Untuk Kabupatan -Kota di Indonesia Bebaskan Korupsi
Menuju Optimalisasi Pelayanan Publik di Pusat & Daerah
Demi Kesejahteraan Rakyat
Forum Pelanggan Pelayanan Publik
Kinerja birokrasi pemerintah baik pusat maupun daerah dalam penyelenggaraan pelayanan publik sering mendapat kritikan masyarakat luas. Hal ini memaksa pemerintah pusat dan daerah selaku pemangku kekuasaan untuk melakukan perbaikan manajemen pelayanan publik. Dan skala prioritasnya adalah dengan melaksanakan reformasi birokrasi dalam upaya untuk perbaikan pelayanan publik. Hal ini tidak cukup hanya dengan menandatangani pernyataan Pakta Integritas untuk mendukung terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik dan pemerintahan yang bersih. Yang hakekat nya hanyalah untuk membangun pencitraan dan tebar pesona pada rakyat semata.
Praktek good and clean governance (tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih) merupakan salah satu upaya untuk melakukan pencegahan praktek korupsi. Merujuk pada awal reformasi rakyat mengamanat kan pada pengelola Negara melalui TAP MPR No. XI Tahun 1998 tentang penyelenggaraan Negara yang bebas KKN yang dikuatkan dengan sejumlah Keberadaan Undang Undang yang harus dilaksanakan dan dimaknai menurut konteksnya seperti :
1.UU No 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih Bebas dari KKN
2.UU 31/1999 Pemberantasan Korupsi. Telah diperbaharui menjadi UU No 20 Tahun 2001
3.UU 20/2001 Pemberantasan Tidak pidana Korupsi
4.UU 30/2002 Komisi Anti Korupsi
5.UU 15/2002 tentang tindak pidana anti pencucian uang. UU yang dirubah jadi UU No 25/2003
6.UU 25/2003 tentang perubahan UU No 15/2002 tentang tindak pidana anti pencucian uang
7.UU No 1 Tahun 2006 Tentang Bantuan Timbal Balik Masalah pidana
8.UU No 7/2006 Tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi
9.UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Kemudian di respon oleh pemerintah dengan Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi di Indonesia yang berlanjut dengan ditetapkanya Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN-PK) 2004-2009 maka pelaksanaan good governance merupakan salah satu kunci aksi yang harus dilakukan namun korupsi makin marak baik di pusat maupun daerah; hal ini mencerminkan bahwa Undang-undang, PP, Inpres atau apapun bentuk aturannya hanya berakhir pada tekstual semata, sedangkan konteks dan implementasi berujung pada wacana program. Pemerintah Daerah harus di dorong untuk membuat dan melaksanakannya Perda sehubungan dengan praktek-praktek good governance sehingga pelaksanaan good governance dianggap lebih mudah dan sederhana apabila dimulai dari pemerintah kabupaten/kota daripada pemerintah pusat. Dalam hal upaya menciptakan pelayanan publik yang prima disadari perlu sinergisitas yang komprehensif dan maksimal guna mencapai suatu titik yang berujung pada kepuasan pelanggan/masyarakat. Keterlibatan aktif pemerintah sebagai pemeran utama, aparat penegak hukum hingga KPK sebagai trigger mechanism, serta masyarakat untuk tidak memberi suap, mutlak dibutuhkan menuju terciptanya sistem birokrasi yang berkeadilan.
2014 momentum kita(rakyat) untuk merebut haknya agar bisa hidup lebih sejahtera dengan memilih meraka yang memang layak dipilih, memiliki kemampuan sebagai legislator, pengawas yang efektif dan menentukan anggaran untuk rakyat (Pelayanan Publik).
Pelayanan publik
Pelayanan publik merupakan salah satu indikator utama keberhasilan pemerintah sebuah negara dalam kinerjanya. Peningkatan pelayanan publik selalu erat dikaitkan dengan kesejahteraan masyarakat dalam setiap visi misi kepala pemerintahan baik ditingkat nasional maupun daerah. Pelayanan yang diberikan oleh negara terhadap masyarakatnya dapat dikatakan pula sebagai substansi penting yang kemudian menjadi dasar lahirnya reformasi birokrasi yang tujuanya tidak lain adalah demi terselenggaranya jaminan terhadap pelayanan publik itu sendiri berdasarkan atas keadilan.
Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara pada kabinet Indonesia Bersatu jilid I Taufik Effendy mengatakan bahwa ada empat masalah perlunya Reformasi Birokrasi di Indonesia yakni:
·Berbagai keluhan masyarakat yang kurang direspons aparatur;
·Belum ada data awal yang pasti dan sama tentang berbagai hal;
·Tolok ukur keberhasilan nasional belum jelas;
·Belum ada analisis yang jelas mengapa pemberantasan korupsi sejak era Presiden Soekarno, Soeharto, Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri, sampai Susilo Bambang Yudhoyono belum menunjukkan tanda-tanda keberhasilan.
Ada tujuh kelemahan yang menonjol:
·Lemahnya kehendak pemerintah atau political will/government will;
·Belum ada kesamaan persepsi dan pemahaman tentang visi, misi, tujuan dan rencana tindakan;
·Kurang termanfaatkannya teknologi informasi (e-government, e-procurement, information technology) dalam pemberantasan KKN; karena lemahnya sistem database
·Belum ada kesepakatan menerapkan SIN (Single Identification/Identity Number) tentang data kepegawaian (database), asuransi kesehatan, taspen, pajak, tanah, imigrasi, bea-cukai, antara Pusat dan Daerah serta Dinas Dins terkait lainnya;
·Masih banyak duplikasi, pertentangan dan ketidakwajaran dalam peraturan perundang-undangan (ambivalent dan multy-interpreted);
·Kelemahan dalam criminal justice system (sistem penanggulangan kejahatan); penanggulangan kejahatan (criminal policy) belum efektif menggunakan media masa dan media elektronika, kurangnya partisipasi masyarakat, sanksi terlalu ringan dan tidak konsisten, serta criminal policy belum dituangkan secara jelas dalam bentuk represif (criminal justice system), preventif (prevention without punishment);
·Belum adanya konsistensi yang didukung dengan kesungguhan atau keseriusan pemerintah dalam pemberantasan KKN.
Peraturan menteri pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi nomor 20 tahun 2012 tentang pedoman umum pembangunan zona integritas menuju wilayah bebas dari korupsi sejatinya telah menjadi panduan yang kemudian tinggal menuntut eksekusinya dalam upaya pelayanan publik yang bebas dari segala praktek korupsi.
Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik
Organisasi pemerintah daerah saat ini memasuki lingkungan pelayanan yang kompetitif yang menuntut organisasi pemerintah daerah memiliki karakteristik pelayanan yang efektif, efisien, cepat, fleksibel, terpadu dan inovatif. Oleh karenanya pembaharuan manajemen pelayanan publik oleh pemerintah daerah merupakan suatu keharusan Langkah-langkah kongkrit yang dapat dijalankan untuk mewujudkan pelayanan prima sebagai upaya untuk keluar dari berbagai masalah birokrasi pelayanan publik dan merespon tuntutan perkembangan masyarakat seperti peningkatan kinerja pelayanan dasar pelayanan pendidikan, kesehatan, kebutuhan pokok, persedian air bersih, pembinaan koperasi dan UKM, administrasi perizinan, kependudukan dan catatan sipil.
Keberadaan Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi di Indonesia, telah mendorong berbagai insiatif-inisiatif di lingkungan Pemerintahan Pusat sampai ke daerah. Melalui Inpres ini, Presiden Republik Indonesia mengamanatkan untuk melakukan langkah-langkah upaya strategis dalam rangka mempercepat pemberantasan korupsi, salah satunya dengan menyusun Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN-PK 2004-2009). Dokumen RAN-PK 2004-2009 menekankan kepada upaya pencegahan, penindakan, upaya pencegahan dan penindakan korupsi dalam rehabilitasi dan rekonstruksi Daerah Istimewa Aceh dan Sumatera Utara, serta pedoman pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan RAN PK. Dengan demikian, RAN-PK diharapkan menjadi acuan dalam upaya pemberantasan korupsi bagi setiap lini pemerintahan di tingkat Pusat dan Daerah.
