapan mengajukan kadernya, PKS mulai melakukan bidikkan calon diluar kader PKS melalui tangan simpatisannya seperti Said Iqbal (ketua KSPI) dengan menyatakan dukungannya terhadap mantan Menteri (pecatan) Rizal Ramli dan calon srikandi PKS alias (politisi dadakan) Neno Warisman melalui “Jaklovers” menyuarakan dukungan terhadap Tri Risma (Walikota Surabaya).
Hasilnya, Tri Risma lebih menjual dibandingkan Rizal Ramli, melalui suara Neno Warisman “Jaklovers” dan ditambah pasukan PKS yang tidak terlihat, dukungan ke Risma jelas ritme gaungnya akan di tinggikan sehingga akan mendapat perhatian Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), partai yang menaungi Risma. Apabila terwujud, apakah mereka akan mengklaim bahwa itu atas perjuangan mereka menyuarakan dukungan ke Risma sehingga PDIP mengabulkan ?
![sumber: tempo.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/08/09/tempo-com-57a9606a1fafbdd307933646.jpg?t=o&v=770)
Melihat pernyataan beberapa pentolan kader partai salah satunya adalah “PKS Dukung Risma Jika Maju Pilkada DKI”.
Apa gerangan motif PKS mendukung Risma ?
Perlahan tujuan itu mulai tercapai dengan pertemuan 7 partai (PDIP, Gerindra, Demokrat, PKB, PAN, PKS dan PPP ) tanggal 8 Agustus 2016 kemarin, dengan sebutan “Koalisi Kekeluargaan” yang pada ujungnya akan bubar secara kekeluargaan (kemudian keluar dengan kegagalan). Bagi PKS dalam pertemuan tersebut sedikit banyak melegakan, sambil memutar otak mencari cara jitu yang lebih efektif.
Bagaimana PDIP dan PKS mau bisa bersama di Pilgub DKI Jakarta sebagai Barometer Nasional yang setiap saat disorot media lokal maupun nasional yang bisa berdampak di tingkat politik nasional? Kecuali mereka bersama di tingkat lokal yang jauh dari hingar-bingar politik tingkat nasional.
Karena agama (PKS) dulu teriak haram memilih pemimpin perempuan saat Megawati menjadi Calon Presiden yang disertai dengan ayat-ayat kitab suci, tetapi sekarang perempuan “Risma” jadi pilihan hanya demi “Asal bukan Ahok”. Celakanya lagi, kader perempuan yang didukung adalah pemilik kader yang dianggap haram dipilih menjadi pemimpin. Artinya, Celaka dua kali.
Ini hanya satu contoh buruk, jika dibeberkan beberapa contoh maka bukan “celaka dua kali” lagi, tetapi celaka berkali-kali, sakaratul maut akhirnya innalillahi wainna ilaihi rojiun.
Siapapun pasti akan mengatakan politik itu dinamis (berubah-rubah). Bagi PKS sebagai partai yang berplatfom agama, apakah agama dinamis juga ?
Apa yang didapat PKS jika Risma benar-benar dicalonkan PDIP ? secara materi PKS tidak akan dapat apa-apa, hanya sebatas mendukung tanpa mendapat mahar dan tidak akan mendapat jatah kekuasaan / jabatan dari PDIP. Kalah atau menang bagi PKS sama saja.
Jadi, apa yang didapat PKS ? keuntungan yang didapat hanya bersifat rohaniah, yaitu :
- Berhasil mengadu Risma dengan Ahok, artinya dua calon tersebut adalah musuh, Ahok musuh terang-terangan “Asal Bukan Ahok” terwujud, sedangkan Risma musuh gelap-gelapan (Megawati/pemimpin perempuan yg tidak diharap).
- Jika Risma kalah maka nilai jual Risma langsung anjlok ditambah tidak bisa balik jadi Walikota Surabaya, suara PDIP DKI Jakarta akan anjlok bahkan bisa merambah ke daerah-daerah lain di Pemilu 2019. Hasilnya PKS sangat puas.
- Jika Ahok kalah maka dendam kesumat PKS terobati, peluang mendapat saweran sedikit banyak dari calon terpilih (Risma) biar sedikit tapi ada. Apalagi karakter Risma yang mudah berlinang air mata tentu bisa goyah seperti yang terjadi ingin mengundurkan diri dari Walikota Surabaya. Hasilnya PKS sangat puas.
- Mengadu Risma vs Ahok menjauhkan hubungan Ahok dengan Megawati, Politik pecah belah a la PKS sukses, tidak dapat materi (no problem) yang penting jiwa puas terobati, ibarat punya pusthun cantik tidak punya harta asalkan lebih dari satu.
![sumber: rmol.com - edited by wara katumba](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/08/09/dddd-jpg-57a9827b109373ec29d63d93.jpg?t=o&v=770)
Karena menggandeng PKS maka citra buruk PDIP akan tercoreng duluan sebelum Risma terpilih akibat politik pecah belah a la PKS yang dinamis.
Salam perabot pecah belah………
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI