Olahraga itu murah, tapi tidak selalu mudah. Kuncinya ada pada niat, mau berolahraga atau tidak.
Kisah ini bermula menjelang akhir liburan. Libur Nataru kami nyaris tidak kemana-mana. Beberes rumah, ke tempat Mbah, silaturahmi ke rumah saudara, ibadah ke gereja, dan menerima kunjungan beberapa teman dari dalam dan luar kota.
Padahal, biasanya weekend pun kami luangkan waktu untuk liburan ke tempat wisata bersama anak. Apalah daya, raga ini terbatas adanya.
Libur artinya bisa nonton Netflix sampai larut malam, lalu kesempatan bangun siang. Satu sisi enak, tak memikirkan pekerjaan di kantor. Di sisi lain menjebak, karena otak dan tubuh tidak bekerja sesuai ritme harian. Malas pula berolahraga. Kerjanya makan, tidur, beberes, ibadah, makan, tidur lagi.
Apapun, bersyukur bisa menikmati libur bersama keluarga. Semua dalam keadaan sehat dan berkecukupan. Apa lagi yang kurang?
Hari demi hari berganti, tak terasa dua minggu berlalu. Mau tak mau, siap atau tidak, liburan telah berakhir, besok Senin sudah kembali masuk kerja. Namun, jiwa ini ingin berontak. Tak terima liburan berakhir tanpa kesan spesial.
Aku dan istri mencoba mengajak anak keluar rumah. Lagi pula, selama libur ini malah kami absen melatih anak berolahraga. Sungguh terlalu.
Semua barang-barang perlengkapan ditaruh di motor, siap beraksi. Push bike, helm, bekal snack dan minuman. Tas pinggang untuk menaruh HP. Ya, kami akan pergi ke TWSS (Taman Wisata Sejarah Salatiga). Berjarak 5 menit naik motor dari rumah.
Hari sudah sore, sinar mentari berubah menjadi teduh. Waktu yang pas untuk berolahraga, jalan sehat, atau sekedar nongkrong dengan teman. Banyak orang tua mengantarkan anaknya menyewa mobil-mobilan bertenaga aki. Untuk menyenangkan anak, mungkin begitu niatnya. Namun ini juga godaan buat anak kami.
Anak kami adalah bayi biasa yang punya hasrat dan keinginan. Jika melihat, dia juga ingin naik mobil-mobilan itu. Namun, kami "paksa" untuk segera naik push bike-nya dan mengelilingi lapangan di TWSS. Aku dan istri akan berjalan mendampingi.
Perlahan namun pasti. Satu demi satu langkah, anak kami mengayun sepedanya, aku dan istri mengiring dengan berjalan kaki, sesekali berlari kecil. Ada anak lain naik mobilan jeep, anak kami jadi pengen. Lihat ada yang naik truk atau forklift mainan, pengen juga. Gawat.
"Ayo, kita kejar mobil itu. Jangan ketinggalan!" ujarku memberi semangat. Satu putaran, dua putaran, tiga putaran. Targetnya lima putaran. Putaran ke empat anak sudah hampir menyerah. Maka, kami tambah motivasinya. "Kalau kamu bisa lima putaran dan tidak naik mobilan, nanti papa belikan kamu es krim. Mau?" (Disclaimer: ini bukan suap yes, tapi motivasi.)
Akhirnya kami berhasil. Anak berhasil naik sepeda lima putaran, bapak-mamanya juga berjalan lima putaran. Refreshing sekaligus olahraga, meski ada udang di balik batu.
Sudah mau pulang pun, anak kami tetap tergoda untuk naik mobilan. Mana penyewanya sudah mau tutup lapak. Begitulah manusia. Kami segera pulang, lalu mampir warung dekat rumah. Anak mendapat reward: es krim. Bapak mamanya ikut sehat, berjalan santai keliling lapangan lima kali.
Meski dipaksa, kesampaian juga olahraga dadakan untuk menutup liburan. Rupanya, memang perlu dipaksa agar mau olahraga. --KRAISWAN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H