Perkembangan yang menarik berkaitan dengan upaya pencegahan korupsi di Indonesia, terjadi baik pada tingkat kebijakan pemerintah, pembentukan dan konsolidasi kelembagaan hingga kian kritisnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya pemberantasan korupsi. Kebijakan pemerintah dimaksud tidak hanya telah dirumuskan dalam Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi tetapi juga beberapa daerah telah mengembangkan Rencana Aksi Daerah Pemberantasan Korupsi, dan mempelopori usaha-usaha mengembangkan kebijakan inovatif yang terbukti mampu mencegah praktik korupsi di dalam birokrasi pemerintahan. Di sejumlah kota dan kabupaten, ada inovasi lokal untuk mewujudkan Tata Pemerintahan yang Baik dalam bentuk pelayanan satu atap atau one stop service seperti dilakukan di Kota Surabaya, Kabupaten Sragen, maupun perbaikan pelayanan publik seperti di Kabupaten Jembrana Bali, Kabupaten Musi Banyuasin Sumsel dan lainnya
Pos Pelayanan Satu Pintu (POSYANTU) dan Dinas Pelayanan Terpadu (Disyandu)
Pelaksanan perizinan yang tidak rumit dan memudahkan merupakan keinginan bersama dari masyarakat dan pemerintah. Dalam implementasinya dapat mengambil metoda sebagaimanan yang diterapkan pemerintah Kabupaten Solok yang telah mencanangkan dan mengembangkan pola Pelayanan Umum Satu Pintu Plus dan Pelayanan Terpadu dengan pendekatan one stop service (OSS). Pendekatan ini merupakan perkembangan dalam sektor pemerintahan yang bertujuan meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik dengan outlet pelayanan perizinan yang terintegrasi. Pola ini mempermudah layanan perizinan dan menghindari prosedur yang panjang dan berbelit-belit dan menghemat biaya waktu dan tenaga.
Pelayanan satu pintu merupakan sistem pelayanan perijinan dan non perijinan yang diperuntukan bagi masyarakat dalam sistem satu pintu, artinya untuk mengurus segala jenis perijinan dibawah satu kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Kemudian program ini juga dapat dilengkapi dengan alternatif pengajuan aplikasi perizinan melalui jasa pos atas kerjasama dengan PT. Pos untuk meningkatkan akses publik terhadap pelayanan Kantor Pelayanan Umum dan Perizinan (KPUP) yang biasanya terletak di ibukota kabupaten/kota. Sementera untuk wilayah yang sangat luas, sebahagian penduduk yang tinggal jauh dari ibu kota kabupaten akan merasa sulit dalam hal administrasi, belum lagi dengan kemungkinan yang muncul dari kekhawatiran rumitnya alur yang harus ditempuh. Oleh karena itu pencerdasan dan pemahaman masyarakat menjadi poin penting lainya yang sejalan dengan peningkatan kualitas layanan. Selain itu juga dapat diupayakan dengan menyebarkan aplikasi perizinan ke seluruh kantor pemerintah desa untuk memudahkan masyarakat mengajukan aplikasi tanpa harus datang ke KPUP.
Petugas berkewajiban memberikan informasi yang yang akurat mengenai proses perizinan yang diajukan, persyaratan, batas waktu, dan biaya untuk setiap perizinan yang dilakukan pemohon disertai kwitansi sebagai bukti pembayaran. Demikian juga setiap dokumen persyaratan yang diserahkan pemohon.
Untuk setiap layanan yang diberikan oleh KPUP, pemohon diberi formulir umpan balik (feedback) untuk mengetahui apakah mereka puas dengan layanan yang diterima. Formulir feedback ini diarsipkan dan kemudian dievaluasi setiap bulan oleh Kepala KPUP dan dapat diminta oleh tim monitoring penyedia layanan atau pihak lain yang berkepentingan. Lebih jauh lagi untuk menilai kinerja KPUP masyarakat dapat mengajukan keluhan melalui kotak pos. Sarana kotak pos ini bertujuan untuk menyeddiakan saluran keluhan masyarakat terhadap layanan publik serta masalah dan tanggungjawab pemerintah. Sedangkan untuk menindaklanjuti keluhan tersebut telah dibentuk sebuah kelompok kerja (task force) yang dilengkapi dengan prosedur penanganan keluhan. Pembuatan jaringan online antara instansi penyedia layanan dengan KPUP dengan LAN dan internet yang secara signifikan dapat menjadikan layanan perizinan lebih efisien. Keputusan untuk menerapkan pelayanan terpatu satu pintu plus dengan pendekatan one stop service (OSS) diawali dengan penilaian secara teliti terhadap akses serta dengan melakukan seleksi jenis perizinan yang akan dilayani oleh KPUP dan yang akan didelegasikan ke instansi lain. Beberapa contoh antara lain layanan sertifikat fasilitas usaha tingkat IV dan penerbitan KTP diserahkan kepada tingkat pemerintahan desa. Sedangkan kewenangan untuk menerbitkan IMB di wilayah luar kota kabupaten didelegasikan kepada camat dan wali nagari sehingga pendelegasian ini sangat mempermudah akses masyarakat terhadap pelayanan administrasi dan perizinan karena penyedia layanan berada di lokasi yang dekat dengan tempat mereka.
Mengetahui indeks kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik yang disediakan merupakan strategi yang dapat membantu terlaksananya fungsi kinerja dalam upaya peningkatan-peningkatan sektor perizinan. Secara berkala dalam periode strategis survey sebagai indikator penyelenggaraan kinerja harus dilakukan terhadap beberapa poin vital yang kerap menjadi keluhan untuk mengetahui pendapat masyarakat diantaranya:
- Kemudahan prosedur pelayanan
- Kesesuaian persyaratan pelayanan dengan jenis pelayanannya
- Kejelasan dan kepastian petugas yang melayani
- Kedisiplinan petugas dalam memberikan pelayanan
- Tanggung jawab petugas dalam memberikan pelayanan
- Kemampuan petugas dalam memberikan pelayanan
- Kecepatan pelayanan
- Keadilan untuk mendapatkan pelayanan
- Kesopanan dan keramahan petugas dalam memberikan pelayanan
- Kewajaran biaya untuk mendapatkan pelayanan
- Kesesuaian antara biaya yang dibayarkan dengan biaya yang telah ditetapkan
- Ketepatan pelaksanaan terhadap jadwal waktu pelayanan
- Kenyamanan di lingkungan unit pelayanan
- Keamanan pelayanan
Publik komplain
Pasal 18 UU No.25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik menjamin hak-hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan publik dan melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintah. Dalam hal pertanggung jawaban pemerintah atas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat, forum publik komplain yang rutin dimana aparatur pemerintahan dihadapkan langsung dengan masyarakat untuk mendengar keluhan atau apresiasi secara face to face sangat dibutuhkan. Keluhan serta argumen dapat dihadapkan dan dikonfrontir langsung dalam sajian pemaparan pelaksanaan kinerja yang merupakan bentuk pola partisipatif. Publik komplain dinilai mampu menjadi strategi pengawal jalanya visi terwujudnya aparatur negara yang profesional, efektif, efisien dan akuntabel dalam pelaksanaan reformasi birokrasi menuju kepemerintahan yang baik kelas dunia tahun 2025. Mekanisme publik komplain sejatinya bukanlah hal baru, namun dalam hal implementasinya dilapangan masih perlu dibenahi dan diselenggarakan secara optimal.
Mekanisme komplain yang baik akan menjadikan keluhan dari konsumen berkontribusi positif, baik terhadap pemenuhan hak pelanggan maupun untuk pengembangan sistem pelayanan publik. Pengelolaan respon terhadap keluhan pelanggan akan memudahkan birokrasi dalam menyediakan pelayanan publik
secara lebih efektif, efisien dan tepat sasaran. Namun di Indonesia selama ini respon publik belum mendapat perhatian serius dari penyelenggara pelayanan publik, oleh karena itu guna mencapai cita pelayanan publik yang diinginkan maka publik komplain harus diberikan tempat yang pas dan rapi dalam pelaksanaanya.
Penerapan Sistem Pengendalian Manajemen Pelayanan PublikPemerintah Daerah
Model organik yang ditawarkan oleh New Public Manajemen dimana unit pelayanan publik bertujuan mengejar maksimalisasi kepuasan, fleksibilitas, dan pengembangan diterapkan pada unit-unit pelayanan. Di antaranya pembentukan SOTK dengan menerapkan prinsip pemecahan organisasi menjadi unit-unit yang lebih kecil. Salah satu wujud pembentukan struktur organisasi yang dipecah menjadi unit-unit kerja yang lebih kecil adalah dari pembentukan sistem pelayanan satu pintu seperti yang telah diterapkan di Kantor Pelayanan Umum dan Perizinan.
Reorganisasi dengan menggabungkan beberapa SKPD yang memiliki tupoksi dan memberikan pelayanan yang hampir sama juga menjadi alternatif yang dapat dilakukan. Namun perlu dicegah terjadinya duplikasi tugas antarlembaga, adanya urusan yang pemerintahan yang belum terwadahi dalam organisasi yang telah ada dan adanya beban tugas suatu lembaga yang terlalu berat dengan penempatan serta penerapan yang proporsional dan strategis. Reorganisasi yang dilakukan diharapkan berhasil merampingkan birokrasi untuk mencapai efisiensi. Konsekuensinya banyak pejabat yang kemudian tidak lagi memiliki jabatan struktural.
Penerapan manajemen profesional pada organisasi pemerintah daerah mensyaratkan ditentukannya batasan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) serta deskripsi kerja yang jelas dari setiap pegawai. Hal ini telah didukung oleh Keputusan kepala daerah bahwa dalam melaksanakan tugasnya Kepala SKPD, Kepala Bagian/Sub Bagian/Kepala Seksi berkewajiban melakukan pengkajian dan analisis tugas-tugas di unit mereka masing-masing dan saling koordinasi baik dengan sesama unit maupun dengan pejabat fungsional yang ada pada unit bersangkutan.
Perumusan tupoksi dan uraian tugas adalah penting untuk semua struktur yang ada. Keseriusan dalam hal perumusan dan penerapan uraian tugas pokok dan fungsi serta rincian tugas jabatan menjadi poin penting yang menentukan keberhasilan. Masing-masing pegawai dirumuskan secara rinci dengan format sebagai berikut: 1). Nama Jabatan, 2) Unit Kerja, 3) Tugas pokok, 4) Rincian/uraian Tugas dan 5) Hasil Kerja. Dokumen ini dijadikan sebagai “file meja” (file yang wajib diletakkan di meja setiap pegawai sebagai pedoman dalam melaksanakan pekerjaan). Keuntungan dari adanya “file meja” ini adalah hampir seluruh staf mengetahui rincian tugas yang harus dikerjakan dan hasil yang harus dicapai dan dilaporkan kepada atasan. Jika uraian tugas tersebut dimanfaatkan dan dapat dioptimalkan tentu akan membantu memudahkan pimpinan dalam menilai kinerja seluruh stafnya.
Penerapan manajemen profesional dalam pelayanan publik oleh organisasi pemerintah daerah mengharuskan adanya kejelasan wewenang dan tanggungjawab masing-masing unit penyelenggara pelayanan publik. Pengalaman pelayanan publik yang baik dengan adanya pelimpahan kewenangan yang jelas dan komitmen dari semua pimpinan unit kerja termasuk DPRD untuk mewujudkan pelayanan prima dapat ditemukan contohnya di Kantor Pelayanan Umum dan Perizinan (KPUP) Kabupaten Solok. Didukung jejaring informasi dalam suatu organisasi bertujuan untuk mempersatukan berbagai komponen yang membentuk organisasi dan berbagai organisasi dalam jejaring organisasi (organization network) untuk kepentingan pelayanan publik. Hal ini tidak lain guna memudahkan masyarakat dalam mengetahui alur prosedural serta pelayanan yang diadakan.
Optimalisasi Pakta Integritas
Pakta Integritas merupakan salah satu alat (tools) yang dikembangkan Transparency International pada tahun 90-an. Tujuannya dalah menyediakan sarana bagi Pemerintah, Perusahaan swasta dan masyarakat umum untuk mencegah korupsi, kolusi dan nepotisme, terutama dalam kontrak-kontrak pemerintah (public contracting). Konsep, prinsip dan metode Pakta Integritas ini telah dikembangkan di berbagai negara dengan penyesuaian dan modifikasi seperlunya. Hasilnya diakui oleh berbagai lembaga dunia seperti Bank Dunia, UNDP, ADB, dapat mempersempit peluang korupsi dan menghasilkan kinerja yang lebih baik dalam kontrak-kontrak pemerintah, seperti pengadaan barang dan jasa (public procurement), privatisasi, lelang bagi lisensi maupun konsesi dan sebagainya.Pakta Integritas adalah pernyataan untuk tidak menerima dan memberi dalam bentuk apapun secara illegal dalam kaitan pelaksanaan tugas, dengan tujuan mewujudkan aparatur negara yang bersih dan penyelenggaraan pelayanan publik yang prima, bersih dan professional. Kendati belum ada suatu peraturan yang spesifik mengenai penerapan Pakta Integritas di Indonesia, namun konsep dan penerapannya sangat relevan dengan amanat penegakkan hukum dan pengelolaan negara yang bersih, berintegritas, adil, akuntabel dan transparan.
Prinsip-prinsip Pakta Integritas ini berasal dari dasar-dasar hukum mulai dari UUD 1945, Berbagai TAP MPR, Undang-undang, sampai Peraturan pemerintah. Sanksi diberlakukan terhadap setiap pelanggaran yang terjadi atas item-item pakta integritas yang ditanda tangani dan bersifat mengikat dan memaksa tersebut. Poin-poin yang dijabarkan didalam pakta integritas merupakan aturan dasar serta aturan lainya yang dirasa perlu dan vital dalam pelasaksanaan kerja yang harus ditegakkan guna mencapai prestasi kerja yang optimal. Pakta Integritas harus diwujudkan dalam suatu sistem yang mendukung upaya tercapai kesejatian tujuan yang dikehendakinya dan bukan sekadar retorika. Sehingga pakta integritas diharapkan mampu menjadi senjata yang membantu mewujudkan Zona Integritas yang bebas dari praktek korupsi.
Pengawasan terhadap jalanya pakta integritas pejabat dan aparatur dapat dilakukan oleh Banwasda. Pengawasan dapat lebih diefisienkan dengan partisipasi pengawas independen oleh PPI dan keterlibatan Komisi Transparansi. Partisipasi pengawas independen selaku pengawas internal telah diatur didalam pasal 35 UU No.25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Selain itu optimalisasi media pengaduan, rutinitas publik komplain serta nomor kontak pimpinan daerah yang siap disebarkan kepada masyarakat secara langsung memberikan jaminan masyarakat bisa mengadu ke pemerintah atas hal-hal pelayanan publik hingga 1×24 jam setiap hari.
Sistem Penghargaan Berbasis Kinerja
Sistem penghargaan dalam organisasi publik adalah suatu sistem yang digunakan untuk mendistribusikan penghargaan kepada aparatur birokrasi. Biasanya semakin tinggi posisinya dalam struktur, semakin semakin besar insentif yang ia dapatkan. Asumsinya adalah orang yang berada pada struktur yang lebih tinggi memiliki tanggungjawab yang lebih besar pula dalam pencapaian tujuan organisasi. Sistem penghargaan seperti ini banyak dkeluhkan oleh para aparatur terutama para staf dan pejabat level bawah. Menurut mereka pada lingkungan birokrasi sekarang ini dimana para pejabat tidak lagi mampu menjalankan sendiri seluruh misi organisasinya tanpa didukung oleh bawahan maka sistem reward dan punishment pun harus dirubah. Kalau pemerintah mau meningkatkan kinerja stafnya maka sistem penghargaan harus didasarkan kepada kinerja. Orang yang memiliki beban tanggung jawab yang lebih berat dan menunjukkan pencapaian kinerja yang lebih baik harus mendapatkan reward yang lebih baik meskipun secara struktural eselonnya sama atau lebih rendah.
Salah satu sistem penghargaan adalah sistem insentif pada memberikan insentif kepada pegawai yang berhasil menghemat anggaran, mencegah kebocoran anggaran, yang melaporkan penyimpangan yang berdampak terhadap pelayanan publik, insentif prestasi bagi Kantor, Dinas, Badan, Instansi, Bagian dan Camat yang melampaui target PAD/PBB dan prestasi kerja seperti jumlah nota staf/telaah staf, jumlah surat biasa, jumlah rapat, jumlah seminar, jumlah SK, Jumlah Perda. Selain itu insentif prestasi efisiensi diberikan kepada unit kerja yang dapat mengefisienkan anggaran (belanja tidak langsung) dan insentif upah pungut dalam rangka meningkatkan PAD/PBB). Selain itu juga menerapkan pemberian tunjangan daerah berdasarkan beban tanggungjawab terhadap tupoksi dan tingkat kehadiran. Insentif yang diberikan dapat berupa uang, kenaikan pangkat istimewa, promosi jabatan, kesempatan mengikuti pendidikan/ pelatihan/lokakarya ke daerah lain atau luar negeri.
Sementara itu sebaliknya, menilik aturan yang diberlakukan di kabupaten Solok contohnya penerapan pemberian punishment juga diberikan bagi pegawai yang tidak hadir 1 hari tanpa pemberitahuan dan alasan atau alasan karena penugasan misalnya dipotong tunjangan daerahnya 4%, bagi pegawai yang terlambat datang dipotong 0.5% perjam keterlambatan. Pelaksanaan hukuman dilakukan setelah pegawai yang bersangkutan ditegur sekali atau dua kali terhadap tindakan indisiplinernya. Selain pemotongan hukuman dapat diberikan berupa penundaan kenaikan pangkat atau gaji berkala sebagai akibat tindakan indisipliner.
Perumusan Visi Misi Secara Partisipatif
Dalam hal perumusan strategi, pemerintah merumuskan visi, misi, arah pembangunan Daerah. Tidak hanya itu, visi dan misi tersebut haruslah diturunkan menjadi visi, misi dan tujuan setiap SKPD. Persoalan yang sering ditemukan adalah visi dan misi belum mampu dijadikan sebagai kekuatan untuk menggerakkan organisasi seperti yang dikemukan oleh model entrepreneural government (EG). Banyak keluhan yang dikemukakan oleh pimpinan unit penyelenggara pelayanan publik bahwa kebanyakan pegawai di unit mereka baik pimpinan maupun staf tidak mampu menghayati visi dan misi baik visi dan misi daerah maupun visi dan misi organisasi. Beberapa alasan yang dikemukakan oleh para pegawai biasanya sebagai penyebab mereka tidak mampu menghayati visi dan misi daerah dan SKPD diantaranya adalah:
Visi dan misi terlalu abstrak sehingga sulit dipahami
Staf tidak pernah dilibatkan dalam perumusan visi dan misi
Kurang dikomunikasikan kepada staf
Visi dan misi hanya merupakan slogan belaka
Visi dan misi terlalu panjang sehingga sulit diingat
Tentu menjadi hal yang miris ketika aparatur bahkan tidak mengetahui sama sekali visi dan misi kinerja. Pemahaman di awal dapat dilakukan dengan sosialisasi serta menghimpun partisipasi aktif aparatur pemerintahan agar mampu mempertanggung jawabkan kinerjanya dalam rangka memenuhi kewajiban pelayanan publik.
Penyusunan Anggaran Berbasis Kinerja
Penyusunan anggaran dapat dilakukan dengan berbasis kinerja. Hal ini dilatar belakang kebutuhan transparansi dalam pembiayaan program pada setiap unit kerja. Diharapkan anggaran yang diajukan selalu berdasarkan program kerja yang direncanakan. Bukan sebaliknya bahwa program kerja yang mengikuti anggaran yang tersedia. Anggaran berbasis kinerja adalah sistem penyusunan anggaran unit kerja yang berdasarkan kinerja (program kerja) selama tahun yang bersangkutan secara partisipatif. Pemerintah melakukanya melalui Bottom Planning Up System yang terbagi kepada Musbang Desa dan Musbang Kecamatan, Survey program dan penyaluran aspirasi langsung oleh masyarakat.
Dalam hal pelaksanaanya pemantauan dan pengawasan mutlak menjadi poin penting yang harus dilaksanakan. Namun terlepas daripada itu dalam hal lain harus ada jaminan bahwa ketersediaan anggaran mampu dipenuhi dalam deadline yang wajar dan stabil dalam masa perencanaan agar tidak menganggu pelaksanaan program secara sistemik. Persoalan umum yang dihadapai oleh seluruh SKPD adalah masalah keterlambatan pencairan anggaran APBD, sehingga sulit untuk mengaitkan antara sistem penganggaran dengan sistem pemantauan kinerja. Keterlambatan ini bisa dimulai dari keterlambatan pemerintah daerah mengajukan ke DPRD atau bisa juga keterlambatan pembahasan di DPRD. Hal ini berdampak terhadap terhadap kinerja aparatur. Pada akhir tahun anggaran sering kegiatan dipadatkan sementara di awal tahun banyak aparatur seperti tidak bekerja. Dapat dikatakan bahwa diawal tahun kinerja aparatur sering rendah tapi kinerja tersebut tiba-tiba meningkat menjelang akhir tahun anggaran.
Sebenarnya dalam aturan bulan Maret semua kegiatan sudah harus dikerjakan. Tetapi dalam pelaksanaannya jangankan Maret, bulan April saja penyusunan anggaran belum selesai. Jadi, kinerja baru bisa dimonitoring tentu setelah APBD cair. Selain itu banyak kegiatan baik fisik maupun non fisik yang pelaksanaannya terganggu karena keterlambatan anggaran, menyebabkan keterlambatan administrasi sehingga berdampak terhadap pelaksanaan kegiatan. Oleh karena itu harus ada kepastian dan jaminan dengan pelaksanaan fungsi aparatur yang bekerja dalam percepatan-percepatan prosedural administrasi namun tetap dalam kerangka good governance.
2.8 Penerapan Manajemen Berbasis Kinerja dalam Pelayanan Publik
Tahap awal dari manajemen kinerja pelayanan publik adalah tahap perencanaan kinerja pelayanan. Tahap ini merupakan tahap awal dan paling kritis dari keseluruhan proses manajemen kinerja pelayanan. Pada tahap awal biasanya organisasi penyelenggara pelayanan publik harus menetapkan kriteria kinerja pelayanan, target kinerja pelayanan dan indikator kinerja pelayanan sebagai bentuk kontrak kinerja. Dalam tahap perencanaan kinerja pelayanan antara pihak pemberi pelayanan dengan pihak pengguna jasa pelayanan harus membuat kontrak kinerja pelayanan untuk menetapkan kriteria kinerja dan menilai kinerja unit penyelenggara pelayanan.
Berbagai permasalahan/hambatan yang mengakibatkan sistem penyelenggaraan pemerintahan tidak berjalan atau diperkirakan tidak akan berjalan dengan baik harus ditata ulang atau diperharui. Reformasi birokrasi dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Dengan kata lain, reformasi birokrasi adalah langkah strategis untuk membangun aparatur negara agar lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam mengemban tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional. Selain itu dengan sangat pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan komunikasi serta perubahan lingkungan strategis menuntut birokrasi pemerintahan untuk direformasi dan disesuaikan dengan dinamika tuntutan masyarakat. Oleh karena itu harus segera diambil langkah-langkah yang bersifat mendasar, komprehensif, dan sistematik, sehingga tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dapat dicapai dengan efektif dan efisien. Reformasi di sini merupakan proses pembaharuan yang dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan, sehingga tidak termasuk upaya dan/atau tindakan yang bersifat radikal dan revolusioner.